king.mbsAvatar border
TS
king.mbs
Kisah Sebuah Masjid di Perbatasan Venezuela-Kolombia

Dua wanita di lantai dua Masjid Omar Ibn Al-Khattab di Maicao, kota perbatasan Kolombia-Venezuela. Foto: Atlas Obscura/Megan Janetsky

TEMPO.CO, Jakarta - Matahari membakar di kota kecil Maicao, Kolombia. Namun lamat-lamat suara azan Zuhur dari Masjid Omar Ibn Al-Khattab menciptakan suasana yang menenangkan. Seruan salat bagi muslim itu mungkin terdengar aneh, bagi yang belum mengetahui Kolombia dan Venezuela merupakan kantong-kantong komunitas Islam sejak awal abad 20.

Di Maicao Masjid Omar Ibn Al-Khattab – yang diambil dari nama sahabat Nabi Muhammad dan khalifah kedua – merupakan pemandangan yang mencolok. Masjid berjendela kaca lukis berwarna ungu itu menjadi landmark Maicao. Fasad masjid berhias marmer Italia dan pepohonan palm serta bunga-bunga warna ungu menghiasi pintu masjid.

Masjid itu menjadi sisi religi perbatasan Kolombia-Venezuela yang keras, dengan berbagai praktik penyelundupan. Menara masjid itu secara rutin mengumandangkan azan untuk panggilan salat lima waktu. Hari-hari seperti itu telah berjalan berpuluh tahun.

Bahkan Masjid Omar Ibn Al-Khattab, menjadi ikon wisata religi di Maicao, yang keindahan masjidnya bisa disetarakan dengan masjid-masjid di Amerika Selatan lainnya semisal Buenos Aires, Caracas, Bogotá. Bangunan itu dulunya dipenuhi komunitas imigran Lebanon.

ADVERTISEMENT

“20-30 tahun yang lalu, komunitas ini adalah salah satu komunitas Arab paling representatif di Kolombia,” kata Pedro Delgado, seorang peneliti yang bekerja dengan Pusat Memori Sejarah Nasional, yang berkantor pusat di Bogotá, ibu kota Kolombia. Masjid itu adalah pusat Islam di Kolombia.

Masjid Omar Ibn Al-Khattab dibangun untuk menampung ratusan jamaah dari seluruh komunitas Muslim di Maicao saat ini. Masjid itu menjadi monumen hubungan Kolombia – bahkan Amerika Latin dengan dunia Arab di awal abad 20. Pemimpin komunitas Kolombia-Lebanon, Nabil Elneser (55 tahun), mengatakan kakek-neneknya adalah beberapa migran Lebanon pertama yang bermukim di sepanjang pantai Karibia pada 1910-an, dan pergi ke Maicao pada 1950-an.

Selama Perang Dunia II, migrasi dari wilayah Turki Ottoman – yang saat ini merupakan wilayah Lebanon, Palestina, dan Suriah -- melonjak akibat perang. Di Lebanon, ketika kekuatan global bersaing untuk mengontrol wilayah Ottoman, warga Arab di wilayah itu lebih memilih merantau ke Kolombia, Panama, dan Venezuela – yang memberikan mereka peluang untuk selamat dan bekerja.


Masjid Omar Ibn Al-Khattab ramai saat bulan Ramadhan, di mana komunitas Arab dan Islam merayakan buka puasa dan salat Tarawih. Foto: Atlas Obscura/Megan Janetsky

"Mereka memiliki dua pilihan: tetap di sana dalam perang atau bermigrasi di seluruh dunia untuk mencari kemakmuran," kata Elneser. Kota-kota Kolombia semisal kota emas Cartagena, Santa Marta dan Barranquilla menjadi pilihan. Jejak perantau ini terdapat pada diri diva pop dunia, Shakira – yang artinya bersyukur dalam bahasa Arab.
Ibu Shakira adalah seorang Kolombia, bernama Nidia del Carmen Ripoll yang merupakan keturunan Spanyol-Katalan. Sedangkan ayahnya adalah seorang keturunan Lebanon Katolik yang lahir di Kolombia bernama William Mebarak Chadid. Nama Shakira berasal dari bahasa arab yang berarti "syukur". Nama lengkapnya merupakan perpaduan Arab dan Kolombia: Shakira Isabel Mebarak Ripoll.

Para imigran itu juga berdatangan ke Maicao, yang selanjutnya menuju Gurun La Guajira yang berangin di pantai Karibia, di sebelah barat Teluk Venezuela. La Guajira merupakan tempat yang mendekati suasana gurun di Lebanon – berbukit pasir dan laut biru yang cerah. Saat orang-orang Arab datang, keadaan memang sangat sulit saat itu, air minim dan kemiskinan merajalela.

Maicao tampaknya tidak menghadirkan banyak potensi saat itu: tanpa toko, komunitas Arab, atau dukungan lainnya. Para imigran Lebanon mulai mengetuk pintu-pintu warga, untuk menjual tekstil dan barang-barang lainnya dalam cuaca yang sangat panas, "Mereka tumbuh, sedikit demi sedikit, banyak yang menjual komoditas mereka dari pintu ke pintu," kata Elneser. "Begitulah cara mereka benar-benar membangun Maicao."

Para perantau itu umumnya adalah pedagang. Mereka menjual barang-barang rumah tangga, pakaian wanita, parfum, dan sepatu. Meskipun Maicao kota kecil nan miskin saat itu, para imigran Arab bisa dikata betah. Karena kota kecil itu berada dekat dengan pelabuhan dan perbatasan di dekatnya – sekitar 9 mil dari Maracaibo, kota yang jauh lebih besar. Maicao makmur karena perdagangan dengan warga Venezeula di perbatasan. Sebaliknya, saat krisis politik di Venezuela, kota kecil itu juga paling pertama kena getahnya.

"Sejarah Kolombia dan Venezuela telah terjalin selama berabad-abad," kata Geoff Ramsey, ahli Venezuela dari Washington Office on Latin America, sebuah organisasi nirlaba berkedudukan di Washington, DC – organisasi yang fokus kepada penelitian sosial dan ekonomi dan advokasi di wilayah tersebut.

Maicao, bahkan selama tahun-tahun paling makmur di antara kota Kolombia lainnya. Ekonomi berputar dengan segala hal yang melanggar hukum. Pemerintah pusat setengah menutup mata dengan praktik penyelundupan, korupsi, narkoba, hingga kelompok paramiliter dan gerilyawan bersenjata.

Pemerintah umumnya mengambil pendekatan lepas tangan. Pada 1960-an banyak bisnis di kota itu tidak terdaftar dalam catatan pemerintah dan mengabaikan pajak. Saat minyak Venezuela booming pada 1970-an, kian pelik pula masalah di perbatasan sepanjang 1.400 mil.

Seiring kemakmuran Venezuela pada 1970-an, migrasi orang-orang Lebanon ke Maicao melonjak. Para migran dari Timur Tengah mulai mengisi kota. Menciptakan lingkungan Arab yang disebut sebagai “barrio Arabe” -- yang mengingatkan pada kota-kota di Lebanon. Coretan Arab bercampur dengan Spanyol di dinding, lalu komunitas itu juga menjajakan roti zataar, baklava, dan shwarma. Jajanan Arab itu dijual di pinggir jalan yang ramai, dan segera diterima oleh selera penduduk lokal.

Migran Arab inilah yang kini mewarnai kehidupan Maicao, dengan memutar ekonomi senilai US$2 juta per hari dengan jumlah penduduk Arab 8.000-10.000 di antara ratusan ribu warga asli – orang-orang Amerika Latin.

Mohamed Waked (Muhammad Wahid) adalah pendatang era 1980-an dan oleh orang lokal dijuluki "El Gordito", tiba di kota itu pada tahun 1980-an. Ia berdagang parfum dan bisnisnya berkembang "Orang Arab adalah pedagang," katanya, bahasa Spanyolnya dilapisi aksen Lebanon yang kental.


Masjid Omar Bin Al-Khattab dibangun atas swadaya masyarakat Arab di Kolombia dan di luar komunitas muslim. Ruang ibadahnya mampu menampung 700 orang. Foto: Atlas Obscura/Megan Janetsky

Meskipun tidak bisa berbahasa Spanyol ketika dia tiba, Waked menjadikan perbatasan sebagai ladang bisnisnya. Dia menikahi Mariam Zapata, seorang wanita Kolombia, dan bersama-sama mereka membangun keluarga lintas budaya. Nyaris setiap sore, Waked menghabiskan sore dekat pintu kayu berukir Masjid Omar Ibn Al-Khattab, dan mengikuti kajian di sudut aula yang luas, “Ada perpaduan yang sangat indah antara Arabe dan Colombiano,” katanya.
Ketika para migran Arab pertama tiba di Kolombia pada akhir abad ke-19, mereka sebagian besar adalah orang-orang Kristen, yang mendapati diri mereka mampu berasimilasi dengan relatif mudah di negara yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik Roma itu. Komunitas Muslim Sunni terutama Maicao, yang sebagian besar datang dalam gelombang berikutnya, mengalami lebih banyak kesulitan.

"Orang-orang Arab Muslim tidak menemukan masjid, mereka tidak menemukan komunitas Muslim sehingga mereka harus membangunnya," kata Ramsey. "Dan komunitas pertama yang membangun dirinya di pantai Karibia adalah Maicao."

Menurut Waked, komunitas Arab ini mulanya kesulitan dalam beribadah, karena tak memiliki tempat. Namun para dermawan baik Islam maupun Kristen, membantu pendirian Masjid Omar Ibn Al-Khattab. Masjid itu berdiri dengan biaya mencapai US$3 juta, didesain oleh arsitek Iran Ali Namazi.

Penduduk lokal menyebutnya sebagai “La Mezquita” (Masjid) — yang diselesaikan pada tahun 1997. Di dalamnya terdapat tempat salat seluas 1.476 kaki persegi yang dapat memuat 700 pria sekaligus, dan zona terpisah di lantai dua tempat para wanita berdoa.

Perpaduan teks-teks keagamaan dalam bahasa Spanyol dan Arab memenuhi ruangan. Pilar-pilar marmer di tepinya membentang hingga ke kubah yang berwarna cerah dan berdekorasi rumit.


Mohammed Waked pemimpin komunitas Lebanon di Maicao beristrikan warga setempat. Foto: Atlas Obscura/Megan Janetsky


https://travel.tempo.co/read/1255750...a/full?view=ok


Di beberapa tempat (termasuk ketanah orang Melayu) Islam datang dengan damai. emoticon-Recommended Seller
Diubah oleh king.mbs 08-10-2019 16:01
0
1.4K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan