shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Cinta Dalam Penyesalan
Kukuruyuuuuuukkkk ....

Beberapa ayam jantan yang saling bersahutan mulai menyadarkanku dari nyenyaknya tidur. Aku menggeliat dan duduk. Memutar badan ke kanan-kiri, lalu beranjak membuka jendela kamar.

Hmmmm ....
Kuhirup panjang udara pagi hari yang masih berembun. Terasa dingin nan sejuk. Di tambah merdunya kicauan burung yang bersenandung, menguatkan rasa syukur tersendiri dibalik sanubari yang begitu sesak.

"Sudah bangun, Nak? Sarapan dulu," teriak ibu dari luar kamar.

Aku berseru mengiyakan, sambil menatap kembali panorama pegunungan di depan mata. Hamparan sawah yang menghijau, gemericik air yang mengalir ... ah, benar-benar mengingatkanku di masa kecil.

Saat pandangan beralih menatap ke jalan, kedua netra tiba-tiba terpancing oleh sesuatu yang begitu mengagetkan.

Tepat di pertigaan sana, sesosok perempuan sedang berdiri memunggungi. Entah siapa gerangan ... namun, aku seperti melihat dirinya setelah tujuh tahun lama tak bersua.

Ah, tapi tak mungkin itu dia. Hanya saja baju yang dipakainya mirip. Postur tubuhnya memang sama tinggi, tapi, tidak dengan besar perawakannya.

Sepintas, teringat lagi tentang wanita itu. Wanita yang telah kuperjuangkan mati-matian. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin tengah berbahagia dengan laki-laki yang ia pilih.

Mataku terus memantau wanita di seberang sejauh mata memandang. Baju itu memang sama persis dengan miliknya. Gaun batik mega mendung warna ungu selutut dengan tali pinggang bagian belakang. Namun, tampak kedodoran sekali dipakai perempuan yang kini berdiri di ujung sana.

Entah kenapa, rasa sakit hati yang telah sirna, kini jadi kembali lagi terasa perihnya.

Seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Kututup sedikit jendela kamar untuk menghindari silaunya, dan duduk kembali ke kasur, mengambil sebatang rokok, lalu menyesapnya.

Tiba-tiba, kenangan masa itu terlintas lagi ....

Gondang, 14 Mei 1993.

"Mas, kata Bapak-Ibu, kamu harus cepat-cepat melamar. Kita sudah setahun jalan bersama. Tak enak dilihat tetangga, Mas. Apalagi ... kita juga satu kampung, kan? Mas tahu sendiri orang sini mulutnya bagaimana." Denok berseru padaku sore itu di teras rumahnya.

Aku masih ingat persis ucapannya. Sungguh suatu pernyataan yang sangat mengagetkan, karena sejauh ini sama sekali tak terlintas di pikiranku akan hal-hal sejauh itu. Mengingat usiaku yang baru 17 tahun, ia pun selisih setahun di bawahku.

Sesaat setelah Denok berkata demikian, Bapaknya keluar dari dalam rumah.

"Budi, ayo masuk!"
Perintahnya yang bernada garang itu membuat nyaliku langsung ciut.

Bapaknya masuk ke dalam rumah terlebih dulu. Denok menyusul. Sementara aku ... kakiku mendadak lemas kala itu, menunggu beberapa detik kiranya batinku bisa kukuatkan. Lantas aku langsung berdiri. Mencoba optimis.

"Ayo!" Denok yang masih berdiri di ambang pintu rumahnya, melambaikan tangan padaku. Memintaku agar segera menyusulnya.

Dengan langkah berat, akhirnya kuhampiri juga ia. Hingga sampai di ruang tamu, masih saja langkah ini kaku untuk maju lebih dekat lagi.

Ya, aku merasa tak enak hati. Bapaknya tak pernah memanggilku selama aku sering main ke rumah si Denok. Baru kali ini. Apa lagi seusai Denok mengutarakan hal yang sangat mustahil untuk kupercaya.

"Tunggu apa, Budi? Ayo duduk!"

Suara garang pria berkumis tebal itu spontan membentak lamunanku. Tak menunggu perintah lagi, segera kuambil duduk di sebuah kursi, sambil menundukkan pandangan. Sementara Denok, ia mengambil duduk tepat di sebelah Bapaknya.

Masih membisu di ruang tamu, si Ibu datang dengan membawa nampan. Dua cangkir kopi yang masih mengepul disuguhkannya di meja, lalu ikut mengambil duduk di antara kami.

"Budi, kalau kamu dan Denok sama-sama suka dan bertujuan baik, alangkah lebih baiknya jika hubungan kalian disyahkan saja," seru si Ibu dengan mendekapkan nampan ke dadanya.

Bibir atasku tiba-tiba cedutan, aku pun tak berani menjawab. Mataku berputar, dari menatap ibunya yang berwajah melas, bapaknya yang menatap kosong ke depan sambil memelintir ujung kumisnya, terakhir memandang ke Denok. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tampak penuh harap padaku.

"Jadi, bagaimana? Kok, kamu nggak bisa tegas begitu. Heeeemmmm?" Bapaknya mulai meninggikan suara. Seiring dengan itu, deguban jantungku berdetak begitu kencangnya. Antara kaget campur takut.

Setelah satu jam senam jantung dan kesemutan di rumah Denok, akhirnya kuputuskan berpamitan pulang dengan alasan merundingkan masalah itu dengan keluarga.

Sampai di rumah, kusampaikan juga semua itu pada kedua orang tua. Wajah Bapak-Ibu tampak biasa saja. Mereka diam sesaat setelah saling pandang. Tak lama setelah itu, Bapak berkata, "Kalau Pak Sarip meminta begitu, mau bagaimana lagi? Tidak apa-apa. Memang khawatir jika punya anak gadis yang sudah matang."

Aku bergeming. Sedikit bingung harus berkata apa untuk selanjutnya.

"Nanti seusai shalat maghrib, Bapak akan bertamu ke sana."

Setelah bapak berkata begitu, kulihat Ibu tengah mencubit lengan Bapak. Bapak pun langsung melirik padanya, seolah memperingatkan.

Aku sendiri sama sekali tak puas dengan jawaban itu. Entah kenapa, kepala semakin penuh rasanya.

Malamnya, dari dalam kamar, kudengar Ibu tengah bertengkar dengan bapak. Kamarku dengan kamar mereka memang bersebelahan. Apalagi belum berdinding tembok kala itu. Jadi, aku bisa mendengar jelas apa yang mereka ributkan, meski bicara keduanya sepelan apa pun.

"Kalau Pak Sarip minta mahar satu ekor sapi, kita harus cari uang ke mana lagi untuk bisa membelinya, Pak? Apalagi mintanya setelah lebaran ini. Padahal Pak Sarip sendiri tahu keadaan ekonomi kita bagaimana. Kok, ya, tega?"

"Sudahlah, Bu. Denok memang anak satu-satunya. Ibaratkan saja, mereka membesarkan anaknya susah payah dan kita mau ambil begitu saja. Toh, ya, sapi itu untuk Denok juga, kan? Kembalinya juga pada anak kita, Bu."

"Tapi, Pak, kita juga punya lima anak yang masih kecil-kecil. Untuk mencukupi kebutuhan mereka saja susah. Bisa makan saja kita sudah untung. Bagaimana bisa kita menuruti kemauan Pak Sarip? Kita saja tak pernah bisa menabung banyak."

Suara Ibu terdengar sesenggukan dari bilik kamar.

"Sudahlah, Bu. Mau bagaimana lagi? Budi sudah lama pacaran dengan si Denok. Pantas saja mereka menanyakan. Kita nanti dikira tak bertanggung jawab, anaknya sudah diajak main Budi ke sana-ke mari. Sudah tak usah dipikir. Soal sapi, pasti dapat, yang jelas anak kita harus menikahi Denok."

Mendengar itu, kepalaku tiba-tiba rasanya mau pecah. Karena masalah itulah, semalaman aku tak bisa tidur memikirkan.

Malam itu juga, kutuliskan sepucuk surat untuk Denok. Menceritakan semua yang kudengar malam ini dari dalam kamar. Kuharap ia mengerti keadaanku dan bisa membantu bicara pada kedua orang tuanya. Khususnya Pak Sarip, yang telah memberikan syarat tersebut.

Beberapa hari kemudian ....

"Budi, nanti kita ke rumah Pak Badrun, ya? Kita ambil sapi, lalu kita bawa ke rumah Denok," seru Bapak sambil tersenyum.

Aku kaget tak percaya mendengarnya.

"Lho, Bapak dapat uang dari mana? Jangan pinjam-pinjam, Pak!"

"Siapa yang pinjam? Itu sudah sapi milikmu," sahut bapak kalem.

Haaahh??
Aku semakin tak percaya.

Setelah kuselidiki, rupanya Bapak melakukan perjanjian dengan Pak Badrun. Satu ekor sapi ditukarkan dengan adikku yang nomor satu, Hartini. Hartini yang masih berusia tiga belas tahun akan dinikahkan kelak dengan Jatmika, anak sulung Pak Badrun yang mempunyai keterbelakangan mental.

Sungguh sakit rasanya hati saat mendengar itu, apalagi Ibu tengah menangis saat menceritakannya padaku.

"Bapakmu hanya melihat dirimu, Nak. Melihat harga dirimu! Bapakmu tak ingin kau dikira orang kebanyakan tak bertanggung jawab, ia juga tak mau orang-orang menilainya tak bisa mendidik anak."

Saat Ibu menangis di dadaku, kulihat Hartini dari luar berlari girang masuk ke dalam rumah dengan menenteng tas sekolah bututnya.

Sampai di hadapan kami, ia perlihatkan nilai pelajarannya dengan bangganya.

Ada sebuah kekecewaan tersirat dalam benak. Bagaimana bisa adikku yang cerdas seperti ini harus menikah nantinya dengan Jatmika yang idiot? Hartini sendiri punya cita-cita yang sangat tinggi.

Sore itu juga, kutulis lagi sepucuk surat untuk Denok. Surat permintaan maaf, tak bisa memenuhi kemauan orang tuanya. Kuceritakan semua kesedihanku padanya, sekaligus berpamitan pergi ke kota mengadu nasib, sampai punya sejumlah uang yang layak untuk mempersuntingnya. Apalah aku yang saat itu baru saja tamat SMP dan hanya seorang buruh tani. Kuharap ia setia menunggu.

Begitu pun untuk keluargaku sendiri. Kutulis juga sepucuk surat untuk mereka. Aku tahu, jika aku bicara akan pergi merantau, mereka pasti tegas menolak. Karena itu, aku pergi diam-diam. Terus terang, aku tak bisa melihat adikku harus mempertaruhkan dirinya demi diriku. Setidaknya, isi dari surat itu sudah mewakili segala perasaan bimbangku ....

Aku langsung berangkat ke Jakarta malam itu. Menyelinap pergi dari jendela kamar. Berangkat dengan menumpang truk-truk yang melintas di jalan. Dengan satu harapan, aku pasti bisa membanggakan Denok dan keluarga.

Setahun kemudian, setelah diriku merasa sedikit mapan dan beruang cukup, kuberanikan pulang kembali ke kampung halaman. Bermaksud menepati semua janjiku untuk wanita pujaan. Tapi, apa yang kudengar kemudian? Ternyata Denok sudah menjadi istri orang. Sebulan setelah kepergianku. Rupanya ia memang tak mengerti, dan tak mau menunggu.

Rasa sakit semakin terasa, saat Bapak selalu memalingkan wajahnya. Sedikit pun ia tak mau melihatku, apalagi untuk berkata. Pernah aku menanyakan sebab-musababnya, hanya satu kalimat yang terlontar dari mulutnya, "Kau sudah membuat kami malu!"

Perasaan yang begitu pilu, ditambah lagi sikap Bapak yang tak pernah menganggapku ada di dalam rumah itu lantas membuatku kembali lagi ke Jakarta. Tentunya dengan hati yang begitu sakit dan putus asa.

Ah ... kuterawangkan mata ke awang-awang. Tak terasa mata ini berkunang mengingat kejadian itu.

Hari ini, kedua kalinya aku pulang ke rumah menemui orang tuaku, yang kini hanya tersisa Ibu. Itu pun setelah mengetahui Bapak meninggal dunia kemarin lusa.

Almarhum Bapak sudah lama sakit, tapi beliau menolak adik-adikku untuk mengabariku. Begitu kesalnya Bapak dengan sikapku, sampai ia mati pun aku belum sempat berbincang padanya sekadar untuk meminta maaf.

Sebutir air mata pun menetes.

"Nak, ayo makan! Ibu tak melihatmu makan sama sekali sedari pulang," tegur Ibu sambil melangkahkan kaki masuk ke kamar.

Kulihat, mata tua itu berkaca saat melihat wajah ini sembab. Segera kuseka air mataku, sambil melangkah menuju jendela.

Ibu ikut menghampiri, sambil mengelus lenganku berulang kali.
Lagi, mata ini langsung tertuju pada sosok bergaun ungu di pertigaan jalan itu.

"Apa karena perempuan itu, kau sampai sekarang tak ingin mengenal perempuan lagi?"

Suara lemah Ibu sontak mengagetkanku.

Perempuan di ujung jalan itu kulihat masih anteng. Tetap berdiri membelakangi, melihat ke arah sawah yang membentang di depannya.

"Itu Denok, Bu? Ke-kenapa dia jadi begitu, Bu?" Aku bertanya dengan bibir bergetar.

Ibu diam sejenak, lalu menjawab, "Tak tahu, Nak. Begitulah kehidupan. Kita tak bisa menduga takdir apa yang terjadi pada kita di kemudian hari. Semua sudah ada yang mengatur."

Haaah?

Aku semakin membelalak kaget. Masih tak percaya mendengar penuturan Ibu.

Kenapa dengan keluarganya? Apa yang terjadi padanya? Ada masalah apa sampai-sampai ia menjadi seperti itu?

Beberapa pertanyaan batin saling menyerang, seakan ingin mengetahui jawaban dari pemandangan buruk itu.

"Sudahlah, Nak. Jangan selalu merasa bersalah! Denok seperti itu karena dia sendiri. Tak usah kamu pikirkan! Dia yang memilih untuk meninggalkanmu. Jalanmu masih panjang, Nak. Kamu berhak mencari pendamping dan berkeluarga. Jangan pikirkan lagi masa lalumu!"

Pesan ibu barusan sama sekali tak bisa kucerna dalam pikiran.
Aku masih heran dan penasaran melihat sosok Denok di seberang jalan.

Gadis yang dulunya cantik, putih dan sangat rapi dalam berpenampilan, kini berubah menjadi tak karuan. Rambutnya terurai acak-acakan, kulitnya hitam, badannya pun kuruuuss sekali. Pantas aku heran melihat gaun itu?

Oh, Tuhan ... sebenarnya ia kenapa?
Kalau memang ia sekarang menjadi gila, itu semua karenaku, mungkin sampai kapan pun aku tak akan bisa memaafkan diriku.

Maafkan aku, Denok.

Maafkan aku, Bapak.

Mungkin karena kalianlah, aku sampai saat ini masih betah melajang. Semua demi menebus kesalahan. Karena aku merasa, ini adalah penyesalan seumur hidup, menyakiti dua orang yang kusayang, hingga dalam ketiadaan dan ketidak-warasan.

-End-
nona212
jiyanq
manik.01
manik.01 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
4.5K
29
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan