ningdidienAvatar border
TS
ningdidien
Awalnya Kita Sangat Lekat Hingga Restu yang Membuat Sekat


Aku tak akan mengkambing hitamkan keadaan jika jalan takdir kita memang tak bisa bersatu

Dok.Pri/Ning


Semua berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia duduk di ruang tamu rumahku, nyatanya sudah dua tahun berlalu. Ayahku memintanya untuk menjauhiku dengan dalih telah ada lelaki yang meminangku.


Dia adalah teman dekatku, sangat lekat, bukan hanya rasa, namun tempat tinggalnya pun bisa dibilang tidak jauh dari rumahku.
Mulanya tak sengaja bertemu kala masa sekolah. Dia adalah sahabat dari rekan sekomunitasku yang juga karib bagiku. Meski awalnya kita tak begitu akrab karena sifatnya yang jelas berlawanan denganku. Cuek, kaku, sedangkanku lebih suka mencairkan suasana. Receh, begitu teman-teman menyebutnya.


Semenjak itu, komunikasipun terjalin. Seperti memberi peluang, rekan komunitasku selalu melibatkannya dalam pertemuan, padahal dia bukan anggota. Lambat laun kita semakin akrab. Namun seperti halnya kesan pertama, dia memang lebih pendiam dari teman laki-laki lainnya.
Saling memahami, tentu sudah biasa dalam pertemanan. Hingga aku harus merantau ke pulau tetangga, mengejar cita dengan lanjut kuliah. Meski tak lebih dari teman biasa, komunikasipun tetap terjaga.


Waktu berlalu, akupun lebih mengenalnya. Banyak hal yang berubah, begitupun dengan pertemanan kita yang terjalin semakin erat. Akupun telah menyelesaikan studyku dan kembali ke kampung halaman.
Rindu, itu pastinya. Bertemu dengan sahabat karibku adalah agenda yang ku tunggu, membantu mempersiapkan moment terpenting dalam hidupnya, menikah.


Dok.Pri/Ayas


Kehilangan, sesak, haru menyaksikan karibku menikah, selayaknya aku turut bahagia. Rupanya dia mengerti perasaanku, mencoba menghibur dan menenangkanku.
Lambat laun diapun menjadi karib juga bagiku, bahkan orang tuakupun mengetahui itu. Kita pun semakin lekat, hingga tak ada hal tabu untuk mengejek, menghina, ataupun saling menjatuhkan.


Rupanya dia benar-benar peduli padaku. Hingga suatu ketika dia mengutarakan ingin meminangku. Serius atau tidak aku tak bisa menilainya.
Konyol, itu yang kurasakan kala mendengar kalimatnya. Aku jawab sesukaku dengan nada bercanda seperti biasa, memintanya menemui orang tuaku tuk meminta restu.


Nampaknya pernyataan itu dia anggap serius. Hingga dia mencari waktu memberanikan diri menemui ayahku.
Masih tak percaya dengan keadaan itu. Ku sampaikan maksutnya pada ayah, sebelum dia benar-benar datang untuk bertamu memintaku, anak perempuan satu-satunya di keluargaku.


Kali ini aku melihat sisi lain darinya. Sosok yang sebelumnya cuek, kaku, dan pemalu mampu mengutarakan hal itu.
Gantung, itulah respon ayahku. Tak mengiyakan ataupun menolaknya, toh baru berupa pernyataan suka saja, pikir ayah.
Keberatan diutarakan, lantaran adat tentunya. Pamali katanya menikahkan anak di tahun yang sama. Yah, keluargaku memang masih memegang teguh adat. Kuno, tepisku. Namun bukan sekedar alasan, kala itu memang adikku baru saja menikah.


Lampu kuning dari ayah, anggapannya mencerna kalimat penundaan untuk bertahan dengan tradisi nenek moyang.
Perlahan ku coba menerimanya sebagai sosok lain, menjadi kekasih lebih tepatnya.
Meskipun masih sering timbul tanya, namun selalu ku yakinkan hatiku jika tak salah menikah dengan sahabat karibku. Tak banyak yang berubah dari sikapku, hanya berusaha lebih menghormatinya selayaknya sebagai pemimpin keluarga.
Latihan, itu maksudku, karena tak mudah merubah semua itu seperti membalikkan telapak tangan.


Dok.Pri/Dien


Tak bisa ku tutup mata melihat usahanya meyakinkan orang tuaku. Mengambil kepercayaan akan tanggung jawab terhadapku.
Lebih protektif, itu yang ku rasakan dari perubahan sikapnya. Jujur, aku masih canggung ketika harus memperlakukannya istimewa. Mengganti panggilan akrab dengan panggilan sayang, pun dengan obrolan yang sering diselipkan harapan masa depan.



Keluarganya pun telah mempersiapkan segalanya. Bersilaturahmi mulanya, seperti yang lekat di masyarakat Jawa dengan nama tradisi congkong. Meskipun keluargaku dan keluarganya sering bercengkerama, menghargai adat itu utamanya.
Kabar burung pun sampai kepada orang tuaku. Hingga sampai pernyataan itu perantara pamannya, dua tradisi dirapel sekaligus, Congkong dan Salar sebutannya.


Menyelesaikan hajat keluarga dulu, itu jawaban ayahku. Karena memang dalam waktu dekat akan ada acara haul kakekku. Alasanpun diterima, meski bukan sebuah kepastian penerimaan.


Penantian membuatku semakin menaruh harap padanya. Entah sudah berapa lama bersama. Ketertarikanku membuat makin bermimpi untuk segera membina rumah tangga bersamanya. Toh semua tahu, aku dan dia sudah sama-sama dewasa. Bukan lagi masanya untuk membual soal asmara.


Entah dari mana mulanya, ayahku menanyakan wetonnya (hari lahir dalam hitungan jawa). Ternyata ketemu hasil 25, pamali katanya kalau akan menikah. Aku pun meneruskan hal itu padanya. Benar saja, keluarganyapun mempercayainya.
Begitulah adat Jawa yang masih kental dengan budaya dan keyakinannya.
Bukan hal mustahil kalau memang itu ujian kita. Coba menguatkan logika dengan keyakinan masih bisa berusaha, tuturnnya.


Berbagai cara diupayakan agar kita bisa bersatu. Solusi didapatkan, meskipun dengan berbagai persyaratan.
Berbeda dengan kekasih yang sedang berjuang. Nampak perubahan pada sosok yang telah membesarkanku, tak setuju nampaknya. Tapi entah apa alasannya aku tak mengerti. Meraba dan memprediksi isi hati sama sekali bukan keahlianku. Yang ku tau lelaki panutanku itu tak memberi restu.


Dok.pri/San


Sosok yang ingin meminangku itu taat beragama, utamanya sosok imam yang kuidamkan. Bisa memahami dan mengerti aku tentunya, kunci dari sebuah kenyamanan. Sedangkan persoalan lain terkait perbedaan bisa diterima.
Akupun memperjuangkannya dengan caraku, membantunya untuk mendapatkan restu. Meski ku tau, proses dan perjuangan yang dia lakoni lebih berat dari apa yang ku usahakan.


Selalu ada alasan untuk sebuah kata penolakan, tak bisa ku tutup mata akan hal itu. Besar harap ayah jika putri kecilnya bersama dengan pemimpin yang menjamin masa depannya. Alasan klasik nampaknya.
Sedikit goyah saat merasa cita telah di ujung tanduk. Namun bukan murka dan amarah, justru berusaha meyakinkan yang kulakukan. Meski ku tau pasti ada sebab lain beliau belum memberikan restu.


Meski berasal dari keluarga sederhana, namun nampaknya tinggi kriteria yang diharapkan ayah. Jika sebabnya dia belum mapan, toh ada penghasilan dari bengkel keluarganya yang dia kelola.
Dia juga bekerja keras meningkatkan kualitas dirinya agar tak dipandang sebelah mata. Tak tahu apa yang ayah inginkan, berulang kali menggantungkan tanpa kejelasan.


Tahun 2018 lalu, menjadi tahun bersejarah bagiku, bahkan masih melekat di ingatanku. Ayah mengundangnya ke rumahku, suka cita tergambar jelas di mukanya, berharap pertanda baik untuk kelanjutan kisah kita. Namun sebaliknya, aku justru menyambutnya dengan air mata. Moment langka yang tak pernah dia saksikan.



Tak biasa memang dia melihatku menitihkan air mata, karena selama ini aku selalu ingin terlihat kuat dalam setiap persoalan.
Tak ingin kebersamaan ini berlalu, tapi tak mampu pula ku memintanya untuk tetap di sisihku. Kata-kataku tertahan tak kuasa mengutarakan. Melihatnya sudah cukup membuatku menjadi naif menerima kenyataan bahwa semua tak sesuai pengharapan.


Kata maaf sebagai pembuka percakapan dari ayah sudah membuatnya gusar. Dilanjutkan dengan pernyataan bahwa telah menerima pinangan membuatnya nampak meradang.
Merasa aku mempermainkan, pernyataan yang menyudutkanku membuatku makin berawai, menangis sesenggukan bercampur geram menerima kenyataan.


Segala ungkapan nampaknya sia-sia, karena akupun sementara tak bisa menata hati tuk mengontrol emosi.
Orang tuaku telah menerima lamaran orang di masa laluku, tanpa sepengetahuanku tentunya.
Marah, kecewa tentu lebih dari yang dia rasa. Bergegas dia pun pergi dengan dalih urusan pribadi. Merasa dipermainkan, tentu saja. Terlebih setelah perjuangan untuk mendapat restu yang penuh liku.


Dok.Pri/Ningnung


Diapun berlalu dengan hati memberang. Akupun naik pitam, mulai menentang dengan keputusan ayah. Tak masuk akal tentunya, pinangan tanpa persetujuan. Segala penjelasan terkait masa depan terabaiakan. Hanya kecewa dan kemarahan yang menguasai hati.


Beribu maaf rupanya tak mampu mengobati lukanya. Lewat pesan singkat dia menyampaikan selamat. Sebaliknya, kata itu semakin menyayat hatiku. Berulang kali ku coba menghubunginya, namun selalu saja direjectnya. Entah panggilan ke berapa baru terdengar jawaban darinya.


Tak ingin jadi penghalang dia utarakan, karena aku telah dipinang. Sedangkan dia memang layak hanya sebatas teman, seperti pinta ayahku, itu yang dia sampaikan.


Tak banyak perbincangan, rupanya masing-masing dari kita masih berkecamuk rasa. Ku utarakan niat akan menemuinya, tak peduli dengan apapun nanti resikonya, pun dengan anggapan miring yang nantinya akan melekat padaku.


Marah dia mendengarnya, dengan dalih akan menambah malu keluarga dia menasehatiku.
Terus terang, dalam kondisi apapun kata-katanya selalu mampu menenangkanku. Meski ku tahu harusnya saat ini dialah yang lebih marah. Bahkan untuk membuat kisruh sudah cukup kuat menjadi pemicu.
Namun, lagi-lagi kedewasaan dalam berfikir dan kebijaksanaan dalam bersikap membuatku semakin meronta melawan kenyataan jika akhirnya tak dipersatukan dengan pria idamanku itu.


Pergi dari rumah, pikirku akan menyelesaikan masalah. Heboh, sudah selayaknya karena memang tak biasa aku keluar pintu rumah tanpa kata pamit.
Lagi-lagi dialah yang membuatku kembali. Menyadarkanku bahwa tindakanku itu keliru.
Namun berbeda dengan dugaanku, apa yang dilakukan ayahku sungguh diluar pikiranku. Semacam membuat penangkal di pasang di pintu kamarku, alasannya biar aku nurut. Tak ingin ayah tersesat lebih jauh, akupun memilih diam, bukan berarti penerimaan.


Semua komunikasi dia putuskan. Kecewa tentunya. Begitupun dengan keluarganya. Bahkan, sapaanpun diabaiakan. Aku ingin meminta maaf dan menjelaskan pada orang tuanya. Namun tertahan, karena hanya akan membuat malu keluargaku.
Biarlah waktu yang menjawabnya, itu keyakinanku. Namun, semakin mencoba menerima semakin bertentangan antara hati dan logika.


Mengambil keputusan itu yang ku lakukan. Kusampaikan pada ayah jika aku tak bisa menjalin rumah tangga dengan pilihan ayahku, pria dari masa laluku. Tak perlu menunggu persetujuannya, akupun memutuskan hal itu.


Menghubungi dia yang diterima ayah sebagai calon menantu.
Semua kekesalan ku utarakan padanya. Berharap dia akan mengurungkan niatnya. Sebaliknya, dia sampaikan jika sangat berharap padaku, pun dengan keluarganya yang telah mengidamkanku sebagai menantu. Hingga membuat keluarganya datang meminang tanpa sepengetahuanku.


Kebodohanku selama ini tak bisa membaca niatan dibalik kebaikan keluarganya. Tak masuk akal tentunya, bagaimana mungkin sebuah keluarga melangsungkan pinangan sedangkan calon mempelai tak mengiyakan.
Tak bisa menggambarkan segala rasa di dadaku. Hingga ku putuskan menenangkan amarahku dengan tidak memikirkan apapun tentang pernikahan.

Dok.Pri/Ningdin


Waktu berlalu, sahabat karib yang ingin mempersuntingku pun kembali menjalin komunikasi. Seolah menguatkan lagi semua harap, menunjukkan sedikit cahaya untuk pandanganku. Hingga akhirnya diapun benar-benar pergi menjauhiku. Bahkan antar keluargapun semakin timbul celah kala tau kita masih ada rasa.


Disisi lain, dia yang dipilih ayahku telah melangsungkan pernikahan. Berkecamuk pula rasa dan logika. Bagaimana bisa dia melangsungkan pernikahan, sedangkan pinangan belum dikembalikan.
Kusampaikan kabar itu pada ayah dengan membawa bendera kemenangan. Tak ku duga pula reaksi yang ditunjukkannya, geram merasa dipermainkan. Meskipun cincin pemberiannya tak pernah ku kenakan, namun masih tersimpan bersama dengan kenangan pahit karenanya.


Yah, mungkin inilah jawaban dari waktu. Menunjukkan bukti setiap persoalan yang selama ini ingin ku pecahkan.
Sedangkan untuk dia sahabat karibku. Aku lebih ikhlas dengan segala ketetapan-Nya, pun dengan sikap yang dia ambil.
Sedih, rindu, haru bukan karena tak bisa bersatu, namun karena tamparan kisah pilu yang telah lalu dan masih berlaku. Yah, hingga saat ini keluarga kita tidak sedang dalam hubungan yang baik, terluka.



Kini, meskipun jarak membatasi rindu, namun selalu ku langitkan doa memohon pada sang Maha Cinta, agar kita dipertemukan dengan seseorang yang benar-benar akan membersamai di dunia hingga surgaNya.
Begitupun dengan keluarga kita supaya kembali seperti sedia kala dengan melapangkan dada, membesarkan kata maaf atas goresan tinta takdir yang sempat membuat luka.


Dok.pri/Ningrum


Satu pelajaran yang teramat berarti, bahwa sekeras apapun kita berusaha jika memang sosok itu bukan takdir yang dituliskan bagi kita, maka tak akan pernah bisa menyatu.
Sebaliknya, yang bisa kita lakukan adalah bersikap bijak dalam mengambil tindakan agar tak terjadi penyesalan dan kekecewaan yang mendalam.

Quote:



Oleh Ningdidien
Sebuah Kisah Pilu yang Telah Lalu

Quote:



Diubah oleh ningdidien 10-05-2020 04:44
abahekhubytsany
NiningMeu
zudinnn
zudinnn dan 67 lainnya memberi reputasi
68
2.6K
176
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan