ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Penjualan Mobil-Motor Lesu, Pantas Ekonomi RI Layu


Jakarta, CNBC Indonesia - Kalau sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau sekadar kerja, kerja juga bekerja.

Kalimat legendaris itu diucapkan oleh seorang tokoh besar yaitu Abdul Malik Karim Amrullah atau yang kita kenal sebagai Buya Hamka. Inti dari kata-kata sang begawan adalah manusia jangan sekadar hidup, jangan sekadar kerja, tetapi harus lebih dari itu. Harus tumbuh, harus dinamis.

Begitu pula dengan ekonomi. Kalau manusia hanya sekadar makan atau memenuhi kebutuhan pokok, maka ekonomi tidak akan tumbuh. Bila memang tumbuh, maka seadanya saja. Tidak tinggi, tidak berkualitas.


Itulah mengapa penjualan barang-barang kebutuhan tersier kerap menjadi indikator penanda ke mana ekonomi akan bergerak. Ketika penjualan barang tersier tumbuh tinggi, maka ekonomi pun demikian. Sebab ya itu tadi, orang-orang tidak sekadar menyambung hidup tetapi meningkatkan kualitasnya.

Tidak heran salah satu indikator untuk mengeker arah pertumbuhan ekonomi adalah penjualan kendaraan bermotor, baik itu mobil maupun sepeda motor. Kala penjualan mobil dan sepeda motor melesat, maka pertumbuhan ekonomi juga kencang.

Saat ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 6% pada 2011, penjualan sepeda motor dan mobil mampu tumbuh dua digit. Bahkan mendekati 30%.

Sayangnya, kini penjualan kuda dan kereta besi itu sedang nyungsep. Pada Oktober, penjualan mobil turun 9,5% year-on-year (YoY). Sudah empat bulan beruntun penjualan mobil berada di teritori negatif.

Sementara penjualan sepeda motor turun 2% YoY pada Oktober. Dalam tiga bulan terakhir, penjualan motor terlihat dalam tren menurun.

Ekspor dan Investasi Tekor
Harus diakui, konsumsi domestik memang sedang tertekan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2019 'hanya' 5,01%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,17% dan menjadi laju terendah sejak kuartal III tahun lalu.

Hampir seluruh komponen dalam konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan dibandingkan kuartal II-2019. Namun yang paling signifikan adalah kelompok pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya.

Pertumbuhan konsumsi sulit dipacu karena preferensi pembelian barang tahan lama (durable goods) yang menurun. Pada Oktober, indeks pembelian barang tahan lama yang merupakan bagian dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini (IKE) berada di 109,8. Ini adalah angka terendah setidaknya sejak Maret tahun lalu.

Indonesia tidak bisa mengelak dari perekonomian global yang penuh guncangan. Perang dagang, utamanya Amerika Serikat (AS) vs China, menjadi isu utama. Saling hambat dalam perdagangan yang dilakukan oleh dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini membuat ekspor dan investasi tertekan.

Ekspor Indonesia terus mengalami kontraksi (tumbuh negatif) dalam 12 bulan beruntun. Sementara investasi memang sudah pulih, tetapi sempat mengalami kontraksi selama empat kuartal beruntun.

Ekspor dan investasi yang bermasalah tentu menyebabkan tekanan di pasar tenaga kerja. Pada Agustus 2019, tingkat partisipasi angkatan kerja adalah 67,49%. Hanya naik 0,34% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, laju yang relatif minim.

Perlambatan pertumbuhan penciptaan lapangan kerja sudah pasti memperlambat laju konsumsi. Oleh karena itu, kunci untuk mendorong laju konsumsi dan pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan penciptaan lapangan kerja.

Menambah lapangan kerja berarti investasi harus ditingkatkan. Seluruh pembuat kebijakan, baik di sisi moneter dan fiskal, perlu all out untuk memastikan Indonesia semakin ramah investasi.

Otoritas Moneter Sudah, Fiskal Apa Kabar?
Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan empat kali sepanjang tahun ini. Penurunan paling agresif sejak 2016.

Harapannya adalah suku bunga kredit perbankan bisa ikut turun sehingga menumbuhkan minat korporasi untuk mengakses pembiayaan. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia edisi Agustus 2019, suku bunga Kredit Modal Kerja memang dalam tren turun.


Jadi kalau dari sisi penawaran sudah dilakukan upaya perbaikan, tinggal di sisi permintaan. Di sini menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa iklim investasi sudah kondusif sehingga dunia usaha mau menanamkan modalnya.

Bagaimana caranya? Bisa dengan insentif fiskal.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20%. Namun ini bukan langkah yang mudah, karena harus melalui amandemen UU PPh yang melibatkan DPR

Pemerintah harus menyusun naskah akademik, dan kemudian DPR membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta mengundang masukan dari para pemangku kepentingan. Setelah proses itu kelar, baru bisa masuk masa pembahasan di komisi terkait. Proses pembahasan ini tentu memakan waktu.

Kemudian, Presiden Jokowi juga menjanjikan sebuah terobosan besar untuk menarik investasi bernama omnibus law. Nantinya, aturan ini akan mengumpulkan puluhan regulasi terkait investasi menjadi satu. Jadi investor tidak perlu melihat puluhan regulasi, cukup mengacu pada satu saja.

Akan tetapi, lagi-lagi ini akan harus melalui prosedur legislasi di parlemen. Selain itu, ada potensi omnibus law akan membentur tembok tinggi karena belum diatur dalam UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jadi, sekarang bola ada di pemerintah. Kira-kira apakah berbagai 'pemanis' untuk menarik investasi itu bisa dipercepat atau tidak? Kalau masih lama, ya investor keburu memilih Vietnam... 


sumur

https://www.cnbcindonesia.com/news/2...nomi-ri-layu/1
sebelahblog
sebelahblog memberi reputasi
1
1.3K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan