yuni.wahyuni114Avatar border
TS
yuni.wahyuni114
Jangan Menyerah! Ada Saatnya Sabarmu Berbuah Indah
Tepat empat tahun lalu, aku hanya seorang perempuan biasa. Memandang segala hal dalam bentuk perspektif yang hampir semua sama.

Pulang kerja, tiduran sampai lupa olahraga. Main hape setiap saat tak boleh terlambat. Everyday, seperti itu.

Hingga kejadian di siang itu membuatku sadar; Sehat itu mahal!

Sabar itu tidak bisa diungkapkan, tak bisa juga untuk dijelaskan.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Emak saat mendapatiku batuk tak menentu.

"Nggak kenapa, Mak. Hanya sedikit gatal tenggorokanku," kataku meyakinkan sambil terus menyapu.

Jam berganti hari, hari berganti pekan, pekan berganti bulan. Tidak hanya batuk yang tak kunjung sembuh, tapi juga pernapasan begitu amat susah untuk kukendalikan. Kadang berat, kadang ringan saja untuk beraktivitas.

Sampai pada suatu hari yang lain, keinginanku untuk pergi kerja lagi ke luar negeri membumbung tinggi. Ada semacam 'mimpi yang musti aku wujudkan. Ada sebuah proses yang wajib aku jalani'.

Bersama dengan keyakinan, tekad bulat, dan restu kedua orangtua, aku mendaftarkan diri ke sebuah lembaga pemberangkatan TKI ke luar negeri.

Berbekal pengalaman kerja yang belum seberapa, proses ke sana kemari harus aku jalani.

Memang benar kata orang, "Saat kau ada di bawah, tak akan ada orang yang sudi mengenalmu. Begitu pun saat kau ada di atas. Semua orang akan dengan mudah mengaku saudara."

Ini tak berlaku untuk semua orang, tapi rata-ratanya begitu.

Emak terus mendampingiku dengan doa, bapak pun melakukan hal yang sama.

Berhari-hari tak ada kepastian 'Ya' atau 'Tidak' dari lembaga satu ke lembaga lain, orang baik yang jadi perantaraku pun bilang, "Mbak, kamu pindah ke sini saja, ya?"

Tak ada banyak hal yang bisa kutanyakan saat itu, hanya anggukan pelan yang kemudian membawaku pada pintu gerbang kebaikan.

Aku diterima!

Kabar gembira untuk kedua orangtua, saudara, juga tentu diriku.

Hari terus berjalan dengan semestinya. Emak terus mengusahakan yang terbaik supaya pernapasan tak terkendala pengap--rasanya kayak kena asma, tapi bukan.

Satu persatu hasil chek-up menyatakan positif!

Ya! Positif paru-paruku terkena Bronkitis--peradangan pada saluran utama pernapasan atau bronkus.

Tangisku menjadi. Meski rintik air mata, tak akan pernah mengembalikan apa yang jadi kehendak Tuhan untuk terjadi.

Selain tak percaya dengan apa yang kualami, Emak orang pertama yang pasti panik luar biasa.

Beberapa malam lamanya, Emak selalu terbangun untuk sekadar memastikan, aku tak lagi memakai obat nyamuk bakar yang setiap malam menemani. Atau pun menyiapkan air hangat, supaya saat batukku kambuh, dengan cepat tanganku bisa mengambil sendiri tanpa berjalan jauh.

Meski keadaan sakit, pembelajaran di lembaga yang memberangkatkanku tak mengalami kendala apa pun. Mereka memperlakukanku dengan baik.

Satu bulan

Dua bulan

Semua pembelajaran hampir aku kuasai. Bahasa sudah bisa, meski sering terbalik atau bahkan terbata-bata.

Dukungan, canda tawa mereka, juga doa dan genggaman tangan Emak, menjadi bagian yang tak akan pernah kulupa.

"Kamu pasti sembuh, Nak. Percayalah sama Allah. Kita usaha dan doa, insya Allah tak akan pernah ada yang sia-sia," ungkap Emak suatu ketika saat menungguiku untuk terapi asap.

"Apa memang harus begitu, Dok?" tanya Emak dengan dokter yang memasangkan sebuah peralatan medis untuk membantuku bernapas.

"Iya, Bu. Silakan tunggu di luar saja, ya? Anak ibu, biar kami yang tangani," jelas seorang suster yang segera menutup pintu. Saat itu, masih mampu kulihat wajah cemas Emak yang menunggu.

'Mak, aku pasti akan sembuh!' tekadku dalam hati. Tanpa aku sadari, air mata sedikit banyak merembas ke ujung mata, hampir menganak sungai ke pipi.

"Mbak, ayok tarik napas!" ajak suster sambil membenahi alat medis yang ada di depan hidungku.

Aku mengikuti aba-aba. Satu dua kali, tanganku gatal untuk segera melepas alat medis. Namun suster menarik tanganku.

"Tidak boleh, Mbak. Ayok tarik napas lagi!" Begitu terus perintahnya.

Hingga tiga puluh menit berlalu, aku sudah diizinkan menunggu hasil lab dengan beberapa pasien lain yang sama-sama sebagai penderita bronkitis.

"Kenapa, Mbak?" tanya Emak pada seorang ibu-ibu yang sepantaran usia dengannya.

"Anak saya, Mbak. Paru-paru," jawab si ibu sambil menunjuk anaknya.

"Oh, sama. Anak saya juga, Mbak. Sudah lama?" tanya Emak lagi.

"Lumayan, Mbak. Ini juga ketahuan karena mau daftar buat kerja."

Merasa senasib, Emak pun terlibat bincang panjang ala emak-emak.

Aku tak menyerah, sebagaimana Emak pun tak pernah khawatir bagaimana akhir dari segalanya.

"Nak, ini obatmu. Jangan lupa nanti malam sebelum tidur diminum, ya?" beber Emak masih terus menyiapkan aneka obat untuk merawatku.

Aku mengangguk tanpa banyak bicara. Lidahku kelu. Hatiku runtuh mendapat perhatian begitu banyak dari sosok seorang Emak, yang seharusnya dapat perhatian dariku.

"Terima kasih, Mak," kataku pelan yang pasti tak akan pernah Emak dengar.

....

Taichung, 12 Agustus 2019
Diubah oleh yuni.wahyuni114 11-08-2019 16:59
hvzalf
aileenlee293
anasabila
anasabila dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.8K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan