mbakendutAvatar border
TS
mbakendut
Nostalgia Hijrah Pohon Aristoteles





**

Menutup aurat bagi Nina bukan hal asing. Ia menutup aurat "memakai jilbab" sejak sekolah dasar, berlanjut hingga sekolah menengah hingga kuliah.

Awal mengenalnya, aku sempat dibuat terheran-heran dengan perspektifnya mengenai kewajiban memakai jilbab.

Sangat polos, hingga membuatku sering tertawa sendiri hingga sekarang. Di bawah naungan pohon sejuta kenangan, kisah dimulai.


sumber gambar: pinterest



*

September, 2015


"Kamu pakai hijab di sekolah aja atau di tempat lain juga, Nin?" tanyaku padanya ketika kami menghabiskan waktu di bawah pohon aristoteles--tempat membaca favorit anak bahasa.

Nina yang saat itu tengah asyik membaca menjawab, "Nggak, di sekolah aja."

"Kenapa?"

"Panas," jawabnya pendek.

"Kok?" Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Bukan tanpa alasan aku menanyakan ini. Menurutku, ia sangat cantik dengan balutan jilbab seperti ini.


sumber gambar: pinterest


Rasanya ... seperti melihat masa depan.

Sebenarnya, aku pernah melihatnya tak memakai jilbab di luar sekolah. Dan ... aku tidak suka itu. Jadi, pertanyaanku saat ini cuma sekadar basa-basi saja.

"Aku pakai jilbab karena diwajibkan sama sekolah. Kalau di luar sekolah, aku lepas. Emang kenapa sih?" tanyanya menatap padaku.

Aku kicep, lantas menggaruk tengkuk sedikit salah tingkah. "Nghh, nggak sih. Aku lebih suka kamu pakai jilbab," ujarku ikut menatapnya, sedikit merona.

Jadilah kami saling memandang beberapa saat. Senyum tipis melengkung di bibirnya yang ranum. "Kamu bisa aja. Aku pake jilbab salah satunya juga karena katanya aku lebih cantik kalo pake jilbab."

"Kata siapa?"

"Kata kamu 'kan barusan?" katanya diakhiri tawa.

Pohon aristoteles terasa hangat saat itu.



**

Alasan Nina memakai jilbab yang ia katakan waktu itu terdengar ngaco tapi memang benar adanya.

Sekolah kami mewajibkan memakai jilbab dan memang kurasa mayoritas sekolah di Indonesia mewajibkan hal itu. Namun, ia hanya memakai jilbab jika di sekolah. Di tempat lain apalagi di rumah tidak demikian.

Ia memakai pakaian ala anak remaja di zamannya. Kaos oblong dan celana jeans robek-robek bahkan hotpants. Pernah suatu ketika aku melihatnya hanya berbalut hotpansdan baju kaos tanpa lengan.

Sebagai lelaki normal, aku tak menampik jika darah mudaku berdesir melihatnya tampil seksi.

Ya, itu juga insiden tak disengaja, tapi membawa hikmah dan pelajaran berharga bagiku, terutama Nina.


*
Januari, 2016

Jarak rumahku dan Nina tidak cukup jauh. Namun, aku jarang main ke rumahnya. Sore ini adalah kebetulan luar biasa karena sudah kebakaran jenggot tidak bisa mengerjakan PR matematika.

Dia jago matematika, lebih dariku.

Karena jarak yang tak terlalu jauh, aku memutuskan berjalan kaki saja. Perjalanan ini tak berjalan mulus karena aku dikejutkan dengan pemandangan tak sedap di depan sana.

Dua orang pemuda berpenampilan layaknya preman mencegat gadis berpakaian terbuka. Dadaku bergemuruh karena langsung mengenali gadis itu.

Dia ... Nina.

Tanpa ba bi bu, aku langsung berlari menghampiri Nina yang tampak sudah menggigil ketakutan. Entah sudah berapa lama dia berada di kondisi mengerikan ini.

"Nina!"

Kedua pemuda yang sedang menganggu Nina tampak terkejut, juga Nina. Dadaku terasa hancur lebur melihat penampilannya saat ini.

"Hei, kau siapa?"

Marah, aku membentak. "Kau yang siapa berani menganggu dia?"

"Dia sangat seksi, Bro. Bikin ngiler." Tatapan kurang ajar salah satu pemuda itu pada Nina membuat darahku mendidih.

Bukk!!

Tinjuku menghantam telak ke wajah salah satu pemuda mesum tersebut hingga tersungkur. Temannya marah dan balas menghantam. Jadilah aksi tonjok-tonjokan terjadi di lorong sempit dan sepi itu dan berakhir aku yang harus kalah.

Wajahku nyaris hancur dan babak belur. Megap-megap nyaris kehilangan napas, Nina menangis dan menjerit histeris.

Untung, bantuan datang.

*
"Bapak 'kan sudah berapa kali bilang. Jangan berpakaian seperti itu keluar rumah!"

Pak Slamet--ayah Nina membentak marah ketika kami pulang ke rumah gadis itu dengan selamat berkat bantuan seorang pria baik hati yang aku tak tahu siapa namanya.

Nina menunduk masih dengan tangis yang tak berhenti dari tadi. Ini pasti pengalaman terpahit dalam hidupnya.

Sementara aku juga memasang wajah bersalah dan sibuk mengobati luka di bibirku dengan sehelai kain juga dibantu Mamat--asisten rumah tangga Pak Slamet.

"Kompleks kita memang akhir-akhir ini kurang aman, Pak. Mungkin karena sistem keamanan yang kurang, pemuda nakal dari kampung sebelah bebas masuk ke sini." Pria yang menolong kami angkat bicara.

"Ya, dan karena Nina yang keras kepala, temannya nyaris pingsan dihajar oleh mereka." Pak Slamet kembali menuding Nina. "Anakku ini sudah kusuruh menutup auratnya dengan benar, tapi malah ngeyel. Dia pakai jilbab ke sekolah, itu sudah bagus. Tapi di luar sekolah, ia masih betah dengan gaya millenialnya. Aku juga sudah capek memperingatinya, Ustadz Fauzan."

Aku sedikit menganga. Ustadz Fauzan? Jadi, yang menolong kami ini Ustadz?

Pria berambut klimis itu tersenyum. "Namanya juga remaja, Pak. Anak seusia Nina ini tidak bisa dikerasi atau dipaksa. Dalam islam, menutup aurat bagi muslimah itu wajib hukumannya. Menutup aurat dapat menjaga muslimah dari fitnah dan pandangan pria yang bukan muhrimnya," katanya. "Kejadian tadi merupakan contoh kecil kerugian bagi perempuan muslim yang menampakkan auratnya. Syahwat laki-laki tak ada yang tahu, maka sudah sepatutnya wanita menjaga kehormatannya dengan sebaik-baiknya."


**

Ujian kecil dari Allah hari itu berdampak besar dalam hidup Nina. Berkat bimbingan Ustadz Fauzan yang ternyata anak dari sahabat lama Pak Slamet, ia perlahan-lahan menutup auratnya secara keseluruhan.

Bukan karena ingin terlihat cantik di mataku atau karena kewajiban sekolah saja, ia saat ini telah menjadi sosok muslimah sejati dan anggun dengan pakaian muslimahnya.

"Hei, gimana konsul skripsinya, lancar?"

Nina memutuskan flashback singkatku yang memang telah berakhir. Ia tersenyum manis melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Tadi udah, gak lama. Kok kamu tau aku di sini?"

"Ya ini 'kan tempat favorit kamu. Di bawah pohon. Pohon apa lagi namanya?"

Aku mengernyit, tapi pada akhirnya menyebutnya juga. "Pohon aristoteles."

"Nah, tepat sekali. Aku ingat kamu juga namain pohon beringin di sekolah kita pohon aristoteles."

"Ya, nostalgia hijrah kamu ada di sini. Meski kelam, tapi membawa kamu--kita bisa seperti ini sekarang."

Nina melempar senyum terbaiknya sore itu.

**

Makassar, 10 Mei 2019

Quote:



Terima Kasih Telah Membaca Cerpen Iniemoticon-Cendol Ganemoticon-Big Kiss









anasabila
swiitdebby
081364246972
081364246972 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
4.9K
78
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan