lin680
TS
lin680
Si Miskin Berjiwa Kaya (Cerpen)

rumahoscarliving.com

Dina membungkus lima belas nasi di kertas minyak beralas daun pisang. Lauknya sengaja dipisahkan di plastik. Mengingat pengalaman sendiri, makan nasi bungkus yang sudah bercampur lauk, kalau sudah lama rasanya sudah tidak enak.


"Sudah, Dek?" Danang, suaminya muncul dari ruang tengah.

"Eh, sudah, Mas. Nih, tingggal dibawa." Dimasukkannya semua nasi bungkus ke dalam plastik kresek.
Danang akan membawa makanan ini ke kantor, pesanan temannya untuk bekal makan siang. Sudah rutin mereka memesan masakan Dina.

Sebagai istri seorang Satpam yang ber-gaji pas-pasan wanita 26 tahun itu harus pintar mencari tambahan. Jika ada kesempatan menambah rupiah masuk kantong pasti mau ia kerjakan.

"Din, Dina!" Suara Bu Kardi. Dina tergopoh menemui.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Tolong cepat ke rumah, ya. Ditunggu. Sekarang," ucapnya seperti perintah. Dina lekas mencuci tangan dan memasang kerudung. Sebelum keluar ia mencium punggung tangan Danang yang tengah bersiap ke kantor.

Sampai di rumah Bu Kardi, ia diminta membongkar gudang mencari sepatu Prilly, putrinya. Menurut Prilly sepatunya tidak sengaja ikut masuk dalam kotak dan ditaruh di gudang oleh papanya, yang entah sejak kapan ia juga lupa. Sekarang sepatu ballet itu mau dipakai untuk latihan nanti sore.

Dina sontak terbengong setelah gudang dibuka, bau lembab dan busuk bercampur jadi satu. Perutnya yang belum masuk apa-apa pagi ini terasa bergelombang.

"Beneran ada di sini, Bu?" tanyanya sangsi.

Terlihat Bu Kardi menutup hidung, menjauh.

"Beneran, Din. Prilly liat sendiri papanya membawa kotak itu ke sini, dulu." Dina tak bisa apa-apa. Sebagai tetangga yang bekerja serabutan ia harus siap menerima tugas. Bu Kardi ini termasuk sering memakai jasanya.

Kerudung ia lilitkan untuk menutupi hidung, lumayan, meski bau busuk--mungkin bangkai tikus masih menusuk hidung. Ia meraih salah satu kotak dan membongkar isinya.

Nihil.

Dua kotak besar sudah dibongkar, sepatu yang dimaksud belum juga ketemu. Dina mulai kehabisan oksigen di ruang yang bau dan penuh barang itu. Kotak ketiga susah payah diraihnya, begitu membongkar isinya terlihat sepatu datar berwarna merah itu terbungkus plastik bening.

"Alhamdulillah," desisnya, ia segera mengambil dan merapikan lagi isi-isi kotak ketempat semula.

"Ini ketemu, Bu." Bu kardi menerima dengan wajah semringah, tanpa berkata wanita paruh baya itu berlalu, memberikan pada Prilly yang sedang nonton di ruang tengah.

Dina baru mau berbalik saat Bu Kardi memanggilnya lagi.

"Din, hari ini Inah gak masuk kerja. Kamu tolong gantikan, ya. Hari ini aja. Bebersih rumah sama kamar mandi, sama cucian piring, tuh." Telunjuknya mengarah ke dapur.

"Bisa, Bu. Tapi saya mau pulang sarapan dulu." Matahari sudah naik dan perut Dina sudah terasa perih. Ia khawatir maag-nya kambuh.

"Makan di sini aja, Din. Ada sisa sarapan tadi pagi. Biar cepat selesai kerjaanmu."

Akhirnya Dina mengangguk kecil saat Bu Kardi mengajaknya ke dapur. Menurutnya, tidak biasa, tetangganya itu berbaik hati sampai menyendokkan nasi untuknya. Dina sempat merasa tidak enak hati.

"Nih, makan dulu, baru kerja. Biar ada tenaga," ucap Bu Kardi sambil menyodorkan piring ke tangan Dina.

Mata wanita muda itu sempat membulat melihat isi piring. Secentong nasi, secuil abon di pinggir piring dan saos sambal ... bukannya sombong, sesusah apapun ia dan Danang tidak pernah kekurangan makanan di rumah.

Meski lebih sering telur yang menjadi pengganti daging atau ikan, berteman sayuran.

Mendadak mata Dina berkaca, rasa ingin menangis ditahannya. Merasa tidak enak hati dengan pemilik rumah, ia tetap memakan makanan di piring.

Seleranya memang tidak ada, karena bau busuk masih seperti menempel di ujung hidung, tapi badannya butuh tenaga. Sambil memasukkan suap demi suap ke mulut batinnya tak henti memanjatkan doa. Meminta rejekinya lancar dan berkah, bermunajat semoga kefakirannya kini tidak menjadikan ia kufur nikmat ... semua doa yang baik diulangi Dina, hingga isi piring bersih.

Hari itu semua pekerjaan yang disuruh Bu Kardi diselesaikan Dina dengan baik. Dua lembar uang hijau masuk kantong.

'Alhamdulillah,' benaknya penuh syukur menerima.

"Itu upahnya kalau disuruh cepat. Coba kalau males kayak Nunuk, tuh, gak bakalan dapat apa-apa," kata Bu Kardi membandingkannya dengan tetangga ujung. Dina hanya membalas dengan senyum tipis, kemudian pamit pulang.

Di lingkungan tempat Dina tinggal beberapa rumah dibangun besar dan tinggi, halamannya luas terisi penuh mobil mahal, salah satunya rumah Bu Kardi. Sementara rumah Dina dan suami paling kecil dan tua, jadi seolah-olah terjepit. Itu rumah peninggalan orang tua Danang.

Hanya ada tanah kosong di sekitar rumah, yang Dina tanami bumbu dapur dan sayur-mayur untuk mengirit biaya dapur. Karena ketiadaan ini lah banyak tetangga ber-uang yang memakai jasanya dengan upah yang se-ikhlas mereka beri.

Dina yang belum direpotkan dengan kehadiran anak juga tak pernah pilih-pilih pekerjaan, asal bisa dikerjakan pasti ia terima.
  

***

"Dik, Bu Yanti nawarin kamu memasak makan siang untuk semua karyawan, mau nggak?"

Suatu hari sepulang kerja Danang membawa kabar gembira.

"Alhamdulillah. Beneran, Mas?"

"Iya, kan rencananya mau katering untuk karyawan, tapi ada yang nyeletuk 'istri mas Danang aja, masakkannya enak dan gak bosanin' gitu, jadi semua setuju kalau makan siang Adek yang bikinkan."

Senyum Dina lebar, antusias mendengar cerita suaminya.

"Tentu, Adek mau, Mas."

"Iya, nanti Mas telpon Bu Yanti, ngabarin."

Hatinya seakan-akan meloncat penuh syukur. Setelah ditelepon, Bu Yanti juga meminta dibuatkan snack untuk rapat esok hari. Ia segera mengirim supir ke rumah mengantar uang tanda jadi sekalian modal membeli bahan. Tiada terkira begitu mudah jalan Dina mendapatkan rezeki yang sangat besar menurutnya, rezeki tak disangka-sangka.

Sejak itu Dina mulai disibukkan dengan pekerjaan baru di dapur dan belanja bahan, karena supir kantorlah yang mengambil pesanan sebelum jam istirahat.

Pekerjaan sebagai pembantu dadakan di rumah tetangga pun terpaksa ditolak.

"Aku bisa bayar kamu lebih, Dina. Kamu capek masak, dapatnya cuma segitu!" cibir Bu Kardi saat ia terpaksa menolak permintaannya bebersih, menggantikan Inah yang ternyata minta berhenti.

Dina hanya tersenyum, mendoakan semoga Bu Kardi cepat dapat pengganti Inah, rumah besar miliknya tidak mungkin wanita itu bersihkan sendiri.

Dina mulai jarang keluar rumah, karena terlalu repot di dapur. Sore pun waktu dipakainya merumput atau bertanam di kebun kecil belakang rumah.

Tulisan 'Rumah Disita!' di depan pagar milik Bu Kardi pun baru ia lihat saat pulang membeli sayur. 'Ada apa?' benaknya dengan jantung berdetak lebih cepat.

Sesampai di halaman ternyata Bu Kardi sedang menunggu.

"Din ...." Ia tergopoh menghampiri Dina

"Iya, ada apa, Bu?" Motor Dina parkirkan sembarang, karena melihat penampilan Bu Kardi sangat kusut.

"Ibu mau minta tolong ...." Bu Kardi menunduk. "tolong pinjamkan Ibu uang, tiga ratus ribu, Din. Ibu sama Prilly mau pulang kampung ...," lanjutnya mulai terisak.

Dina menoleh ke kanan-kiri, gak enak kalau ada orang melihat kondisi Bu Kardi. Cepat dibukanya kunci rumah.

"Mari, Bu. Masuk dulu."

Bu Kardi menghapus air mata dengan ujung bajunya.

"Bapak ditangkap, Din ... hutangnya banyak sampai semua habiss, itu pun nggak bisa menutupi semua ...." Bu Kardi kembali terisak.

Mata Dina berair ikut merasakan apa yang Bu Kardi rasa.

"Ibu sama Prilly akan balik ke kampung Ibu di Desa. Kasihan Prilly di sini ia akan dibully teman-temannya," ucapnya setelah tangis mulai reda ada ketegaran di sana. Dina menggenggam tangannya.

"Saya ikut sedih, Bu. Semoga Ibu sama Prilly sabar ...."

Bu Kardi mengangguk berusaha tersenyum. Kemudian Dina merogoh kantong baju, lima lembar uang merah ditangkupkan di telapak tangan Bu Kardi. Bergetar bibir Bu Kardi mengucapkan terima kasih dijawab anggukkan kepala Dina.

Sebelum pergi Bu Kardi meminta maaf atas sikap buruknya selama ini.

"Nggak ada yang salah, Bu." Dina memasang senyum lebar. Bu Kardi terlihat lega dan memeluk Dina erat. Lagi, Dina pejamkan mata mendoakan semua kebaikkan untuk keluarga Bu Kardi.

Saat Bu Kardi pergi, ia menatap punggung wanita itu menjauh. Sembari memetik hikmah besar dari kejadian ini.

Betapa roda hidup berputar, dan ... betapa dahsyatnya doa saat hati tersakiti.

End.

Tetap doakan yang baik orang yang menyakiti kita, GanSis.

Revisi judul dari cerita ane Aku dan Tetanggaemoticon-Wowcantik

emoticon-Keep Posting Gan
Diubah oleh lin680 22-03-2020 03:27
nurulnadlifaNadarNadznona212
nona212 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.1K
32
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan