babygani86Avatar border
TS
babygani86
Reorganisasi LIPI, agar ada Kreativitas dan Mobilitas, bukan cuma Ngumpul Teman Lama
Sekitar tanggal 30 Januari lalu,hampir selusin profesor riset LIPI mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyuarakan aspirasi mereka yang menolak reorganisasi di LIPI.

LIPI merupakan miniatur dari riset di Indonesia. Problem utama dunia riset Indonesia adalah critical mass yang terlalu rendah, baik dari sisi kuantitas apalagi kualitas SDM (sumber daya manusia). Kemudian dari infrastruktur atau peralatan riset. Dan terakhir dari sisi anggaran. Misalnya kita membuat baterai dengan periset dua orang di LIPI, tiga orang di Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional), empat orang di UNS (Universitas Sebelas Maret). Begitu juga dengan peralatan dan anggaran. Sehingga critical mass tidak tercapai. Sementara itu, riset adalah kompetisi secara global. Kompetitor Indonesia di luar negeri, dari sisi SDM, satu tim untuk riset baterai bisa 30-40 orang rata-rata penelitinya bergelar PhD.



Padahal, untuk riset di era saat ini, critical mass harus ada. Jika Indonesia tidak satu tim yang solid dan mumpuni di bidangnya, enggak bisa ke mana-mana. Kalau timnya cuma diisi satu orang doktor, dua magister, dan empat sarjana, ya tidak ke mana-mana. Itu problem utama riset Indonesia, jadi bukan soal anggarannya cukup atau tidak. Di LIPI juga demikian, level pusat-pusat penelitian semua bekerja sendiri-sendiri, bahkan seringkali tidak berinteraksi.

Waktu pertama kali Laksana Tri Handoko dilantik, Handoko memikirkan untuk menata ulang riset internal. Karena tidak bisa tidak, hal itu harus dilakukan karena merupakan fundamental paling basic untuk menata ulang manajemen internal. Bagaimana membuat pusat penelitian fokus pada urusan penelitian.

Kedua, melakukan pengumpulan individu yang kompetensi seienis agar critical mass bisa terjadi. Saat ini memang tenaga peneliti tersebar. Ujung-ujungnya, jika tenaga peneliti tersebar begitu, agak sulit untuk investasi peralatan. Di sana perlu, di sini perlu juga. Tidak bisa satu alat yang harganya Rp5 milyar dikasih ke semua tempat. Jadi harus digrouping.

Ada persoalan yang cukup besar di LIPI, utamanya soal reorganisasi. Di Malaysia, anggaran risetnya 25% dari pemerintah, sisanya dari eksternal. Di Indonesia terbalik. Indonesia harus belajar dari Malaysia. Tapi diskursus tentang itu tidak banyak, karena itu menyentuh otokritik. Bagaimana sih manajemen riset di Indonesia? Berarti kan ada masalah di situ. Otokritik memang lebih susah, tapi tidak boleh menipu masyarakat jadi harus disampaikan apa adanya.



Persoalan pertama adalah soal insentif fiskal dan yang kedua soal kapasitas peneliti. Memang tidak banyak orang yang memahami soal ini, tidak pernah didiskusikan. Tidak pernah ada yang sadar atau tidak mau menyadari, tapi itu problem yang sangat fundamental yang harus segera diselesaikan. Apa kata orang, kalau lembaga penelitian tapi isinya 60 persen adalah administrasi pendukung? Kan tidak bisa begitu. Masalah LIPI ini juga menjadi contoh representasi dari Iembaga litbang Indonesia secara umum. Kalau hanya melakukan business as Usual, buat apa? Bayaran gede tapi nggak berani ambil risiko.

LIPI juga satu-satunya instansi yang melakukan diaspora secara besar-besaran. Anak-anak yang sudah PhD yang berkeliaran di luar negeri ditarik lagi untuk mempercepat peningkatan critical mass dari sisi SDM yang berkualitas. Sampai saat ini, sudah sekitar 25 orang PhD yang ditarik lagi ke Indonesia. Itu pun masih angka kecil. LIPI maunya satu tahun ada 100 orang PhD yang ditarik kalau bisa.

Jika bicara anggaran riset, peneliti harus mencari sendiri, bukan dikasih. Yang LIPI beri adalah infrastruktur riset, meja kerja yang baik, peralatan riset yang berfungsi dengan baik. Nah, untuk risetnya, peneliti harus cari sendiri. Di semua negara pun seperti itu. Banyak memang yang belum paham soal ini. Anggaran riset, menurut standar UNESCO, adalah 1:3. Artinya satu dari pemerintah, tiga dari eksternal. Malaysia sudah mencapai angka itu. Tapi kalau Indonesia masih terbalik, tiga dari pemerintah, satu dari eksternal.

Saat ini total anggaran untuk LIPI di angka Rp 1,5 Triliun dari APBN. Kalau ikut standar UNESCO, harusnya punya anggaran Rp 6 triliun. Artinya Rp1,5 triliun dari APBN dan Rp 4,5 triliun dari eksternal. Peneliti LIPI harus punya kompetensi untuk merebut Rp 4,5 triliun dari eksternal. Karena itu bukan belas kasihan atau corporate social responsibility. ltu harus direbut.



Pihak eksternal belum berminat berinvestasi di bidang riset karena dua sisi. Belum cukup insentif fiskal bagi eksternal untuk mengalokasikan belanja riset atau Indonesia memang belum punya kapasitas dan kompetensi untuk menjawab kebutuhan pihak eksternal. Karena itulah dibuat Open research infrastructure, agar orang eksternal mau datang dan terjadi kolaborasi. Proses alamiah ini yang belum banyak terjadi di Indonesia.

Padahal periset itu barus begitu. Artinya anggaran riset itu bukan anggaran yang cost center, tidak selalu. Jika pernerintah mengeluarkan uang satu rupiah, seharusnya bisa menghasiikan output yang senillai empat rupiah. Pelaku risetnya harus mencari tiga rupiah yang lain itu. Uang dari pemerintah harusnya ya buat infrastruktur itu. Dengan infrastruktur dan isi kepala periset, dia bisa cari uang yang lain. Dan itu yang menghasilkan devisa untuk negara, meski risetnya belum tentu berhasil ya. Di lndia yang riset IT, luar biasa penghasilan devisanya. BeIum tentu berhasil risetnya, Karena dia dianggap mumpuni dan mampu berkompetisi membuat proposal yang hagus, dia bisa menggaet research grant dari luar negeri.

Saat ini, hampir semua kementerian dan lembaga memiliki badan riset atau penelitian dan pengembangan (Litbang) sendiri. Hal itu dikritik oleh Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) dan Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan Sri Mulyani). Risetnya seperti diecer-ecer. LIPI juga menjadi salah satu lembaga litbang yang jadi target penataan.

Memang apa sih yang membedakan 3.0 atau 4.0? Yang berbeda adalah proses bisnis. Dulu yang bisa melakukan product development, research and development, proses kreatif adalah universitas hesar atau perusahaan besar. Sekarang siapa pun bisa melakukan itu. Dulu harus punya modal besar untuk bisa menyaingi Blue Bird, tapi orang kayak Nadiem Makarim (pendiri Gojek) enggak perIu uang triliunan. Cukup ide dan kreativitas saja, Dan itu satu orang, enggak perlu banyak orang.



Lembaga litbang adaIah lembaga yang bertumpu pada kreativitas. Karena merupakan penghasil invensi. Itu menjadi tantangan besar buat lembaga litbang. Tidak bisa lagi lembaga litbang seperti yang dulu. Litbang harus selalu mawas diri. Jangan-jangan nanti ada anak SMK di Cianjur sana yang bisa mendistrupsi inovasi, yang tadinya dibikin susah-susah tiga tahun, tiba-tiba langsung tidak bermakna. Periset Indonesia dituntut untuk lebih cepat dan dinamis. Itu tidak bisa dilakukan kalau tidak membuka diri. Kalau hanya ngumpul dengan teman riset yang sudah 20 tahun bekerja sama, apa yang diharapkan? Tidak ada kreativitas, tidak ada mobiltas, tidak ada stimulan, tidak ada dinamika.


Spoiler for Referensi:


Diubah oleh babygani86 12-06-2019 03:11
BadLabel
nowbitool
idrusfachr17
idrusfachr17 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
5.4K
68
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan