rahma.syndromeAvatar border
TS
rahma.syndrome
(CERPEN) Surat Terakhir Dari Ibu
Sekitar pukul 09.00 WIB , Vanya baru terbangun dari tidurnya. Dia terbiasa bangun siang ketika hari libur. Setiap pagi ibunya selalu menyiapkan sarapan untuk Vanya, sang ibu sangat menyayangi anak gadisnya itu. Vanya hidup hanya dengan Ibunya saja, sedangkan Ayahnya sudah meninggal saat Vanya duduk di kelas 6 SD. Mereka hidup dalam kesederhanaan, dan  tak pernah kekurangan. Ibunya adalah seorang Guru di salah satu SMP, dia bekerja membanting tulang untuk menafkahi hidupnya dengan Vanya. Saat ini Vanya duduk di bangku SMA kelas 11. Dia adalah anak satu-satunya, dan itu membuat Vanya mempunyai sifat yang manja.



“Sudah bangun sayang? Sini sarapan sama Ibu,” ucap Ibunya ketika Vanya sudah keluar dari kamar.

“Kamu sudah besar Nak, kalo bangun jangan terlalu siang. Gak bagus buat anak gadis,” sambung Ibunya lagi.

Tapi vanya tak menaggapi ucapan Ibunya dan memilih duduk untuk sarapan pagi. Ibunya hanya menghela napas karena tidak ada jawaban dari anaknya.

“Abis ini Vanya mau pergi Bu,” ucap Vanya selesai makan.

“Kemana? Ini kan hari libur, sekali-kali kamu temani Ibu di rumah.” Jawab Ibunya dengan lembut.

“Ya ampun Bu, Vanya kan udah gede, wajar dong kalo hari libur pergi sama teman-teman. Stress tau Bu, tiap hari sekolah tanpa liburan,” ucapnya dengan wajah cemberut.

Hari itu pergilah Vanya dengan temannya untuk berjalan-jalan di mall dan nonton di bioskop. Sedangkan Ibunya di rumah mencuci baju Vanya dan beres-beres rumah, dia membersihkan segalanya tanpa bantuan dari anak gadisnya.

Ketika malam tiba, Vanya belum juga kembali pulang. Ibunya sangat khawatir takut terjadi sesuatu terhadap Vanya. Sekitar jam 9 barulah Vanya baru pulang.

“Kamu dari mana saja? Ibu khawatir sama kamu!” ucap ibunya dengan nada sedikit tinggi.

“Ya ampun Bu, Vanya kan udah gede, Ibu gak usah memperlakukan Vanya seperti anak kecil lagi deh.” Jawab Vanya kesal.

Setelah itu Vanya meninggalkannya menuju ke kamar untuk mandi dan tidur. Sang Ibu hanya menatap kepergian Vanya dengan raut wajah yang muram.

Setiap hari ibunya bangun jam 4 pagi untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah dan setelah itu pergi mengajar. Sedangkan Vanya tak pernah sekalipun membantu Ibunya dengan alasan lelah. Ibunya selalu memaklumi dan berusaha mengerjakan segala sesuatunya sendiri.

Hingga suatu hari Vanya pulang dengan seorang lelaki, Ibunya heran kenapa Vanya membawa seorang lelaki. Padahal sang Ibu sudah melarangnya untuk tidak berpacaran karena ia masih duduk di bangku SMA. Dan karena penasaran ibunya pun menanyakan langsung kepada Vanya.

“Dia siapa?” tanya Ibunya saat makan malam.

“Teman Bu,” jawabnya singkat.

“Oh syukurlah. Ibu pikir dia pacar kamu, kan Ibu sudah melarangmu untuk tidak berpacaran karena belum waktunya. Ibu juga khawatir jika dia itu bukan anak yang baik-baik,” ucap Ibunya menasehati.

“Emang kenapa kalo dia pacar Vanya? Wajar dong Bu kalo Vanya punya pacar, itu berarti Vanya normal.” Jawab Vanya.

Vanya merasa kesal karena Ibunya selalu melarangnya melakukan banyak hal, mulai dari dia dilarang pacaran, dilarang pulang larut malam dilarang bergaul dengan lelaki sembarangan. Vanya ingin dia seperti anak-anak lain yang bisa bebas melakukan apa saja. Vanya merasa hidupnya selalu di atur oleh Ibunya, dan Vanya harus menuruti apa yang di inginkan Ibunya.

Hari ini Vanya ulang tahun, Ibunya pergi ke toko untuk membeli kue dan mencari hadiah untuk anak semata wayangnya. Namun hingga larut malam Vanya belum juga pulang sampai akhirnya sang Ibu lelah menunggu dan tertidur di sofa. Saat Vanya pulang dia kaget melihat Ibunya tertidur di sofa dan melihat ada kue ulang tahun dan bingkisan di meja. Vanya menatap wajah Ibunya.

“Bu, maafkan Vanya,” ucap Vanya lirih.

Tak lama Ibunya terbangun dan melihat anak gadisnya berada di depannya, ia pun tersenyum dan menyalakan lilin ulang tahun. Malam itu mereka merayakan ulang tahun Vanya dengan bahagia. Tak hentinya sang Ibu tersenyum melihat tingkah Vanya yang seperti anak kecil. Namun tiba-tiba sang Ibu memegangi perut bagian bawah, dan seketika ia kehilangan tenaganya.

“Ibu sakit?” tanya Vanya lirih.

“Ibu nggak apa-apa, perut Ibu hanya sakit karena salah makan,” ucapnya dengan senyum yang di paksakan.

Tapi Vanya sudah beberapa kali melihat ibunya seperti itu, memegangi perutnya yang sakit. Tapi baru kali ini dia menanyakannya.

Keesokannya Vanya berangkat sekolah seperti biasa. Saat di sekolah dia di ajak clubbing oleh pacar dan sahabatnya. Tapi dia menolak karena Ibu pasti tidak mengizinkan dia pergi hingga larut malam. Tapi Vanya terus di paksa sampai akhirnya dia menyerah dan ikut bersama mereka.

Malam ini malam minggu dan Vanya meminta izin kepada Ibunya untuk keluar dan berjanji pulang saat jam sembilan malam. Tapi hingga jam sembilan Vanya tak kunjung pulang, di telepon pun HPnya tidak aktif. Ibunya sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap Vanya. Tapi di saat Ibunya mengkhawatirkan Vanya, dia justru sedang bersenang-senang di salah satu diskotik. Dan karena bujukan temannya dia juga meminum alkohol sampai dia benar-benar mabuk. Saat Ibunya sedang menunggu Vanya dirumah, tiba-tiba perut bagian bawahnya sangat sakit. Dia meminta pertolongan tetanga untuk membawanya ke rumah sakit. Saat perjalanan ke rumah sakit dia cemas memikirkan Vanya, apalagi nanti ketika Vanya pulang dia tidak ada di rumah.

Keesokan paginya, saat Ibunya pulang ia tak mendapati Vanya ada di rumah, ia sangat panik karena sampai sekarang Vanya belum pulang. Karena sudah tak tahan dengan rasa gelisahnya, akhirnya sang Ibu bertekad untuk mencari. Namun sebelum sang Ibu keluar rumah, tiba-tiba Vanya pulang.

“Vanya!!! Kamu dari mana saja? Semalaman kamu nggak pulang? Apa kata orang kalo mereka tahu kamu semalaman nggak pulang? Kamu tidur di mana? Sama siapa?” Ibunya memarahi Vanya karena sudah sangat geram akan sikapnya.

“Va…Vanya dari rumah sakit Bu. Semalam teman Vanya ada yang kecelakaan,” ujar Vanya berbohong.

“Rumah sakit katamu?” ucap Ibunya dengan nada tinggi.

“Semalam Ibu dari rumah sakit dan Ibu gak liat ada kamu di sana, dan malam tadi gak ada pasien yang kecelakaan,” sambung Ibunya penuh penekanan. Tapi ia menyesal karena mengakui bahwa semalam ke rumah sakit.

“Apa? Ibu ke rumah sakit?” tanya Vanya heran.

“Teman Ibu sakit parah, jadi Ibu menjenguknya” jawabnya berbohong.

“Kamu bohong Vanya, jadi kamu pergi kemana?”

“Bu, Vanya udah gede. Vanya tau mana yang baik dan buruk. Vanya-"

“Stop, kamu selalu mengatakan bahwa kamu sudah besar, tau mana yang baik dan buruk. Hentikan omong kosongmu itu Vanya! Ibu hanya takut kamu salah pergaulan.” Ucap Ibunya.

“Terserah Ibu mau ngomong apa!Vanya capek mau tidur” ucap Vanya sambil berlalu meninggalkannya.

Sang Ibu memejamkan mata, mengatur napas yang memburu karena menahan emosi. Tanpa sadar cairan bening berhasil lolos dari matanya. Ia segera menghapusnya dengan kasar.
Sementara di kamar Vanya menggerutu karena kesal dengan Ibunya.

“Hahhhhh!…” teriak Vanya frustasi sambil mengacak rambutnya. Dia merasa sudah tidak tahan dengan Ibunya yang selalu melarang ini dan itu. Bahkan ketika dia masuk SMA, Ibunya lah yang menyuruhnya untuk mrngambil jurusan IPA. Padahal Vanya tak menyukainya.


Pagi ini Vanya berangkat sekolah seperti biasa, dan dia juga sudah berbaikan dengan Ibunya. Saat istirahat sekolah dia menerima telepon dari nomor yang tak di kenal. Vanya mengangkatnya dengan ragu, ia sangat kaget mendengar apa yang ucapkan oleh orang yang meneleponnya.

Dengan cepat ia langsung meminta izin untuk pulang dan mengendarai sepeda motornya menuju ke rumah sakit. Vanya berdiri mematung melihat Ibunya terbaring tak berdaya, matanya terpejam dan wajahnya menyiratkan kesedihan.

“Ibu kenapa?” tanya Vanya kepada Tantenya.

“Gak apa-apa sayang, Ibumu hanya butuh istirahat, jadi dia harus rawat inap di rumah sakit.

Vanya hanya mengangguk mendengar penjelasan Tantenya, ia duduk menemani Ibunya. Saat malam tiba, Vanya di suruh pulang oleh Tantenya karena masih menggunakan seragam sekolah.

Sekitar jam 01.00 WIB dini hari, Vanya belum bisa tidur karena memikirkan Ibunya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ibunya. Tiba-tiba HPnya berbunyi, ia melihat pada layar HP dan ternyata itu Tantenya.

“Halo Vanya, kamu udah tidur sayang?”

“Belum Tante, ada apa?”  tanya Vanya.

“Ke rumah sakit sekarang ya, berani kan?” jawab Tantenya.

Setelah Vanya menutup teleponnya, entah kenapa ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Dengan cepat ia segera menuju ke rumah sakit, setibanya di sana ia langsung menuju ke ruangan dimana Ibunya di rawat. Ibunya tersenyum melihat Vanya, dan Vanya pun memeluknya lega karena apa yang di takutkan Vanya tidak terjadi.

“Kamu tidur di sini ya Nak, temenin Ibu karena Tante mau pulang,” ucap Ibunya lirih.

“Iya Bu,” jawab Vanya.

Vanya duduk menemani Ibunya sambil bercerita, sang Ibu mendengarkan hingga tertidur pulas. Vanya pun memutuskan untuk ikut tidur di sofa.

Keesokannya Vanya bangun dan melihat Ibunya masih tertidur.

“Bu, Vanya gak berangkat sekolah ya,” ucap Vanya.

Namun tak ada tanggapan dari Ibunya. Vanya beranjak untuk menghampiri Ibunya, namun sebelum itu dokter dan perawat masuk lalu menyuruh Vanya untuk keluar. Vanya duduk menunggu apa yang terjadi kepada Ibunya, dia pikir Ibunya hanya di periksa biasa. Tak lama dokter pun keluar, Vanya langsung menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi dengan Ibunya.

“Dokter, bagaimana keadaan Ibu saya?” Tanya Vanya.

“Maaf, Ibu anda tidak bisa di selamatkan,” ucap sang dokter lirih.

Seketika tubuh Vanya lunglai mendengar kabar itu, ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ini pasti gak nyata, ini mimpi batin Vanya. Dia berlari masuk untuk melihatnya langsung. Air mata Vanya meleleh melihat Ibunya yang sudah tidak bernapas lagi, dadanya sesak dan hatinya sangat sakit. Ia hanya mempunyai Ibu tapi sekarang pergi meninggalkannya terlebih dahulu.

“Bu, bangun!!! Ini Vanya, maafin Vanya Bu. Bu aku mohon bangun dan lihat Vanya,” ucap Vanya histeris.

“Vanya janji akan menjadi anak yang baik Bu, tapi tolong bangun.” Vanya terus berteriak, ia sudah sangat kacau. Tantenya datang dan langsung memeluk Vanya.

“Tolong ikhlaskan kepergian Ibu kamu ya sayang,” ucap Tantenya lirih.

“Tante, ini cuma mimpi kan? Kemaren Ibu sehat dan masih bersama Vanya” ucap Vanya dengan menangis histeris.

Pemakaman sudah di langsungkan tetapi Vanya belum beranjak pergi. Ia masih jongkok menatap batu nisan sang Ibu dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia hanya terdiam, ini semua seperti mimpi bagi Vanya. Setelah setengah jam Vanya hanya duduk dan diam, akhirnya  beranjak pulang ke rumahnya.

Vanya duduk di tepi ranjang milik sang Ibu, matanya meneliti setiap ruangan. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah album. Vanya mendekati dan membuka album itu, tapi ia menemukan surat dan surat itu di tunjukan kepadanya.

Quote:


Tangan Vanya gemetar, air matanya terus mengalir, tubuhnya lunglai dan terduduk di lantai. Dia menangis dalam kesunyian, tangisannya terdengar pilu dan penuh dengan penyesalan. Selama ini dia selalu membantah Ibunya, selalu merasa kesal saat Ibunya memarahi atau melarangnya berbuat sesuatu. Tapi sekarang? Sudah tak ada lagi yang memarahinya. Entah berapa lama Vanya menangis di dalam kamar Ibunya. Ia juga sangat menyesal karena dia bahkan tak tahu bahwa Ibunya ternyata mengindap kanker, dan harus menderita sendiri. Vanya marah terhadap dirinya sendiri.

Beberapa tahun kemudian Vanya lulus SMA dan melanjutkan kuliah di salah satu Universitas dengan beasiswa. Dia mengambil jurusan kedokteran dan wisuda dengan nilai yang sangat memuaskan. Setelah kepergiaan Ibunya Vanya berubah menjadi gadis yang rajin belajar dan mandiri sehingga dia bisa meraih beasiswa. Itu semua dia lakukan demi Ibunya, karena dia sangat menyayangi Ibunya. Ia yakin meskipun Ibunya telah tiada tapi Ibunya pasti bangga melihat anak semata wayangnya menjadi seorang dokter. Terkadang rasa sakitlah yang membuat kita dewasa.

Hari ini Vanya mengunjungi makam Ibunya, dia membersihkan makam itu dan berdoa untuk sang Ibu. Air matanya terus mengalir tanpa henti.

“Ibu, apa Ibu mendengar tangis rinduku ini? Aku ingin memelukmu dan mengatakan bahwa aku sudah berhasil menjadi doker seperti yang Ibu katakan dulu. Maafkan sikap Vanya dulu Bu, Vanya menyesal.” Ucap Vanya sambil mengelus batu nisan Ibunya. Kini dia sudah membuktikan bahwa dia bisa menjadi gadis seperti apa yang di inginkan oleh Ibunya.




NadarNadz
nona212
husnamutia
husnamutia dan 21 lainnya memberi reputasi
22
2.5K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan