NiningMeuAvatar border
TS
NiningMeu
PILU LAILA

Saat Tiada Maaf... Bagimu




"Bu ... maafkan Laila, Bu," lirih aku kembali memohon kepada Ibu. Hanya menatap punggungnya yang ringkih, tak berani duduk berseberangan dengannya dimeja makan ini.

Ibu terus diam tak mau lagi bicara padaku, sungguh besar dosa yang kuperbuat, aku tahu. Aku sangat menyesal, jika saja waktu dapat diputar ulang tentu aku tak akan melakukan perbuatan bodoh itu.

Lagi, kulihat bahu Ibu bergetar perlahan. Ibu menangis. Perih hati ini melihat air mata Ibu.

Bu, Laila harus bagaimana agar Ibu tidak marah lagi? Perlahan kudekati, ragu kusentuh kaki nya sambil berlutut. Namun Ibu segera beranjak pergi meninggalkanku menuju kamar dan menangis disana. Ya Allah ingin mati saja rasanya. Mati berkali-kali pun aku rela asal Engkau hapuskan duka di wajah Ibuku tersayang. Aku rindu melihat senyumnya yang teduh, rindu bercanda lagi di dapur ini.

Kugeser lemah kursi meja makan, kembali merenung. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Entahlah aku tak tahu lagi, sementara Ibu semakin kurus akibat memikirkan masalahku.

Baiklah akan kucoba membawa makanan ke kamarnya, semoga Ibu mau bicara sambil kusuapkan nanti.

Ctek!

Kunyalakan kompor hendak memanaskan lauk di dalam panci, namun keriuhan terjadi dari arah kamar Ibu.

Pintu kamar menjeblak terbuka, Ibu keluar menuju dapur menghampiriku lalu secepat kilat mematikan kompor. Setelah itu lama Ibu terdiam menunduk sambil mencengkeram pinggiran meja kompor. Apa Ibu ... marah?

"Bu, Ibu makan ya." Walau sedikit terkejut aku berusaha membujuknya yang terlihat menahan emosi.

"Bu, kalau Ibu tak mau mak ...."

"Sudah! Cukup! Laila, tak bisakah kau tenang barang sejenak? tak bisakah Laila?" lirih Ibu berbisik tanpa menoleh padaku.

"Ibu ... aku hanya ingin kita ...."

"Pergilah ... pergilah Nak, Ibu mohon."

"Ibu ingin aku pergi? Kenapa, Bu? Lantas bagaimana nasibku nanti jika tak ada Ibu? "

Baru saja hendak memulai komunikasi, Ibu kembali berlalu begitu saja menuju kamar mengabaikanku. Aku hanya terdiam lesu.

Sesaat sebelum Ibu masuk ke kamar, terdengar suara ketukan dari arah pintu ruang depan.

"Assalamualaikuum ...." Suara Mas Arfan, kakak ku satu-satunya.

"Siapa?" Ibu tak jadi masuk ke kamar.

"Oh, itu sepertinya Mas Ar--"

"Arfan!" seru Ibu dan bergegas membuka pintu menyambut Mas Arfan.

"Ibu ... gimana kabar Ibu? Masih malas makan? Ibu semakin kurus kulihat. Makan lah bu demi kesehatan Ibu juga," cecar Mas Arfan sambil merangkul Ibu menuntunnya duduk di sofa dekat pintu. Aku hanya memperhatikan mereka dari balik tirai dapur yang tipis ini, malas aku menemui Mas Arfan dan istrinya Mba Nina.

Sengaja kugeser tirai dapur kasar hingga menutup penuh, hanya utk memberi tahu bahwa aku ingin didapur saja.

Spontan Mas Arfan dan Mba Nina menoleh ke arah dapur dengan mata melotot. Ah tak perlu lah kalian ikut-ikutan marah. Sungguh aku juga sudah usaha agar Ibu mau makan kok.

"Bu ... apa dia masih disini?" lirih Mas Arfan bersuara, hampir berbisik. Ibu hanya diam menatap kosong meja tamu.

Mas Arfan lantas meraih tangan Ibu dan dengan tegas berkata "Ibu! Kali ini Ibu harus dengarkan Arfan. Ibu ikut Arfan hari ini juga titik, tinggal sama Arfan bu! Jangan berlarut-larut lagi."

Apa? Mas Arfan mau membawa Ibu. Seenaknya saja memutuskan begitu, apa maksudnya, tak dia pandang aku yg selama ini tinggal berdua dengan Ibu. Segitu bencinya kau padaku, Mas?

"Tidak Fan, Laila masih membutuhkan Ibu disini. " Nah, Benar itu Bu jangan pergi ke rumahnya.

"Ibu apa-apaan sih bicara begitu. Mau sampai kapan Ibu dengan pendirian Ibu. Aku khawatir sama kesehatan Ibu, ayolah, Bu."

"Fan, tadi ... Ibu melihatnya bersimpuh dibawah meja makan, Nak ...."

"Astarghfirullahaladzim!" Kompak Mas Afan dan Mba Nina mengucap. Heh, memangnya kenapa kalo aku memohon maaf kepada Ibu?

"Bu ini sudah keterlaluan benar-benar diluar nalar, sudah lewat 40 hari Ibu masih saja diganggu olehnya? Dan Ibu diam saja masih mau menetap dirumah angker ini?"

Hah?! Apa? Tunggu dulu, apa yg 40 hari? angker? Mas Arfan ngomong apa sih.

"Fan, Ibu tak bisa meninggalkannya Fan, dia masih membutuhkan kita, Ibu bisa merasakan arwahnya disini, dia belum tenang disana, dia masih disini, oh ... laila anakku." Berlinang air mata Ibu mengatakan ini.

Apa ini?! Apa yang mereka bicarakan? Aku tak mengerti, Aku tak mau mengerti!!

Akupun menghambur keatas tak ingin mendengar apapun lagi.

"Ikhlaskan Bu, ikhlaskan Laila." Masih kudengar suara Mas Arfan, apa-apaan dia. Aku masih disini, masih dirumah ini. Iya kan, Bu?

Tak kuasa aku menahan tangis. Tersandung-sandung menuju kamarku. Rasa takut menyergap atas kemungkinan apa yang terjadi sebenarnya.

Aku semakin melolong keras, takut sangat takut, biarlah mereka mendengar tangisku siapa tahu Ibu mengejar kesini, menghiburku.
Begitu sampai di dalam kamar kilasan memori menyerangku tiada ampun. Mulai dari ingatan akan hangatnya tangan kokoh yang memeluku erat, kemudian wajah itu, wajah tampan yang sangat aku cintai, harapan masa depanku, tiba-tiba berubah dingin dan menghindar. Dia berkeras pergi meninggalkanku yang telah berbadan dua.

Lalu wajah Ibu dan Mas Arfan yg terluka, Ibu menangis tak percaya, Mas Arfan memukul daun pintu hingga tangannya berdarah. Sorot kecewa Ibu mengalahkan sakitnya tamparan keras telapak tangannya. "Kau bukan anakku Laila," ucap nya sedih, melemahkan jiwa, menyurutkan semangat.

Semua ini karena mahluk yg hidup di rahimku! Andai ia tak ada aku tak akan kehilangan segalanya. Iya ini semua karena janin yang tak diharapkan ini. Tak seharusnya ia hidup. Ia tak boleh hidup.

Sedikit saja tak perlu banyak, cairan biru terang ini akan mengubah keadaan. Cukup secangkir kecil maka ia akan runtuh dengan sendirinya, iya aku yakin, sedikit saja agar aku tak ikut terluka lebih dalam. Semua akan beres, semua akan kembali seperti semula.

Tiga tegukan cepat aku selesaikan. Sensasi terbakar serta merta menyerang tenggorokanku terus menuju perut ku yang mendadak keram, mengerut lalu bergolak panas, kini seluruh sendi dan nadiku perlahan susul menyusul tegang, saling tarik menarik, putus tercerabut.

Otakku mendidih, mataku melotot tenggorokan kisut tercekik. Aku tersungkur tajam di lantai kamar mandi, jemariku mencakar-cakar leher demi mengurai cekikan tak kasat mata yang memutus udara.

Lalu, disinilah aku. Terkapar menatap sesal botol cairan pembersih lantai yang ikut terbaring lemah disampingku.

Disinilah aku, di akhir hidupku yang terus berulang entah sampai kapan.

Mati berkali-kali.
WardahRos
irhayuayank
evisukmaniati13
evisukmaniati13 dan 81 lainnya memberi reputasi
82
7.9K
424
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan