- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Rahasia_Lelaki_Pilihan
TS
analaila
Rahasia_Lelaki_Pilihan
#Rahasia_Lelaki_Pilihan

Sumber gambar : Pixabay.com
“Besok hari pernikahanmu dengan Rahman. Berhenti bertingkah yang memuakkan.” Wanita paruh baya itu melenggang dari hadapanku dengan angkuhnya. Sama sekali tak pernah mengerti perasaanku yang kerap terluka. Apakah semua ibu tiri di dunia ini sama? Berperan jahat, selalu ingin menguasai dalam skenario kehidupan anak tirinya.
“Tenang saja Ma, aku akan bersikap manis sesuai keinginanmu. Apa yang tidak bisa ku lakukan dari perintahmu selama ini?” Tantangku lantang, menghentikan langkahnya yang sudah sampai di daun pintu. Sekilas wanita bersanggul itu menoleh ke arahku. Menyunggingkan senyum sinis yang memuakkan. Aku benci.
“Mama yakin, wanita cerdas berkepala batu seperti dirimu bisa berbuat apapun di luar dugaan. Namun pada akhirnya kamu selalu gagal melawan rencana yang telah aku rancang, sebab yang kamu lakukan selalu dilandasi nafsu dan kebencian.”
“Shit.” Aku mencelos, apa yang dikatakannya memang benar. Tak ku duga wanita yang ku hadapi ini begitu tahu tentang diriku. Cerdik, namun mematikan. Kali ini dia mengangkat kedua alisnya, kemudian berlalu tanpa beban.
*****
“Saya terima nikah dan kimpoinya Risa Laila Purnama binti Hari Purnama dengan maskimpoi satu gram emas, satu surah ar-rohman, dan seperangkat alat solat tunai.” suara lantang ijab qobul yang barusan diucapkan lelaki itu membuat mataku membulat sempurna.
Apa aku tidak salah dengar? Hanya satu gram emas? Miskin sekali pria yang menikahiku ini. Surah ar-rohman untuk apa? Isshhh dasar lelaki aneh. Ah ya, seperangkat alat solat sebenarnya itu sudah familiar di telingaku saat setiap orang mengucap ijab qobul. Tapi . . . harus ku akui sudah sangat lama aku tidak menunaikan kewajiban lima waktuku. Sejak kepergian bunda, semuanya
berubah. Bahkan kehidupanku. Setitik bening terjatuh dari sudut netra mengingat betapa kelamnya aku selama ini.
“Nak Rahman, pakaikan cincinnya di jemari pengantin ya.” Suara emsi yang terdengar tiba-tiba itu sontak membuatku terkejut. Sedikit bergetar tangan dingin itu meraih jemari lentik milikku. Mungkin grogi, apakah wajah lelaki berjas hitam itu berubah pucat? Entahlah hingga detik ini pun aku belum pernah menatap wajahnya.Setelah cincinnya tertaut, aku masih menunduk. Sebenarnya hatiku diliputi rasa penasaran, ingin tahu seperti apa wajah lelaki yang telah sah menjadi suamiku ini?
Namanya juga dijodohkan, beginilah resikonya. Seperti membeli kucing dalam karung, mungkin itu peribahasa yang tepat untuk situasi dan kondisiku saat ini. Aku hanya sebatas tahu bahwa namanya Rahman, namun belum pernah bertemu sebelumnya. Wajahnya seperti apa? Tampan atau hancur? Aku menerka-nerka dalam hati. Ah aku tak peduli. Tentang pernikahan ini, jangan tanya seperti apa perasaanku? Aku telah bersahabat dengan ribuan luka, dengan tajamnya duri, dan nestapa-nestapa yang silih berganti. Sudah tidak ada lagi air mata untuk meratapi kesedihan. Lihatlah betapa aku terlihat tenang dan baik-baik saja, tanpa beban bahkan tanpa perasaan.
“Untuk mempelai wanita, ayo cium tangan suaminya.” Lagi-lagi MC sialan itu mengatur seenaknya.
Terpaksa aku menyambut uluran lengan pria itu, mencium punggung tangannya. Baru saja hendak melepaskan, aku merasakan ada bibir hangat yang mendarat tepat di keningku. Deg, detak jantungku terasa terhenti saat itu juga. Indra penciumanku menghirup aroma tubuhnya yang seperti cendana dan vanila yang disatukan. Harum menenangkan. Sejenak aku terpaku saat manik hitam kami beradu. Dua mata elangnya dinaungi oleh sepasang alis yang tertaut, hidung mancung, bibir manis dengan lengkung senyum yang sempurna. Haissshh aku hampir terlena mamandangnya.
Acara demi acara sudah terlewati, tiba saatnya kami di dudukkan di kursi pelaminan yang hampir seluruh dekorasinya berwarna gold lambang kemewahan. Suara emsi yang membacakan puisi dan wejangan menyedihkan sama sekali tak mampu menyentuh hatiku. Setelah melihat sosok lelaki tampan yang kini menjadi pendampingku itu, aku larut dalam perasaan yang entah.
“Kamu hebat Ris. Ikuti permainan ini. Jangan jadi wanita cengeng yang berkubang dalam masa lalu. Kau hanya boleh bercermin dan.membandingkan dirimu. Hanya ada dua pilihan. Melangkah atau mati tertinggal.”
Telingaku rasanya panas saat ibu tiri sialan itu berbisik pelan sambil memelukku di atas pelaminan. Hebat sekali aktingnya. Siapa pun pasti mengira bahwa wanita pengganti bundaku ini sangat menyayangiku, padahal aslinya dia begitu membenciku. Berbanding terbalik bukan? Kalau saja saat ini bukan ritual sungkem, tak sudi aku berlutut di kakinya. Senyumnya mengembang sempurna. Dengan riasan sederhana pun wanita itu sudah terlihat sangat cantik. Pantas saja ayah begitu mencintainya, lalu melupakan bunda yang telah tiada.
Kali ini posisiku berganti berlutut di kaki ayah, tentu saja atas perintah si MC itu. Siapa lagi coba? Toh dia yang mengatur jalannya acara ini. Sekilas aku memandang wajah ayah, kaca-kaca di matanya menggenang memenuhi kornea. Kalau saja tak segera mengerjap, pastilah butiran kristal itu sudah menetes jatuh mengenai wajahku. Sebab aku tengah mendongak menatap wajah tirusnya. Ada apa dengan Ayah? Sebelumnya aku tak pernah melihat rautnya begitu menyedihkan seperti saat ini.
“Maafkan Ayah, Nak. Belum berhasil menjadi orangtua yang baik untukmu. Namun Ayah sangat berharap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk suamimu.” ucapnya lirih di telingaku.
Air mataku luruh satu persatu, baru kali ini aku mendengar sosok tegas dan keras itu meminta maaf padaku. Apa aku tidak salah dengar? Mengingat hubunganku tak lagi hangat dengan ayah setelah kehadiran Rahmi Danisa, ibu tiri itu.Tiba-tiba saja aku merasa menjadi sosok melankolis yang lemah dan rapuh. Aku merasakan tubuh ayah merengkuhku dalam pelukannya. Hangat, menentramkan. Sejak perempuan sial itu hadir di kehidupanku, aku tak pernah lagi merasakan dekapan kasih sayang dari sosok ayahku. Baru kali ini, di tempat ini aku merasakan curahan kasih itu datang lagi. Dulu pelukan itu tempat ku labuhkan segala keluh kesah. Aku tidak bisa berjanji untuk bisa menjadi istri yang baik, sebab aku juga tidak tahu lelaki itu baik atau tidak terhadapku. Kenal juga nggak.
Ternyata menjadi pengantin itu sangat merepotkan. Bagaimana tidak? Baru duduk sebentar sudah harus berdiri lagi menyambut jabatan tangan-tangan para tamu undangan. Melelahkan, apalagi saat antriannya sangat panjang beuh kepala berasa nyut-nyutan. Aku mengedarkan pandang ke depan, kanan, dan kiri. Huuuufffft syukurlah tak ada satu pun temanku yang datang. Hanya ada para tamu undangan dari kolega dan teman-teman orang tuaku dan juga orang tua Rahman. Cukup ramai dan sedikit berdesakan. Ah ya aku pan sudah melarang mama untuk mengundang semua teman-temanku, jika mereka tahu kalo aku udah nikah bisa berabe nanti. Apa kata dunia coba? Disaat perempuan lain seusiaku di luar sana sibuk kuliah mengejar cita-cita, lha aku? Malah dinikahkan paksa seperti ini. Memalukan. Tapi … ada senengnya juga sih karena lelaki yang dipilihkan untukku ini ternyata ganteng bin tampan. Diam-diam aku mencuri pandang. Ada sedikit bulu tipis di dagunya, itu membuatnya sekilas mirip Omar Borkan. Apa? Omar Borkan? Apa nggak ketinggian? Ah sudahlah abaikan.
“Apa liat-liat, kagum ya?” ujarnya sok kepedean saat aku tertangkap basah memperhatikannya. Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Issshhh menyebalkan. Ternyata lelaki ini songong juga, awas lo ya.
“Noh ada belek di mata lo.” ujarku sekenanya.
Buru-buru Rahman mengusap kedua sudut matanya. Lalu saat ia sadar aku berbohong, mata elangnya menatapku tajam. ‘Emang enak dibohongin?’
*****
Jarum jam menunjuk angka 21.15 saat aku melangkah masuk ke kamar. Tak sabar rasanya aku ingin menghempaskan tubuh lelahku di kasur empuk kesayangan. Namun baru saja hendak tiduran, mataku tertumbuk pada ribuan kelopak mawar merah yang membentuk gambar love di tengah peraduan. Ah ini pasti ulah mama, siapa lagi coba? Dia kan sudah terbiasa mengatur seluruh ruangan di rumah ini. Bodo amat, tanpa menyingkirkan tuh bunga aku langsung merebahkan badan di pembaringan. Rasanya seperti surga bisa beristirahat setelah seharian penuh duduk di pelaminan.
‘Ceklek’ suara pintu kamar terbuka. Aku yang baru saja terpejam beberapa menit sontak membuka mata. Sosok bertubuh tinggi itu melangkah ragu mendekatiku. Mau apa dia masuk ke kamarku? Ups aku lupa kalo dia telah menjadi suami. Astaga jadi ini malam pertama? Oh No. Mengerikan.
“Rista, kenapa salamku gak dijawab.”
“Oh ya? Emang lo ngucapin salam?”
“Dua kali malah. Menjawab salam itu hukumnya wajib.” Dengan santai Rahman duduk di ujung ranjang.
Apa iya dia ngucapin salam tadi? aku gak denger. Mungkin aku terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri. Sudahlah gak penting juga.
“Nih bantal plus selimut. Lo tidur di bawah.” Aku beranjak duduk, menyodorkan barang itu di depan mukanya.
Rahman mengulurkan tangan, tapi tidak mengambil selimut. Dia mengusap puncak kepalaku pelan dan lembut.
“Isshhh apaan sih? Kenal juga nggak udah maen pegang-pegang aja. Lo jangan macem-macem atau gue teriak.” Kasar aku menepis lengannya.
“Ya udah kalo gitu kita kenalan. Namaku Muhammad Rahman Al-Mizan,” Dia mengulurkan tangan hendak berjabat. Aku tidak menggubrisnya. “Dasar remaja labil. Pikirannya kotor mulu. Aku hanya ingin membacakan do’a kebaikan untukmu. Itu saja. Sini mendekat.”
Sialan. Gue dibilang remaja labil? Ah bodo amat. Aku mendekat ke arahnya. “Masih mending gue remaja. Lha lo? Keliatan udah tua.”
“Biar pun tua kamu suka, kan?”
“Isssh dasar bujang lapuk.” Aku melotot menatapnya.
“Apa? Bujang lapuk? Kamu salah, aku bukan bujang.” Dia balas mendelik
“ Lantas? Lo duda gitu?”
“Yup betul.”
Astaga . . . jadi Rahman duda? Ah sialan. Dasar ibu tiri kejam! Sudah menjodohkan, dipilihkan dengan lelaki duda pula.
“Second aja bangga.” Sinis aku menatapnya.
“Udah jangan bahas kek gituan. Aku hanya ingin membacakan do’a.” Kali ini kubiarkan tangannya menyentuh ubun-ubunku. Benar saja ternyata dia mengucapkan kalimah dan do’a-do’a kebaikan untukku. Setiap lafadz yang diucapkannya terdengar fasih dan menyejukkan. Lembut dia mengusap ubun-ubunku lalu meniupnya perlahan. Haiiissshhh romantis kali ini pria. Ada desiran halus yang menyelusup relung. Bahkan letupannya tengah membuncah di dalam dada. Tiba-tiba dia mendekat, aku merasakan debar jantungku berpacu dengan cepat. Kini antara wajahku dan wajahnya hampir tak ada jarak, bahkan aku bisa merasakan hembus nafasnya yang harum dan hangat. Darahku terasa mengalir hangat ke seluruh tubuh. Tatapan Lelaki ini seperti morfin yang mematikan. Membuatku terdiam dan tak bisa bergerak sedikit pun. Mataku terpejam.
“ Woy . . . melek napa? merem terus dari tadi.” bisiknya di telingaku. Sontak saja aku membuka mata lalu membuang muka, tengsin bin malu jika dia sampai melihat rona merah di wajahku. Asem, ternyata dia hanya menggodaku.
“Oh ya, aku hanya ingin kasih mahar yang tadi belum sempat aku bacakan.” Mata tajamnya menatap langit-langit kamar. Dia berdiri dengan gaya cool. Lalu mengelilingi kamarku, seperti mencari sesuatu.
“Mahar? Lo pikun ya? Ini maskimpoinya udah gue pake.” Aku menunjukkan cincin di jemari.
“Bukan yang itu, Gembul.”
What? Dia panggil gue Gembul?
Berani sekali.
“Lantas lo nyari apa? Towaf gak jelas.”
“Qur’an mana?”
Deg, dia nyari qur’an? Aku harus bilang apa? Sadar tak pernah lagi menyentuh kitab suci itu sejak mama meninggal. Semuanya hancur, aku bahkan sempat menyalahkan takdir.
“Gue . . . gak punya qur’an. Dulu punya sih, tapi kan udah lama gue gak pernah baca. Jadi lupa deh naronya di mana.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Astagfirulloh, kok bisa gitu. Yaudahlah lain waktu saja.” Ia mendengus kesal.
“Gue ngantuk. Lo jangan coba-coba ganggu macan yang sedang tidur. Inget satu hal, lo tidur di bawah.”
“Tenang aja. Aku gak akan minta hak aku ke kamu kok. Sebelum kamu siap lahir batin.”
“Baguslah.” jawabku singkat. Menarik selimut bersiap untuk lelap.
“Sudah sholat isya?” Pertanyaannya kembali mengusikku.
“Sudah.”
“Kapan?”
“Dua tahun yang lalu.” Aku melirik sekilas ke arahnya. Lamat- lamat aku mendengar dia beristigfar sambil mengusap dadanya berulang kali.
_____
Silau. Aku sedikit menyipitkan mata saat sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kaca. Tidur semalaman membuatku lebih segar dan punya kekuatan baru. Pelan aku beranjak turun dari ranjang. Aku merasa aneh saat hendak membuka baju, menyadari aku masih memakai abaya pengantinku. Baju ini? Jadi aku sudah menikah? Seperti mimpi rasanya. Lalu lelaki itu? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tak ada siapa pun. Cepat aku membuka pintu kamar mandi. Tak ada orang. Hanya ada diriku.
“Rahman.” Pelan aku menggumam sendiri saat mengingat nama itu. Kemana dia? Ini kan masih pagi. Aku melirik jam dinding pukul 11.35. Astaga, aku kesiangan? Ah bukan siang lagi tapi udah mau dzuhur. Aku tidur apa mati sih? Sama sekali tak mendengar suara apapun. Parah.
Aku mematut diri di depan cermin. Mengamati sosok diriku. Berantakan. Sisa make up yang tidak sempat ku bersihkan meninggalkan riasan tipis di wajah. ‘Gembul’ Ah tiba-tiba aku ingat Rahman mengataiku seperti itu. Apa aku segendut yang dia kira? Aku memperhatikan sosok diriku yang memantul di cermin. Dengan tinggi badan 158 cm dan berat 60 kg, aku merasa tubuhku seksi dan montok. Bukan gembul seperti yang dia katakan semalam. Ah menyebalkan.
Rambut hitam lurus yang panjangnya melewati bahu membuatku terkesan eksotik. Wajah bulat telur, dengan kedua mata yang hampir menyerupai sabit saat tertawa dan hidung yang nggak pesek-pesek amat membuatku terlihat manis. Aku memang tidak cantik. Namun poin plusnya aku memiliki kulit putih bersih yang banyak di dambakan perempuan lain diluar sana. Kalo dilihat-lihat aku tipe perempuan yang manis dan tidak membosankan untuk dilihat . Gak percaya? Lihat saja aku.
Tiba-tiba gawai di atas nakas berdering. Aku meraihnya, namun sedikit terkejut saat melihat nama Mas Attar di layar ponsel.
“Assalamualaikum, Rista.” Suara khasnya membuat degup di dadaku semakin cepat.
“Waalaikumsalam.”
“Hey gimana kabarnya? Aku rindu.”
Deg. Kenapa saat dia mengatakan rindu rasanya seperti belati yang menghunjam. Padahal dulu, kata-kata itu membuat candu bagiku. Hening, aku memilih diam. Tak tahu harus jawab apa. Dia kekasihku, orang yang ku cintai selama ini. Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja, namun setelah dia memutuskan untuk meneruskan studi S2 nya di Jerman hubungan kami tak lagi hangat. Namanya juga LDR jarang ketemu, gak banyak komunikasi ya begitulah resikonya. Tapi . . . ada satu hal yang membuat hatiku sedikit tertekan. Kami punya rencana untuk menikah setelah dia menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Namun ternyata takdir telah menggariskan berbeda. Aku sudah menikah dengan Rahman. Duda tengil itu. Mas Attar sama sekali tidak tahu. Haruskah aku berterus terang saat ini?
“Kok diam? Gak kangen nih?”
“Hemmm . . . Aku baik Mas. Kamu?”
“ Aku juga baik. Oh ya . . . besok aku ke rumah kamu ya?”
Mataku terbelalak demi mendengar apa yang barusan Mas Attar katakan. Dia mau ke sini? Jangan sampe. Kalau itu terjadi pastilah akan ada perang dunia antara mama dan aku. Sebentar, tadi dia bilang besok mau ke sini? Memangnya dia sudah pulang dari Jerman? Kok aku nggak tahu?
“Mas Attar udah pulang dari Jerman?” Ragu aku menanyakan hal itu.
“Sudah kemarin. Sengaja gak ngabarin, biar jadi kejutan.” Nada suaranya di seberang terdengar begitu semangat. Sementara aku? Lemas.
“Oh iya, besok aku ajak orang tuaku juga ke rumah kamu. Boleh, kan?”
“Ha? Kok pake ngajak mereka? Mau ngapain?”
“Ngelamar kamu. Kan kita sudah berencana akan menikah setelah aku menyelesaikan studi.”
Kali ini ucapannya bagai godam yang menohokku.
“Ada yang ingin aku bicarakan Mas. Aku tunggu kamu di Resto tempat kita biasa makan ya. Sekarang.” Langsung aku memutus sambungan telepon. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menepis kepanikan yang terjadi. Aku bergegas mandi. Tak sabar rasanya untuk bertemu Mas Attar. Bukan karena rindu, tapi ingin menjelaskan suatu hal. Dengan mengenakan kaos hitam dipadu jaket lepis dan celana jeans aku bersiap ke luar. Namun saat lenganku hendak membuka pintu kamar, ada sesuatu yang tertangkap oleh netraku. Secarik kertas yang menempel dibalik pintu dengan tulisan tangan.
‘ Jangan sampai ayam jantan lebih pandai darimu. Ia berkokok di waktu subuh. Sedangkan kamu? Tetap lelap dalam tidur. Apa gak malu tuh sama ayam?’
RAHMAN ( SUAMI TERCINTA)
Bersambung

Sumber gambar : Pixabay.com
“Besok hari pernikahanmu dengan Rahman. Berhenti bertingkah yang memuakkan.” Wanita paruh baya itu melenggang dari hadapanku dengan angkuhnya. Sama sekali tak pernah mengerti perasaanku yang kerap terluka. Apakah semua ibu tiri di dunia ini sama? Berperan jahat, selalu ingin menguasai dalam skenario kehidupan anak tirinya.
“Tenang saja Ma, aku akan bersikap manis sesuai keinginanmu. Apa yang tidak bisa ku lakukan dari perintahmu selama ini?” Tantangku lantang, menghentikan langkahnya yang sudah sampai di daun pintu. Sekilas wanita bersanggul itu menoleh ke arahku. Menyunggingkan senyum sinis yang memuakkan. Aku benci.
“Mama yakin, wanita cerdas berkepala batu seperti dirimu bisa berbuat apapun di luar dugaan. Namun pada akhirnya kamu selalu gagal melawan rencana yang telah aku rancang, sebab yang kamu lakukan selalu dilandasi nafsu dan kebencian.”
“Shit.” Aku mencelos, apa yang dikatakannya memang benar. Tak ku duga wanita yang ku hadapi ini begitu tahu tentang diriku. Cerdik, namun mematikan. Kali ini dia mengangkat kedua alisnya, kemudian berlalu tanpa beban.
*****
“Saya terima nikah dan kimpoinya Risa Laila Purnama binti Hari Purnama dengan maskimpoi satu gram emas, satu surah ar-rohman, dan seperangkat alat solat tunai.” suara lantang ijab qobul yang barusan diucapkan lelaki itu membuat mataku membulat sempurna.
Apa aku tidak salah dengar? Hanya satu gram emas? Miskin sekali pria yang menikahiku ini. Surah ar-rohman untuk apa? Isshhh dasar lelaki aneh. Ah ya, seperangkat alat solat sebenarnya itu sudah familiar di telingaku saat setiap orang mengucap ijab qobul. Tapi . . . harus ku akui sudah sangat lama aku tidak menunaikan kewajiban lima waktuku. Sejak kepergian bunda, semuanya
berubah. Bahkan kehidupanku. Setitik bening terjatuh dari sudut netra mengingat betapa kelamnya aku selama ini.
“Nak Rahman, pakaikan cincinnya di jemari pengantin ya.” Suara emsi yang terdengar tiba-tiba itu sontak membuatku terkejut. Sedikit bergetar tangan dingin itu meraih jemari lentik milikku. Mungkin grogi, apakah wajah lelaki berjas hitam itu berubah pucat? Entahlah hingga detik ini pun aku belum pernah menatap wajahnya.Setelah cincinnya tertaut, aku masih menunduk. Sebenarnya hatiku diliputi rasa penasaran, ingin tahu seperti apa wajah lelaki yang telah sah menjadi suamiku ini?
Namanya juga dijodohkan, beginilah resikonya. Seperti membeli kucing dalam karung, mungkin itu peribahasa yang tepat untuk situasi dan kondisiku saat ini. Aku hanya sebatas tahu bahwa namanya Rahman, namun belum pernah bertemu sebelumnya. Wajahnya seperti apa? Tampan atau hancur? Aku menerka-nerka dalam hati. Ah aku tak peduli. Tentang pernikahan ini, jangan tanya seperti apa perasaanku? Aku telah bersahabat dengan ribuan luka, dengan tajamnya duri, dan nestapa-nestapa yang silih berganti. Sudah tidak ada lagi air mata untuk meratapi kesedihan. Lihatlah betapa aku terlihat tenang dan baik-baik saja, tanpa beban bahkan tanpa perasaan.
“Untuk mempelai wanita, ayo cium tangan suaminya.” Lagi-lagi MC sialan itu mengatur seenaknya.
Terpaksa aku menyambut uluran lengan pria itu, mencium punggung tangannya. Baru saja hendak melepaskan, aku merasakan ada bibir hangat yang mendarat tepat di keningku. Deg, detak jantungku terasa terhenti saat itu juga. Indra penciumanku menghirup aroma tubuhnya yang seperti cendana dan vanila yang disatukan. Harum menenangkan. Sejenak aku terpaku saat manik hitam kami beradu. Dua mata elangnya dinaungi oleh sepasang alis yang tertaut, hidung mancung, bibir manis dengan lengkung senyum yang sempurna. Haissshh aku hampir terlena mamandangnya.
Acara demi acara sudah terlewati, tiba saatnya kami di dudukkan di kursi pelaminan yang hampir seluruh dekorasinya berwarna gold lambang kemewahan. Suara emsi yang membacakan puisi dan wejangan menyedihkan sama sekali tak mampu menyentuh hatiku. Setelah melihat sosok lelaki tampan yang kini menjadi pendampingku itu, aku larut dalam perasaan yang entah.
“Kamu hebat Ris. Ikuti permainan ini. Jangan jadi wanita cengeng yang berkubang dalam masa lalu. Kau hanya boleh bercermin dan.membandingkan dirimu. Hanya ada dua pilihan. Melangkah atau mati tertinggal.”
Telingaku rasanya panas saat ibu tiri sialan itu berbisik pelan sambil memelukku di atas pelaminan. Hebat sekali aktingnya. Siapa pun pasti mengira bahwa wanita pengganti bundaku ini sangat menyayangiku, padahal aslinya dia begitu membenciku. Berbanding terbalik bukan? Kalau saja saat ini bukan ritual sungkem, tak sudi aku berlutut di kakinya. Senyumnya mengembang sempurna. Dengan riasan sederhana pun wanita itu sudah terlihat sangat cantik. Pantas saja ayah begitu mencintainya, lalu melupakan bunda yang telah tiada.
Kali ini posisiku berganti berlutut di kaki ayah, tentu saja atas perintah si MC itu. Siapa lagi coba? Toh dia yang mengatur jalannya acara ini. Sekilas aku memandang wajah ayah, kaca-kaca di matanya menggenang memenuhi kornea. Kalau saja tak segera mengerjap, pastilah butiran kristal itu sudah menetes jatuh mengenai wajahku. Sebab aku tengah mendongak menatap wajah tirusnya. Ada apa dengan Ayah? Sebelumnya aku tak pernah melihat rautnya begitu menyedihkan seperti saat ini.
“Maafkan Ayah, Nak. Belum berhasil menjadi orangtua yang baik untukmu. Namun Ayah sangat berharap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk suamimu.” ucapnya lirih di telingaku.
Air mataku luruh satu persatu, baru kali ini aku mendengar sosok tegas dan keras itu meminta maaf padaku. Apa aku tidak salah dengar? Mengingat hubunganku tak lagi hangat dengan ayah setelah kehadiran Rahmi Danisa, ibu tiri itu.Tiba-tiba saja aku merasa menjadi sosok melankolis yang lemah dan rapuh. Aku merasakan tubuh ayah merengkuhku dalam pelukannya. Hangat, menentramkan. Sejak perempuan sial itu hadir di kehidupanku, aku tak pernah lagi merasakan dekapan kasih sayang dari sosok ayahku. Baru kali ini, di tempat ini aku merasakan curahan kasih itu datang lagi. Dulu pelukan itu tempat ku labuhkan segala keluh kesah. Aku tidak bisa berjanji untuk bisa menjadi istri yang baik, sebab aku juga tidak tahu lelaki itu baik atau tidak terhadapku. Kenal juga nggak.
Ternyata menjadi pengantin itu sangat merepotkan. Bagaimana tidak? Baru duduk sebentar sudah harus berdiri lagi menyambut jabatan tangan-tangan para tamu undangan. Melelahkan, apalagi saat antriannya sangat panjang beuh kepala berasa nyut-nyutan. Aku mengedarkan pandang ke depan, kanan, dan kiri. Huuuufffft syukurlah tak ada satu pun temanku yang datang. Hanya ada para tamu undangan dari kolega dan teman-teman orang tuaku dan juga orang tua Rahman. Cukup ramai dan sedikit berdesakan. Ah ya aku pan sudah melarang mama untuk mengundang semua teman-temanku, jika mereka tahu kalo aku udah nikah bisa berabe nanti. Apa kata dunia coba? Disaat perempuan lain seusiaku di luar sana sibuk kuliah mengejar cita-cita, lha aku? Malah dinikahkan paksa seperti ini. Memalukan. Tapi … ada senengnya juga sih karena lelaki yang dipilihkan untukku ini ternyata ganteng bin tampan. Diam-diam aku mencuri pandang. Ada sedikit bulu tipis di dagunya, itu membuatnya sekilas mirip Omar Borkan. Apa? Omar Borkan? Apa nggak ketinggian? Ah sudahlah abaikan.
“Apa liat-liat, kagum ya?” ujarnya sok kepedean saat aku tertangkap basah memperhatikannya. Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Issshhh menyebalkan. Ternyata lelaki ini songong juga, awas lo ya.
“Noh ada belek di mata lo.” ujarku sekenanya.
Buru-buru Rahman mengusap kedua sudut matanya. Lalu saat ia sadar aku berbohong, mata elangnya menatapku tajam. ‘Emang enak dibohongin?’
*****
Jarum jam menunjuk angka 21.15 saat aku melangkah masuk ke kamar. Tak sabar rasanya aku ingin menghempaskan tubuh lelahku di kasur empuk kesayangan. Namun baru saja hendak tiduran, mataku tertumbuk pada ribuan kelopak mawar merah yang membentuk gambar love di tengah peraduan. Ah ini pasti ulah mama, siapa lagi coba? Dia kan sudah terbiasa mengatur seluruh ruangan di rumah ini. Bodo amat, tanpa menyingkirkan tuh bunga aku langsung merebahkan badan di pembaringan. Rasanya seperti surga bisa beristirahat setelah seharian penuh duduk di pelaminan.
‘Ceklek’ suara pintu kamar terbuka. Aku yang baru saja terpejam beberapa menit sontak membuka mata. Sosok bertubuh tinggi itu melangkah ragu mendekatiku. Mau apa dia masuk ke kamarku? Ups aku lupa kalo dia telah menjadi suami. Astaga jadi ini malam pertama? Oh No. Mengerikan.
“Rista, kenapa salamku gak dijawab.”
“Oh ya? Emang lo ngucapin salam?”
“Dua kali malah. Menjawab salam itu hukumnya wajib.” Dengan santai Rahman duduk di ujung ranjang.
Apa iya dia ngucapin salam tadi? aku gak denger. Mungkin aku terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri. Sudahlah gak penting juga.
“Nih bantal plus selimut. Lo tidur di bawah.” Aku beranjak duduk, menyodorkan barang itu di depan mukanya.
Rahman mengulurkan tangan, tapi tidak mengambil selimut. Dia mengusap puncak kepalaku pelan dan lembut.
“Isshhh apaan sih? Kenal juga nggak udah maen pegang-pegang aja. Lo jangan macem-macem atau gue teriak.” Kasar aku menepis lengannya.
“Ya udah kalo gitu kita kenalan. Namaku Muhammad Rahman Al-Mizan,” Dia mengulurkan tangan hendak berjabat. Aku tidak menggubrisnya. “Dasar remaja labil. Pikirannya kotor mulu. Aku hanya ingin membacakan do’a kebaikan untukmu. Itu saja. Sini mendekat.”
Sialan. Gue dibilang remaja labil? Ah bodo amat. Aku mendekat ke arahnya. “Masih mending gue remaja. Lha lo? Keliatan udah tua.”
“Biar pun tua kamu suka, kan?”
“Isssh dasar bujang lapuk.” Aku melotot menatapnya.
“Apa? Bujang lapuk? Kamu salah, aku bukan bujang.” Dia balas mendelik
“ Lantas? Lo duda gitu?”
“Yup betul.”
Astaga . . . jadi Rahman duda? Ah sialan. Dasar ibu tiri kejam! Sudah menjodohkan, dipilihkan dengan lelaki duda pula.
“Second aja bangga.” Sinis aku menatapnya.
“Udah jangan bahas kek gituan. Aku hanya ingin membacakan do’a.” Kali ini kubiarkan tangannya menyentuh ubun-ubunku. Benar saja ternyata dia mengucapkan kalimah dan do’a-do’a kebaikan untukku. Setiap lafadz yang diucapkannya terdengar fasih dan menyejukkan. Lembut dia mengusap ubun-ubunku lalu meniupnya perlahan. Haiiissshhh romantis kali ini pria. Ada desiran halus yang menyelusup relung. Bahkan letupannya tengah membuncah di dalam dada. Tiba-tiba dia mendekat, aku merasakan debar jantungku berpacu dengan cepat. Kini antara wajahku dan wajahnya hampir tak ada jarak, bahkan aku bisa merasakan hembus nafasnya yang harum dan hangat. Darahku terasa mengalir hangat ke seluruh tubuh. Tatapan Lelaki ini seperti morfin yang mematikan. Membuatku terdiam dan tak bisa bergerak sedikit pun. Mataku terpejam.
“ Woy . . . melek napa? merem terus dari tadi.” bisiknya di telingaku. Sontak saja aku membuka mata lalu membuang muka, tengsin bin malu jika dia sampai melihat rona merah di wajahku. Asem, ternyata dia hanya menggodaku.
“Oh ya, aku hanya ingin kasih mahar yang tadi belum sempat aku bacakan.” Mata tajamnya menatap langit-langit kamar. Dia berdiri dengan gaya cool. Lalu mengelilingi kamarku, seperti mencari sesuatu.
“Mahar? Lo pikun ya? Ini maskimpoinya udah gue pake.” Aku menunjukkan cincin di jemari.
“Bukan yang itu, Gembul.”
What? Dia panggil gue Gembul?
Berani sekali.
“Lantas lo nyari apa? Towaf gak jelas.”
“Qur’an mana?”
Deg, dia nyari qur’an? Aku harus bilang apa? Sadar tak pernah lagi menyentuh kitab suci itu sejak mama meninggal. Semuanya hancur, aku bahkan sempat menyalahkan takdir.
“Gue . . . gak punya qur’an. Dulu punya sih, tapi kan udah lama gue gak pernah baca. Jadi lupa deh naronya di mana.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Astagfirulloh, kok bisa gitu. Yaudahlah lain waktu saja.” Ia mendengus kesal.
“Gue ngantuk. Lo jangan coba-coba ganggu macan yang sedang tidur. Inget satu hal, lo tidur di bawah.”
“Tenang aja. Aku gak akan minta hak aku ke kamu kok. Sebelum kamu siap lahir batin.”
“Baguslah.” jawabku singkat. Menarik selimut bersiap untuk lelap.
“Sudah sholat isya?” Pertanyaannya kembali mengusikku.
“Sudah.”
“Kapan?”
“Dua tahun yang lalu.” Aku melirik sekilas ke arahnya. Lamat- lamat aku mendengar dia beristigfar sambil mengusap dadanya berulang kali.
_____
Silau. Aku sedikit menyipitkan mata saat sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kaca. Tidur semalaman membuatku lebih segar dan punya kekuatan baru. Pelan aku beranjak turun dari ranjang. Aku merasa aneh saat hendak membuka baju, menyadari aku masih memakai abaya pengantinku. Baju ini? Jadi aku sudah menikah? Seperti mimpi rasanya. Lalu lelaki itu? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tak ada siapa pun. Cepat aku membuka pintu kamar mandi. Tak ada orang. Hanya ada diriku.
“Rahman.” Pelan aku menggumam sendiri saat mengingat nama itu. Kemana dia? Ini kan masih pagi. Aku melirik jam dinding pukul 11.35. Astaga, aku kesiangan? Ah bukan siang lagi tapi udah mau dzuhur. Aku tidur apa mati sih? Sama sekali tak mendengar suara apapun. Parah.
Aku mematut diri di depan cermin. Mengamati sosok diriku. Berantakan. Sisa make up yang tidak sempat ku bersihkan meninggalkan riasan tipis di wajah. ‘Gembul’ Ah tiba-tiba aku ingat Rahman mengataiku seperti itu. Apa aku segendut yang dia kira? Aku memperhatikan sosok diriku yang memantul di cermin. Dengan tinggi badan 158 cm dan berat 60 kg, aku merasa tubuhku seksi dan montok. Bukan gembul seperti yang dia katakan semalam. Ah menyebalkan.
Rambut hitam lurus yang panjangnya melewati bahu membuatku terkesan eksotik. Wajah bulat telur, dengan kedua mata yang hampir menyerupai sabit saat tertawa dan hidung yang nggak pesek-pesek amat membuatku terlihat manis. Aku memang tidak cantik. Namun poin plusnya aku memiliki kulit putih bersih yang banyak di dambakan perempuan lain diluar sana. Kalo dilihat-lihat aku tipe perempuan yang manis dan tidak membosankan untuk dilihat . Gak percaya? Lihat saja aku.
Tiba-tiba gawai di atas nakas berdering. Aku meraihnya, namun sedikit terkejut saat melihat nama Mas Attar di layar ponsel.
“Assalamualaikum, Rista.” Suara khasnya membuat degup di dadaku semakin cepat.
“Waalaikumsalam.”
“Hey gimana kabarnya? Aku rindu.”
Deg. Kenapa saat dia mengatakan rindu rasanya seperti belati yang menghunjam. Padahal dulu, kata-kata itu membuat candu bagiku. Hening, aku memilih diam. Tak tahu harus jawab apa. Dia kekasihku, orang yang ku cintai selama ini. Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja, namun setelah dia memutuskan untuk meneruskan studi S2 nya di Jerman hubungan kami tak lagi hangat. Namanya juga LDR jarang ketemu, gak banyak komunikasi ya begitulah resikonya. Tapi . . . ada satu hal yang membuat hatiku sedikit tertekan. Kami punya rencana untuk menikah setelah dia menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Namun ternyata takdir telah menggariskan berbeda. Aku sudah menikah dengan Rahman. Duda tengil itu. Mas Attar sama sekali tidak tahu. Haruskah aku berterus terang saat ini?
“Kok diam? Gak kangen nih?”
“Hemmm . . . Aku baik Mas. Kamu?”
“ Aku juga baik. Oh ya . . . besok aku ke rumah kamu ya?”
Mataku terbelalak demi mendengar apa yang barusan Mas Attar katakan. Dia mau ke sini? Jangan sampe. Kalau itu terjadi pastilah akan ada perang dunia antara mama dan aku. Sebentar, tadi dia bilang besok mau ke sini? Memangnya dia sudah pulang dari Jerman? Kok aku nggak tahu?
“Mas Attar udah pulang dari Jerman?” Ragu aku menanyakan hal itu.
“Sudah kemarin. Sengaja gak ngabarin, biar jadi kejutan.” Nada suaranya di seberang terdengar begitu semangat. Sementara aku? Lemas.
“Oh iya, besok aku ajak orang tuaku juga ke rumah kamu. Boleh, kan?”
“Ha? Kok pake ngajak mereka? Mau ngapain?”
“Ngelamar kamu. Kan kita sudah berencana akan menikah setelah aku menyelesaikan studi.”
Kali ini ucapannya bagai godam yang menohokku.
“Ada yang ingin aku bicarakan Mas. Aku tunggu kamu di Resto tempat kita biasa makan ya. Sekarang.” Langsung aku memutus sambungan telepon. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menepis kepanikan yang terjadi. Aku bergegas mandi. Tak sabar rasanya untuk bertemu Mas Attar. Bukan karena rindu, tapi ingin menjelaskan suatu hal. Dengan mengenakan kaos hitam dipadu jaket lepis dan celana jeans aku bersiap ke luar. Namun saat lenganku hendak membuka pintu kamar, ada sesuatu yang tertangkap oleh netraku. Secarik kertas yang menempel dibalik pintu dengan tulisan tangan.
‘ Jangan sampai ayam jantan lebih pandai darimu. Ia berkokok di waktu subuh. Sedangkan kamu? Tetap lelap dalam tidur. Apa gak malu tuh sama ayam?’
RAHMAN ( SUAMI TERCINTA)
Bersambung
Diubah oleh analaila 30-03-2019 00:17
Kurohige410 dan ginanisa7 memberi reputasi
3
642
10
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan