i.am.legend.
TS
i.am.legend.
Ini Penyebab Cuma Boleh Ada 3 Partai Politik di Era Presiden Soeharto


Ini Penyebab Cuma Boleh Ada 3 Partai Politik di Era Presiden Soeharto

Merdeka.com - Di Zaman Orde Baru, hanya ada tiga partai yang diperbolehkan ikut Pemilu. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah naungan Golkar, Ini cara Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.

Pemilu pertama era Orde Baru digelar tahun 1971. Ini adalah pemilu kedua di Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah tahun 1955 di era Soekarno.

Dalam Pemilu 1971 ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460.
Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu. Dia merupakan gabungan dari sekitar 200 organisasi penyokong Orde Baru yang kemudian menjadi satu bendera Golongan Karya.

Golkar tercatat sebagai pemenang dengan 227 kursi di DPR. NU mendapat 58 kursi, Parmusi 24 kursi. Lalu PNI mendapat 20 kursi. Sisanya direbut Parkindo, Murba dan Partai Katolik.

Diperas Jadi Tiga


Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia. Dia berkaca pada kegagalan konstituante tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.

Soeharto memanggil para ketua parpol dan menjelaskan pemikirannya. Menurutnya Parpol harus menyeimbangkan antara material dan spiritual. Kira-kira Nasionalis Religius atau Religius Nasionalis, kalau istilah parpol zaman sekarang.

"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa dipaksa," kata Soeharto dalam Biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.

Partai Katolik, PNI dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi satu.

"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program spiritual-materil," kata Soeharto.

Sementara organisasi di bawah Golkar tumbuh sebagai satu kekuatan sendiri.

Maka di DPR kemudian terbentuklah tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya.

Partai Nurut Soeharto




Tak ada penolakan dari partai-partai politik itu. Menurut Soeharto tidak ada pimpinan parpol yang ngotot-ngototan soal konsep tadi.

Menurutnya kalau cukup tiga, tak perlu lagi sembilan partai. Toh, tujuannya satu yaitu Pancasila dan UUD 1945. Soeharto mengibaratkan seperti mobil berkendara. Tidak perlu balapan dan kebut-kebutan kalau satu tujuan. Parpol atau kendaraan

"Mari kita perkecil saja jumlah kendaraan itu. Tidak perlu terlalu banyak begitu. tetapi tidak perlu pula hanya satu kendaraan, dua atau tiga kendaraan, baiklah," kata Soeharto.

Tentara Tetap Jadi Kekuatan Politik



Dalam rapat dengan Parpol tersebut juga dibahas soal politik tentara. Adalah IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik yang bertanya soal peran ABRI dalam politik dan Pemilu.

"ABRI jadi polisi militernya saja. Menggunakan kendaraannya sendiri, sambil mengatur lalu lintas," balas Soeharto sambil tertawa.

Artinya ABRI tetap menjadi fraksi sendiri dalam DPR. Tak perlu masuk ke Golkar atau salah satu parpol tersebut.

Konsep Pemilu dengan Tiga Partai dan Fraksi ABRI ini bertahan selama lima kali Pemilu selama Orde Baru. Mulai dari Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Golkar yang selalu mendapat dukungan dari aparatur sipil dan militer selalu menang telak di setiap Pemilu.

Peta politik berubah setelah reformasi dan Soeharto tumbang. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. PDI Perjuangan memenangkan Pemilu untuk pertama kali.
sumber

☆☆☆☆☆☆

Kali ini kita akan membahas masalah sejarah kepartaian era Orde Baru. TS yakin, sebenarnya banyak sekali angkatan 80an yang telah ikut mencoblos pada pemilu 1987, bahkan mungkin 1982.

Sistem multi partai memang banyak kerugiannya. Ini harus jujur kita akui. Negara dengan sistem multi partai sulit untuk maju, karena akan terlalu banyak perbedaan. Sebuah negara akan kehilangan energi karena selalu ada konflik kepentingan. Belum lagi masalah finansial untuk membiayai pemilihan umum yang jelas sangat fantastis jumlahnya. Terlebih lagi, semua partai mendapat dukungan dana dari pemerintah yang nilainya juga tidak sedikit.

Tetapi bukan berarti cara Suharto untuk mengompres multi partai menjadi hanya 3 partai bisa dibenarkan. Partai menjadi kehilangan kekhasannya, jati dirinya. Meskipun mungkin dari sedikit sisi hati Suharto ada benarnya, menanggalkan identitas agama dalam sebuah partai dan hanya mengusung Pancasila. Dan dulu sempat ada pemikiran nyeleneh, kalau semuanya sudah seragam mengusung Pancasila, kenapa harus 3? Kenapa tidak 1 saja? Kan sama-sama Pancasila? Logika benar yang tidak benar. Saat itu, Golkar adalah sebuah partai yang tidak mau dianggap partai. Suharto ingin menghilangkan stigma negatif dari penyebutan nama partai yang dianggap sebagai biang masalah dari seluruh negeri ini. Era 50an hingga 60an banyak partai yang akhirnya menimbulkan konflik ditengah rakyat. Ada komunis, ada Islam, ada Kristen/Protestan, ada Nasionalis, bahkan ada Fasis! Dan semuanya berseteru. Akhirnya arah kebijakan pemerintah tidak menentu. Tarik ulur kepentingan. Itulah sebabnya Golkar tetap menyebut bukan partai. Mereka menganggap Golongan Karya yang mengusung jargon Politik No, Pembangunan Yes. Dan rakyat terbuai. Partai akhirnya dianggap sebagai virus merusak. Tidak laku dijual.

Siapa yang paling sial dalam hal ini? Jelas partai-partai yang dikompres. Harus kita sadari bahwa ada beberapa partai yang mengusung agama sebagai landasan politik mereka. Dan pastinya asas mereka berbeda dengan kelompok Nasionalis. Tetapi karena pemaksaan dari Suharto, mau tidak mau mereka harus bergabung membuat sebuah wadah, meskipun wadah itu teramat sempit untuk mengembangkan pemikiran mereka yang berlandaskan agama. Pada akhirnya jelas, partai yang berlandaskan agama harus berkompromi dengan kelompok Nasionalis.

Sialnya, stigma itu harus mereka rasakan setelah bergabung dalam 1 wadah. Partai-partai Kristen/Protestan tidak akan mungkin menyatu dalam 1 wadah dengan partai-partai Islam. Akhirnya partai-partai Kristen/Protestan bergabung dalam PDI atau Partai Demokrasi Indonesia, dan partai-partai Islam bergabung dalam PPP atau Partai Persatuan Pembangunan.

Selesai? Belum!
Nyatanya 2 partai ini terjebak dalam stigma negatif tentang agama yang dianggap membawa politik identitas, padahal mereka sendiri sudah tidak bisa mengusung politik identitas. PDI akhirnya dianggap sebagai Partai Kristen, dan PPP dianggap sebagai Partai Islam. Dan keduanya diadu domba! Rakyat yang sejak awal setia pada partai merek sebelum difusi, akhirnya punya musuh baru dan musuh bersama, meskipun tidak berseteru secara fisik, tetapi jargon-jargon menyudutkan terus gencar menyerang. Ini sangat terasa sampai PDIP lahir. Mereka dianggap sebagai partai Kristen dan komunis! Dan PPP dianggap sebagai cerminan pengusung DI/TII. Dan ketika keduanya berkonflik, Golkar melenggang sambil tertawa.

Dan dalam gedung DPR, Suharto sudah punya pendukung solid yang akan bersuara apapun yang diperintah Suharto. Merekalah Fraksi ABRI. Dengan jumlah 100 orang, artinya 100 suara sudah dalam genggaman Suharto. Jika sisa dari 460 anggota MPR/DPR diambil suara Fraksi ABRI, jumlahnya 360 orang. Jika dari 360 orang itu Golkar menguasai 150 suara, ditambah suara fraksi ABRI sudah berjumlah 250. Jika Fraksi PDI dan Fraksi PPP bersuara lain dari Fraksi Golkar dan ABRI, jelas sudah kalah suara. 210 berbanding 250. Alhasil suara yang terdengar dari gedung dewan adalah koor : "Setujuuuuuuuuu...!" Inilah yang melatari Iwan Fals menciptakan lagu Suara Buat Wakil Rakyat.

Kembali kepada jumlah partai dalam sebuah negara, idealnya untuk bangsa yang majemuk seperti Indonesia adalah 5 partai. Belajar dari kesalahan era Suharto yang memaksa jumlah partai menjadi 3. Kalau sekarang ini, jumlah partai terlalu banyak. Banyak suara yang terbuang percuma karena memilih partai yang tidak lolos ambang batas. Masalah ambang batas sendiri adalah sebuah keharusan agar ada sistem yang membatasi hidup matinya partai.

Demokrasi bukan tercermin dari banyaknya partai.
Demokrasi itu tercermin dari seberapa berharganya sebuah suara untuk membangun sebuah cita-cita.

Begitulah.



uoykcufThoriq27STrevolutionary
revolutionary dan 45 lainnya memberi reputasi
44
16.8K
164
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan