Perang Dunia II yang melibatkan Jepang dan tentara Sekutu AS, secara de fakto telah berakhir dengan luluh lantaknya kota Hiroshima dan Nagasaki.

Karena itu, pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah dan kalah tanpa syarat. Namun hal itu tidak berlaku bagi Hiroo Onoda (HO).

Meski sudah mengetahui bahwa Jepang kalah dan menyerah, HO tetap terus menjalankan misinya sebagai agen intelijin, yang bertugas untuk mengganggu dan menyabotase upaya musuh.
***
Desember 1944, HO masih berusia 22 tahun, saat ia ditugaskan ke Pulau Lubang, Filipina. Dua bulan kemudian, tepatnya pada Februari 1945, pasukan Sekutu mendarat di pulau itu.

Dengan membabi buta, tentara Sekutu membombardir pulau itu untuk menewaskan semua tentara Jepang yang ada di sana. Banyak teman HO yang gugur, namun ia dan beberapa temannya berhasil meloloskan diri dengan mundur ke perbukitan.

Dari bukit itulah HO dkk terus melakukan upaya gerilya dan menyusun berbagai strategi selanjutnya.

Urusan perut, mereka makan apa yang ada, seperti pisang yang tumbuh di hutan, kelapa, buah-buahan, dan berbagai hewan yang bisa ditemukan.

Pada Desember 1945, HO mendapat info dari selebaran bahwa perang telah usai, dan seluruh tentara Jepang yang ada di kawasan Pasifik diminta untuk menyerah.

Namun HO punya pertimbangan lain. Ia membuang selebaran tersebut, dan menyatakan akan terus berjuang sampai roh berpisah dari raga.

“Setiap prajurit Jepang harus siap mati. Tapi sebagai seorang perwira intelijen, saya diperintahkan untuk melakukan gerilya, bukan untuk mati,” begitu prinsip yang dipegang HO.

Artinya, HO harus tetap bertahan hidup dan berjuang, hingga ia tewas di tangan musuh, atau mati secara ajali, bukan dengan menyerah, apalagi bunuh diri.

Prinsip itu tetap dipegang teguh oleh HO, meski pada tahun 1950, seorang sahabatnya menyerahkan diri, dan tahun 1954, seorang sahabatnya yang lain tertembak mati.

Puncaknya di tahun 1972, HO harus benar-benar hidup sendiri, sebab pengawalnya yang terakhir, yaitu Kinshichi Kozuka tewas ditembak polisi Filipina ketika menyerbu toko beras di sebuah pemukiman penduduk.

Mulai saat itu, HO mengasingkan diri di hutan Pulau Lubang. Ia tetap bertahan dan tak mau menyerahkan diri. Hingga akhirnya seorang penjelajah muda bernama Norio Suzuki (NS) tertarik untuk menemukan HO.

Dan pada tanggal 20 Februari 1974, akhirnya mereka bisa bertemu di sebuah hutan di Pulau Lubang.

NS memberitahukan kepada HO bagaimana keadaan Jepang yang masih kacau balau, dan membujuk HO agar menyerah saja. Tapi dengan tegas HO menolak, kecuali atas perintah langsung dari atasannya.

NS kembli ke Jepang untuk mencari tahu siapa atasan HO yang memerintahkannya saat itu. Akhirnya ia menemukan Mayor Yoshimi Taniguchi (YT), yang telah berusia sepuh, yang bekerja sebagai penjaga toko buku.

Maka pada tanggal 9 Maret 1974, NS dan YT berangkat ke Pulau Lubang untuk membebaskan HO secara resmi dari tugasnya. Dengan demikian, 29 tahun setelah PD II berakhir, baru HO pensiun dari tugasnya.

Tanggal 12 Maret 1974, HO dan YT menghadap Presiden Filipina Ferdinand Marcos untuk meminta amnesti. Sebab menurut catatan pemerintah, selama bertugas di Filipina HO telah menewaskan sekurangnya 30 orang. Pesiden memberikan amnesti kepada HO, lalu HO menyerahkan pedangnya kepada Presiden, sebagai simbol perdamaian.



Kemudian HO kembali ke Jepang, dan ia disambut oleh masyarakat layaknya seorang Pahlawan. Namun HO memilih pindak ke Brazil, dan menjadi peternak sapi di sana.

Sepuluh tahun kemudian, ia kembali lagi ke Jepang, dan mendirikan sekolah yang mengajarkan cara bertahan hidup di alam bebas kepada anak-anak, berdasarkan pengalamannya selama jadi agen intelijin di Filipina.

HO tetap tinggal di Jepang, hingga ajal menjemputnya pada awal tahun 2014 silam.(*) Ref
Sebuah sikap patriot yang patut dicontoh oleh para prajurit. Setia kepada tugas dan atasan, tetap berusaha untuk tetap hidup, tanpa menyerah, dan anti bunuh diri.(**)