NegaraTerbaru
TS
NegaraTerbaru
Swasta Ogah Inisiatif Social Distancing Imbauan Presiden
Spoiler for Penumpukan Penumpang:


Spoiler for Video:


Virus corona (COVID-19) telah menjadi pandemik. Berbagai cara tengah dilakukan oleh dunia guna menekan penyebaran virus ini. Salah satu cara dipaparkan melalui video dengan judul ‘Bagaimana Wabah COVID-19 Bisa Berakhir’ yang menyebar di media sosial. Bahkan turut disebarkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD.





Video berdurasi 2 menit 19 detik itu menyadur dari laporan The Washington Post tertanggal 14 Maret 2020 oleh Harry Stevens. Lewat artikelnya Harry memaparkan bagaimana bisa kurva penyebaran virus corona terus meningkat secara tajam dan menjelaskan metode agar kurva tersebut menjadi landai. Dengan kata lain ia memaparkan cara untuk memperlambat peneyebaran virus sekaligus memperkecil jumlah penderita.

Ia mengumpamakan penyakit yang menyebar dengan sebutan simulitis. Apabila orang yang terkena simulitis bergerak bebas dalam suatu populasi, maka penyakit akan menyebar dengan cepat dan kurva penyebaran akan meningkat secara drastis. Kurva akan terus meningkat hingga mencapai satu titik jenuh, kemudian akan menurun seiring dengan banyaknya orang yang sembuh dari simulitis. Kondisi ini diberi istilah Free for All.

Penyebaran simulitis tanpa efek samping tentu tidak akan membuat kita khawatir. Tapi bagaimana jika simulitis diganti dengan COVID-19. Peningkatan jumlah penderita corona yang drastis, tentu tidak seriring dengan fasilitas kesehatan. Banyak orang akan terkena corona, namun saking banyaknya, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit tidak dapat menampung atau menanganinya. Pada akhirnya banyak orang akan meninggal dunia.

Lantas bagaimana agar kurva tersebut tidak terlalu curam? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satunya dilakukan pemerintah China dengan contoh kasus Provinsi Hubei (tempat asal mula penyebaran COVID-19). Yakni dengan metode Force Quarantine alias Karantina Paksa alias Lockdown. Force Quarantine melarang seluruh aktivitas publik, kecuali beberapa orang seperti untuk ke Rumah Sakit maupun logistik.

Dalam prakteknya, Force Quarantine adalah suatu hal yang mustahil, dan tidak efektif. Sebab tetap saja akan ada ruang atau kebocoran yang terjadi. Profesor Hukum Kesehatan Global Universitas Georgetown, Lawrence O. Gostin mengatakan Lockdown seperti ini sangat jarang dan tidak efektif. Lagipula Force Quarantine telah melanggar prinsip kebebasan manusia dengan cara yang diktator bukan?

Oleh karena itu, ada cara lain yang dapat dilakukan dan jauh lebih efektif, yakni Social Distancing. Social Distancing adalah mengurangi interaksi sosial dengan orang lain terkecuali untuk hal yang sangat penting. Semakin masyarakat tidak berinteraksi satu dengan yang lain, maka semakin kecil pula peluang penyebaran virus.

Namun bagaimana cara agar Social Distancing dapat dilakukan dengan efektif? Kita tahu, anjuran pemerintah untuk mengurangi berpergian tidaklah cukup. Orang-orang akan tetap saja keluar rumah. Mungkin karena pekerjaan, sekolah, atau berkumpul bersama orang lain di restoran dan tempat publik lainnya. Di sinilah pentingnya menutup tempat-tempat yang biasa didatangi banyak orang.

Akan tetapi, Pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat untuk tidak berpergian. Oleh karena itu harus ada kesadaran dari pihak swasta untuk menutup sementara kantor, restoran, atau tempat lainnya yang menjadi lokasi berkumpulnya publik. Italia telah melakukannya dengan menutup restoran-restoran, begitu juga China dan AS.

Kesadaran publik harus diiringi dengan kesadaran swasta menutup ruang publik. Inilah yang dapat diartikan dengan Moderate Social Distancing.

Social Distancing akan lebih ampuh lagi dalam menekan penyebaran virus ketika regulator atau pemerintah turut membatasi fasilitas publik. Kombinasi dari kesadaran publik, swasta, dan regulasi pemerintah dapat kita sebut dengan Extensive Social Distancing.

Sumber : The Washington Post[Why outbreaks like coronavirus spread exponentially, and “how to flatten the curve”]

Setelah melihat paparan tentang mengurangi penyebaran virus corona dari The Washington Post tersebut, maka mari kita kembali ke video yang menyebar di medsos. Hal yang menarik adalah perbedaan video itu soal Force Quarantine atau Lockdown yang diberi istilah Partial Lockdown. Padahal Force Quarantine bukan berarti Partial Lockdown. Force Quarantine tetap memiliki celah masuk penyebaran virus karena mustahil melakukan Lockdown secara 100 %.

Selain itu, video tersebut juga memaparkan tentang Social Distancing yang amat berbeda maksudnya dengan Social Distancing Harry Stevens. Menurut video yang turut disebarkan Mahfud MD itu, Social Distancing adalah kesadaran dari diri sendiri untuk tidak berpergian. Pada faktanya definisi itu sama saja dengan Free for All. Tidak mungkin orang-orang dilarang atau sadar sendiri untuk tidak berpergian. Seperti di Indonesia, orang-orang masih ke kantor, ke restoran, bahkan ke tempat liburan.

Social distancing hanya akan berhasil ketika pihak swasta yang memiliki kantor, restoran, atau tempat berkumpul lainnya memiliki kesadaran untuk menutup tempat publik tersebut. Tentunya apabila pihak swasta mau berpikir secara jangka panjang, tidak akan mungkin mereka mengorbankan pelanggan, karyawan, atau pengunjungnya demi keuntungan jangka pendek semata.

Oleh karena itu, tindakan dari Gubernur DKI yang mempersingkat jadwal operasional TransJakarta hingga pukul 18.00 dan memperpendek rutenya sudah tepat. Ia melakukannya agar Social Distancing dapat terwujud. Namun karena pihak swasta masih menggunakan waktu pulang jam kantor secara normal serta tetap membuka ruang publik seperti restoran dan mall, terjadilah penumpukan penumpang TransJakarta saat jam pulang kantor.

Amat disayangkan ketika beberapa pihak mengkritik langkah tersebut. Padahal yang justru harus dikritik adalah pihak swasta yang tidak memiliki kesadaran untuk memfasilitasi Social Distancing hanya demi laba jangka pendek.

Sumber : CNN Indonesia [Kebijakan Blunder Transportasi Anies Berujung Amburadul]

Mungkin berbagai kebijakan dari Gubernur DKI ini pula yang menyebabkan video yang beredar di medsos mengubah istilah Force Quarantine menjadi Partial Lockdown. Seolah-olah Pemda DKI telah bertindak bagaikan diktator.

Bukankah Pemda DKI tidak menegur orang-orang yang berpergian ke luar rumah seperti Lockdown yang dilakukan di Wuhan? Gubernur DKI justru telah memberlakukan konsep Social Distancing, yakni membatasi pilihan aktivitas publik di luar rumah.

Jadi apabila ada pihak yang menolak Extensive Distancing yang diberlakukan Anies Baswedan, maka mereka justru mendukung terjadinya simulasi Free for All seperti yang dipaparkan oleh The Washington Post.

Padahal pada Minggu 13 Maret 2020, Presiden Jokowi telah memaparkan pentingnya Social Distancing untuk diterapkan dalam kondisi saat ini. Regulasi yang diterapkan Anies sebenarnya telah sejalan dengan keinginan Presiden.

Sumber : JPNN [Jokowi Pengin Social Distancing jadi Gerakan Masyarakat]

Apabila kita ingin Social Distrancing berlaku, justru hal yang pertama kali harus diluruskan adalah kesadaran dari pihak swasta untuk menutup kantor, restoran, maupun ruang publik. 
Diubah oleh NegaraTerbaru 17-03-2020 06:40
anasabilasebelahbloginfinitesoul
infinitesoul dan 26 lainnya memberi reputasi
19
11.5K
167
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan