mengejaAvatar border
TS
mengeja
Teror Orang Bunian di Gunung Daik


Batam, 2017.

Hampir tiga minggu aku berada di kota pulau ini. Tanpa libur! Bosku membuka cabang baru. Untuk pertama kalinya ia mendirikan restoran di luar Jawa-Bali. Aku sedang menguji nama besarku sebagai “si tangan emas”. Total empat restoran telah kubuka, termasuk yang sekarang kukerjakan. Puji syukur semuanya berjalan mulus. Bosku lebih percaya kepadaku daripada manajer yang lain. Ia bilang gelarku sebagai “si tangan emas” akan tetap terus berkibar.

Sudah 11 tahun aku mengikutinya. Ia yang mengangkatku dari sekadar pramusaji pengantar makanan hingga menjadi diriku yang sekarang. Loyalitas yang takkan pernah pudar. Jasanya kepadaku sulit terlupakan.

“Kok diam saja? Senang, dong! Kita baru dua hari grand opening, tapi gak pernah ada meja kosong,” ucap Deni sambil mencuri teh obeng[1] milikku dan menyesapnya hingga tandas.

“Gila onta banget lo!” gerutuku kesal melihat minumanku habis tak tersisa.

Ia hanya tertawa lebar, lalu mengambil tempat di seberangku. Deni adalah seorang barista senior yang bertanggung jawab masalah minuman. Ia juga menjadi timku saat di Jakarta.

“Bosan banget gue di sini. Jam sepuluh malam tinggal Nagoya[2] doang yang masih hidup. Mau muncakgak ada gunung.”

“Ah, memang lo saja yang doyan clubing. Eh, kata siapa gak ada gunung? Ada kali,” ujarku cepat.

Deni memajukan badannya. “Serius lo ada gunung di Batam?”

“Ya gak di Batam juga, tapi di Lingga.”

“Jauh gak dari sini?”

“Lo googling saja sendiri.”

Sebagai petualang yang telah menaklukkan beberapa puncak di Jawa, Bali, NTB, dan Sulsel, Deni begitu tertarik dengan obrolan ini. Seraya menunggu jam restoran tutup, ia terus bertanya perihal Gunung Daik yang sebenarnya aku pun tak banyak memahami. Hanya sekadar tahu karena obrolan remeh dengan Azzam, karyawan baru yang kebetulan orang asli sana. Basa-basi dalam wawancara kerja hal lumrah bukan?

Saking penasarannya, Deni sampai memanggil karyawan baru itu untuk bergabung bersama kami. Azzam yang canggung terlihat sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut Deni.

“Asyik ini! Kita naik, yuk!” ajak Deni semangat. “Louisa… Louisa… sini, deh!”

Ia memanggil keponakan bos yang kali ini turut serta dalam proyekku. Louisa menatap malas ke arah kami dan memilih melanjutkan transfer ilmu manajemen keuangan kepada anak baru didikannya. Tak habis akal, Deni menghampiri Louisa dan menarik paksa agar duduk semeja dengan kami.

Jarum jam berputar lambat mengiringi obrolan hangat aku, Deni, Azzam, dan Louisa. Akhirnya tercapai keputusan bahwa kami akan pergi ke Gunung Daik setelah sekiranya restoran sudah bisa mandiri tanpa bantuan tim dari Jakarta. Spesial untuk Azzam, akan ada cuti khusus untuk menjadi tour guide.

Entah mengapa hari itu ferry Batam-Lingga sedang tak beroperasi. Terpaksa dari Pelabuhan Telaga Punggur kami menyeberang ke Bintan untuk berangkat dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang. Perjalanan memakan waktu 6 jam hingga kami tiba di Pelabuhan Tanjung Buton selepas azan Ashar. Di sana sudah stand by mobil yang siap mengantar kami ke Sawin, lokasi terdekat menuju Gunung Daik. Kami menginap di rumah kerabat Azzam yang menjamu kami bak raja. Aku, Deni, dan Azzam berbagi kamar bersama, sedangkan Louisa di kamar terpisah. Sebelum terlanjur malas beristirahat, kami memutuskan untuk berbelanja kebutuhan guna persiapan logistik besok pagi.


Gambar: kemdikbud.go.id


Di tengah jalan menuju minimarket, Deni melakukan sambungan video WA dengan rekan-rekan di Jakarta, meskipun sinyal terputus-putus. Dengan bangga kami memamerkan panorama Gunung Daik yang terlihat dari kejauhan, terutama puncaknya yang berjumlah tiga. Pada akhir obrolan, Deni terlihat sangat antusias mengejek rekan kami nun jauh di Jakarta.

“Mampus lo hilang sejuta,” ucap Deni tertawa renyah sedetik sebelum sambungan video usai.

“Hah, maksudnya?” tanyaku penasaran.

“Ah, kepo lo,” cibir Deni seraya memasukkan handphoneke saku celana.

Keesokan paginya tuan rumah telah menyiapkan pengganjal perut berupa nasi minyak dan sambal ikan bilis yang juga akan menjadi bekal makan siang. Kami sarapan bersama seorang porter[3] yang sudah datang. Kebetulan porter masih sepupu jauh Azzam. Setelah itu kami pergi ke kantor polisi setempat untuk laporan dan simaksi, lalu menuju ke titik awal pendakian. Di gerbang gapura berwarna hijau bertuliskan “OBYEK WISATA PENDAKIAN GUNUNG DAIK”, tampak seorang lelaki paruh baya menunggu kedatangan kami. Pak Ishak namanya. Beliau adalah sesepuh lokal yang akan menjadi penunjuk jalan.

Setelah sesi perkenalan dan foto-foto, bersama-sama kami berdoa sesuai ajaran dan kepercayaan masing-masing. Sebelum melewati gerbang gapura, Pak Ishak menekankan agar niat kami semua murni hanya naik gunung, tak ada yang lain. Kami saling melempar pandangan, lalu kompak mengangguk.

Sepanjang jalan menuju pos pertama, Pak Iman lebih banyak diam. Tak masalah sebab kerabat Azzam telah menceritakan segala tentang Lingga dan Gunung Daik. Banyak sekali hal yang baru kuketahui. Ternyata dahulu Lingga pernah menjadi pusat peradaban Melayu selama seabad lebih lamanya. Saking terkenalnya sampai tersemat istilah Tanah Bunda Melayu. Gunung Daik pun sangat tersohor dalam pantun populer orang Melayu:

Pulau Pandan jauh di tengah
Gunung Daik bercabang tiga
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga

Pantun yang sama populernya dengan kalimat INI IBU BUDI dalam setiap lembar Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Juga kisah arwah nenek moyang Orang Laut[4] yang berdiam di Gunung Daik. Tak ketinggalan mitos Orang Bunian[5], serta makam raja-raja Melayu di Gunung Daik. Cerita yang sama sekali tak membuat Deni khawatir. Banyak gunung telah ia taklukkan dan baginya Gunung Daik hanyalah bukit setinggi 1.165 mdpl. Lagi pula kami tak ke puncak, hanya sampai teras puncak. Alasannya medan yang sangat terjal hampir 90°, butuh peralatan yang lengkap dan kuat.

“Di sana makam para raja,” kata Pak Ishak menunjuk salah satu jalan saat kami tiba di jalan bercabang, lalu melanjutkan ke jalan yang satu lagi.

Tak berapa lama kami tiba di pos pertama. Hanya sebentar menikmati pemandangan sungai dan pepohonan, kami melanjutkan perjalanan menuju pos kedua. Untuk menghilangkan jenuh sesekali Deni dan Louisa bercanda sambil tertawa. Pak Ishak sampai harus menegur mereka agar menjaga adab.

Pukul 11.30 siang, kami tiba di pos kedua. Terdapat pondok yang menjadi tempat kami beristirahat melepas penat setelah berjalan berjam-jam. Kami hendak makan siang dengan perbekalan nasi minyak dan sambal ikan bilis, namun tak jadi sebab sudah tak layak makan. Azzam sampai tak enak hati dan mengeceknya.

“Aneh lah kenapa bisa busuk begini?” kata Azzam bertanya pada dirinya sendiri, lantas hampir muntah setelah menciumnya.

Memang perbekalan yang kami bawa mengeluarkan bau tak sedap, seperti nasi yang telah basi berhari-hari. Belum lagi sambal ikan bilis yang beraroma bangkai. Akhirnya kami memasak mie instan dan telur untuk mengatasi lapar. Setelah makan siang bersama, Pak Ishak memimpin aku, Azzam, dan porter salat Zuhur berjamaah. Louisa tak ikut karena seorang Buddha, sementara Deni menjawab bercanda, katanya sedang halangan. Memang saja ia malas.

Kami baru selesai salat ketika terdengar Louisa menangis lirih seorang diri di tangga pondok. Aku yang khawatir segera menghampiri untuk bertanya penyebabnya. Belum sempat kutatap wajahnya, Louisa pingsan menggeletak di tanah. Pak Ishak, Azzam, dan porter bergegas mendekat untuk mengecek situasi. Beberapa detik kemudian, Louisa kembali sadar. Ia mengeluh sedikit pusing dan tengkuk leher yang terasa berat. Aneh karena kami tak mengizinkan Louisa membawa barang-barang berat, terlepas ia satu-satunya perempuan dalam perjalanan ini. Lagi pula kami menyewa satu porter untuk membantu membawa barang.

“Deni di mana?” tanya Azzam tiba-tiba.

Betul juga, ke mana Deni? Mata kami beredar menyapu sekeliling. Louisa bilang tak tahu. Padahal saat kami salat, mereka berdua mengobrol di tangga pendopo. Pak Ishak mulai gusar. Namun, tak berapa lama tampak Deni berjalan dari balik hutan. Susah-payah ia membawa semua tempat minum kami yang kini sudah penuh terisi air.

“Dari mana lo?” tanyaku menginterogasi.

“Isi air minum. Kenapa?” Deni bertanya balik.

“Louisa pingsan tadi,” jawabku datar.

“Hah, pingsan?” Deni terkejut dan beralih pandang ke Louisa. “Lo pingsan, Lou? Kok bisa? Lo gak apa-apa, kan?”

“Gak, gue gak apa-apa,” jawab Louisa sambil mengusap-usap belakang lehernya.

Melihat keadaan yang kurang kondusif, Pak Ishak menawarkan turun gunung, tapi Deni menolak. Tak enak dengan Deni, Louisa pun menyarankan lanjut karena keadaannya sudah membaik. Akhirnya kami meneruskan perjalanan menuju pos ketiga yang menjadi titik peristirahatan sebelum naik ke teras puncak Gunung Daik.

Perjalanan ke pos ketiga terasa lebih berat. Kontur yang tadinya landai menjadi lebih curam. Semak belukar pun mulai padat dengan ketinggian hingga sepaha. Pohon darah dan tumbuhan tropis lainnya rapat mengurung jalur pendakian. Sinar mentari enggan menerobos rimbun pepohonan yang membuat suasana seperti menjelang malam. Gerimis turun perlahan membasahi dedaunan.

“Eh, lo mendengar sesuatu, gak?” kataku kepada Deni yang persis di belakangku.

Deni menajamkan pendengaran. “Suara rebana, ya?”

“Ya, semacam itu!” ucapku setuju.

Bulu halus di seputar leherku meremang tiba-tiba.

“Paling dari rumah warga,” ujar Deni enteng. “Sssttt, cuy! Di sini ada rumah warga, ya?” tanya Deni kepada porter yang berada di posisi paling belakang.

“Tak ada, rumah warga terakhir cuma di kaki gunung tadi dekat pos pertama.”

Deni tak menjawab apa pun. Ia memilih diam dan fokus terhadap langkah kakinya. Di tengah jalan Azzam mengeluh kehausan. Namun, tempat minumnya kosong, padahal ia baru sekali minum. Ia meminta air padaku, tapi juga habis. Aneh sekali, padahal kuyakin tadi masih ada setengah lebih. Begitu pun tempat minum Louisa, Deni, dan porter. Hanya Pak Ishak yang masih tersisa sedikit. Kami kompak menyalahkan Deni yang mungkin lalai mengisi tempat minum. Deni membela diri dengan argumen yang masuk akal. Jika memang lalai, mengapa ketika kami menerima tempat minum masing-masing terasa berat?

“Sudah tak usah berdebat. Di dekat pos ketiga ada mata air, nanti isi di sana,” ucap Pak Ishak menengahi.

Gerimis berhenti ketika kami tiba di pos ketiga pukul 16.45 sore. Pak Ishak kembali memimpin aku, Azzam, dan porter untuk salat Ashar berjamaah. Setelah itu bersama-sama kami mendirikan tenda untuk tempat berganti baju. Pak Ishak, Deni, dan Azzam menuju ke mata air untuk mengisi tempat minum, sementara aku, Louisa, dan porter memasak nasi, sarden, dan telur rebus untuk makan malam.

Entah bagaimana terdengar gemerisik yang lumayan keras dari arah lembah. Tampak sekelebat bayangan hitam melintas cepat di antara semak belukar. Aku menatap Louisa, porter, dan ke Louisa lagi. Kami bertiga sama-sama melihatnya, namun memilih diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sejak itu Louisa tak ingin jauh-jauh dariku.

Pak Ishak, Deni, dan Azzam pun datang dengan tempat minum yang sudah terisi lagi. Matahari rehat ke peraduan membuat malam menanjak sempurna. Kami salat Maghrib berjamaah, lalu makan malam bersama. Masuk waktu Isya, kami mendirikan salat berjamaah lagi. Baru setelah itu beristirahat di tempat masing-masing: Pak Ishak, Azzam, dan porter di kantong tidur; aku dan Deni di hammock[6]; sementara Louisa di dalam tenda. Ia tidur dengan kepala menjulur keluar, takut katanya.

Tengah malam Louisa membangunkanku untuk menemaninya buang air kecil. Saat menatap sekeliling yang berpendar sinar rembulan, kudapati hammock Deni terayun pelan, kosong. Kubilang kepada Louisa untuk menunggu sebentar, mungkin Deni sedang buang air kecil juga. Namun, setelah 30 menit ia tak jua datang. Aku membangunkan Pak Ishak untuk mengadukan hal ini. Kuperiksa hammock-nya, hanya ada handphone dan senter. Deni pergi tanpa membawa apa-apa.

Pak Ishak membangunkan Azzam dan porter untuk mencari Deni bersama-sama. Sebelumnya aku mengantar Louisa dulu ke semak belukar tak jauh dari tenda untuk buang air kecil. Saat kami kembali, tinggal porter sendirian menunggu kami.

“Ayo kita susul,” kata porter datar.

“Tapi barang-barang?” sergah Louisa.

“Aman. Tak ada pendaki lain,” katanya seraya berlalu pergi.

Mau tak mau aku dan Louisa mengikuti porter yang berjalan ke dalam hutan. Porter berjalan sangat cepat, padahal rumput, kerikil, dan batu masih basah akibat hujan tadi sore. Kami sudah berjalan selama 20 menit, tapi rombongan Pak Ishak belum juga kelihatan.

“Di mana Pak Ishak?” tanyaku kepada porter.

Ia diam saja dan malah mempercepat langkah.

“Hei, jangan cepat-cepat! Ini ada cewek juga, loh!” kataku sambil memapah Louisa yang kesulitan menuruni semak yang lumayan curam.

Porter berhenti berjalan dan tertawa terbahak-bahak. Suaranya cempreng seperti tokoh-tokoh kartun di televisi. Louisa merapatkan badannya, memelukku erat sekali. Aku sadar ada yang tidak beres. Tatkala porter menengok, kulihat wajah aneh berbulu seperti gambar ilustrasi manusia purba di buku pelajaran Sejarah. Aku dan Louisa teriak histeris, sementara porter gadungan itu melompat ke atas pohon, kemudian menghilang dengan tawa membahana.

Tak berapa lama muncul rombongan Pak Ishak menenangkan kami. Kuamati wajahnya satu per satu, khawatir bukan mereka.

“Kalian ke mana, sih? Kok bisa terpisah?” tanya Pak Ishak serius.

“Bapak yang tinggalkan kami waktu saya mengantar Louisa buang air kecil,” aku membela diri.

“Loh, bukannya kamu sama gadis ini bareng saya tadi?” Pak Ishak mengernyitkan dahi.

“Maksudnya?” tanyaku penasaran.

“Sudah-sudah, ayo kita mencari lelaki yang satu lagi. Jangan jauh-jauh, kita harus tetap berlima supaya tak tersesat.”

Kami berlima melanjutkan pencarian sambil memanggil nama Deni. Setiap 40 menit sekali, kami kembali ke tenda untuk meninjau. Siapa tahu Deni sudah ada di sana. Semua kelelahan dan putus asa. Pak Ishak memutuskan bahwa pagi ini turun ke bawah untuk berkoordinasi dengan pihak terkait supaya nantinya melakukan pencarian dengan skala lebih besar. Akhirnya kami kembali ke tenda untuk ketiga kalinya.

Sesampainya di sana, tampak Deni sedang berbaring di tanah. Ia tertidur, tapi tangan dan kakinya meronta-ronta. Kami segera menghampiri untuk memeriksa keadaannya. Pak Ishak berusaha membangunkannya, begitu pun kami yang memanggil namanya berkali-kali. Louisa yang tampak kesal karena Deni menghilang cukup lama, kontan menyepak pahanya sekeras mungkin. Dengan erangan kuat, Deni bangun terduduk. Bulir-bulir keringat sebesar biji kacang hijau memenuhi wajahnya. Ia terengah-engah seperti copet yang hampir tertangkap massa.

“Bereskan barang-barang, kita turun sekarang,” perintah Pak Ishak tegas.

Semua menurut dan mengikuti instruksi Pak Ishak. Selama perjalanan pulang, kami hanya berhenti sekali untuk melaksanakan salat Shubuh berjamaah, termasuk Deni yang tiba-tiba saja insyaf. Kami sarapan sambil berjalan. Masih ada roti yang tersisa. Pukul 09.20 kami tiba di gerbang gapura.

Pak Ishak menatap sinis ke arah Deni, “Sudah saya bilang niat kalian hanya naik gunung.”

Kami bingung dengan pernyataan Pak Ishak, tapi tak berani bertanya lebih lanjut karena suasana yang belum kondusif. Kami berpamitan dengan beliau dan kembali ke rumah kerabat Azzam untuk beristirahat. Sore hari aku, Azzam, Louisa, dan Azzam berkumpul di teras rumah sambil menikmati kopi o[7], teh o[8], dan epo-epo[9]. Kutatap teman-temanku, seperti ada sesuatu yang hendak mereka sampaikan. Namun, enggan untuk mengatakannya.

“Aneh gak sih perjalanan kita ini?” kataku membuka pembicaraan.

Hening beberapa saat, lalu Azzam angkat bicara. “Aneh, Bang. Makanan basi, minuman tiba-tiba habis, sampai kejadian malam-malam itu.”

“Ya, kenapa bisa basi? Enak tuh nasi minyak sama sambal ikan bilisnya. Sayang banget,” sela Louisa.

“Tak tahu. Uwak saya baru memasak pagi, kalau mau basi pun tak sebusuk itu baunya. Nasi berlendir, sambal ikan bilisnya macam bangkai,” Azzam bergidik mengingatnya.

“Masalah minuman juga. Gue yakin banget sudah mengisi semuanya. Full!” ucap Deni sungguh-sungguh.

“Oh ya, waktu malam-malam gue gak paham maksud Pak Ishak bagaimana. Beliau bilang gue sama Louisa ikut dia. Padahal waktu Louisa kelar buang air kecil, kalian sudah gak ada saat kami balik ke tenda. Cuma porter jadi-jadian sendirian di tenda menunggu kita,” tanyaku kepada Azzam.

“Pasti ulah Orang Bunian itu, Bang. Jelas-jelas kalian ikut sama kita, termasuk porter. Di tengah perjalanan kalian berdua tiba-tiba gak ada. Kami juga panik. Sudahlah hilang satu, tambah lagi hilang dua. Saat kalian berdua mengangis barulah kita bisa bertemu,” Azzam menjelaskan.

“Jadi ada yang menyerupai kita berdua?” tanya Louisa dengan wajah tegang.

“Ya. Juga menyerupai porter yang bersama kalian itu,” jawab Azzam.

Aku dan Louisa saling melihat, teringat wajah berbulu dengan tawa cempreng menyeramkan tadi malam. Takut.


Gambar: revolvy.com


“Oh ya, kalian ingat yang katanya gue pingsan?” Louisa melempar bahan obrolan selanjutnya.

“Nah, itu lo kenapa?” tanyaku penasaran.

“Gak tahu. Tiba-tiba kalian sudah mengerubungi gue bilang katanya gue pingsan,” ucap Louisa seraya mereguk teh o miliknya.

“Sebelum pingsan lo sempat tertawa cekikikan. Seram sumpah,” kataku lagi. “Sekarang yang paling penting. Lo semalam ke mana?” kualihkan pandangan kepada Deni.

“Gue gak ke mana-mana,” jawab Deni ogah-ogahan.

“Gak ke mana-mana gigi lo gondrong!” umpat Louisa gemas. Kami tertawa bersama-sama, kecuali Deni yang hanya senyum terpaksa.

“Serius gak ke mana-mana. Gue lagi tidur, tiba-tiba ada orang yang gaplok kepala gue. Keras banget asli! Makanya gue terjatuh dari hammock. Gue perhatikan keadaan sekeliling, justru lo semua yang pada gak ada. Gak lama datang rombongan orang-orang kerdil. Badannya berbulu, berjalan agak membungkuk. Wajahnya mirip manusia, tapi aneh kalau gue perhatikan lebih mendetail. Malas banget gue cerita begini,” Deni berhenti sebentar untuk menyesap kopinya.

“Lo diapain?” tanyaku.

“Gw di-bully.”

Sontak kami semua tertawa terbahak-bahak. Saking lucunya, Louisa tertawa sambil menangis.

“Di-bullybagaimana?” tanya Louisa penasaran.

“Janji ya jangan bilang ke siapa-siapa? Kita berempat doang ini yang tahu.”

“Janji,” kataku mewakili yang lain.

“Banyak lah. Mereka menyuruh gue joget, menyanyi, sampai pantun.”

Tawa kami meledak tanpa kendali. Azzam sampai harus masuk ke dalam rumah karena tak enak menertawakan atasan, sementara aku dan Louisa tenggelam dalam kebrutalan tawa.

“Kok bisa, sih?” tanya Louisa sambil ngakak.

“Bisa lah. Kalau gak mau, pipi gue kena tampar sama orang kerdil yang paling gede.”

“Terus yang pantun itu?” tanyaku juga sambil ngakak.

“Masak aer biar mateng,” potong Louisa tiba-tiba.

“Cakeeep,” jawabku menimpali.

Entah berapa lama aku dan Louisa terbahak-bahak meledek Deni yang hanya tersenyum bodoh. Tak berapa lama Azzam kembali bergabung setelah bisa mengendalikan diri untuk tak banyak tertawa. Setelah membahas kejadian-kejadian aneh dan menghubungkannya dengan cerita-cerita kami, memang penyebab semua teror mistis ini adalah Deni.

Bersambung ke post selanjutnya....
shortdistance
tatikartini
teguh09
teguh09 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
11.9K
49
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan