- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Reuni 212 dan Rezim (Islam) Sontoloyo
TS
Hans.Landa
Reuni 212 dan Rezim (Islam) Sontoloyo
Quote:
Jakarta - Sungguhpun indikasi politisasi agama dalam 212 dan reuni yang mengikutinya selama dua tahun terakhir ini kuat, dalam banyak hal dan bagi sebagian (besar?) muslim, 212 tidak lebih dari ekspresi religiusitas. Itu kenapa dengan suka hati mereka berbondong-bondong berangkat ke Monas, dengan ikhlas tulus melaksanakan tahajud dan subuh berjamaah, serta rela berpanas-panasan dan berdesak-desakan mendengarkan tausyiah dan orasi sepanjang hari diiringi pekik takbir dan kibaran bendera merah putih dan bendera (bertulisan) tauhid aneka warna.
Itu pula barangkali kenapa walaupun momentum 212 sudah selesai dengan ditahannya Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penodaan agama, aksi ini tetap menyita perhatian masyarakat, menciptakan pro-kontra tak berkesudahan. Sebagian boleh jadi dipengaruhi estafet kontestasi politik mulai dari Pilgub DKI Jakarta ke Pilgub beberapa provinsi hingga pilpres tahun depan. Tetapi, sebagian lagi dengan jelas diperkuat oleh bagaimana isu yang ditopang mengalami transformasi. Tidak ada lagi yang berbicara soal Ahok; isunya hari ini beragam mulai dari "bendera tauhid" hingga kemerdekaan Palestina.
Menariknya, untuk mempertegas (atau memberi kesan) bahwa Aksi 212 ini bukanlah aksi mengusung khilafah, peserta diminta membawa bendera merah-putih dan bendera tauhid aneka warna. Bendera Palestina juga (sebagaimana bisa ditebak) ikut hadir oleh sebab concern terhadap isu penjajahan terhadap Palestina merupakan ekspresi religiusitas yang luhur dan solidaritas keumatan global. Selain itu, agar tidak dituduh didomplengi politik, peserta dilarang mengenakan atribut yang berhubungan dengan partai manapun walaupun kehadiran tokoh-tokoh semacam Prabowo, Fadli Zon, Zulkifli Hasan, hingga Anies Baswedan tetap membawa nuansa keberpihakan politik.
Apalagi, Anies dengan cerdik menangkap spirit Reuni 212 dengan "mempersamakan" aksi yang "dipandang sebelah mata" oleh yang kontra ini dengan spirit proklamasi kemerdekaan yang diremehkan penjajah. Intinya bahwa aksi ini diyakini akan mampu mengubah, atau menginspirasi, arah pembangunan Indonesia. Arah pembangunan yang bagaimana? Jika kita melihat bagaimana bendera merah putih disandingkan dengan bendera bertulisan tauhid, dengan penegasan pembelaan terhadap NKRI, kita akan dengan mudah menemukan upaya penarasian syariahisasi NKRI.
Upaya yang sempat pudar pasca kalahnya Kartosuwiryo dan dihapuskannya 7 kata dalam Piagam Jakarta yang membuat sebagian orang (terutama pengusung 212) merasa Islam tidak diakomodasi dengan baik dan layak oleh rezim pemerintahan sepanjang usia kemerdekaan. Belum termasuk pertentangan antara Masyumi kontra kalangan nasionalis sekuler yang menurut Buya Syafii melahirkan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan di sebagian kalangan Islam terkait pengakomodasian Islam dalam ranah politik, kekuasaan, dan kebijakan.
Pertanyaannya, benarkah Islam dilemahkan dan dikucilkan? Bagi saya, Islam justru tidak hanya diakomodasi tetapi bahkan dispesialkan. Adalah homogenitas pergaulan dan penerjemahan tekstual atas Islam yang kemudian membuat pengistimewaan tersebut tidak terlihat. Situasi tersebut berkorelasi dengan pembentukan apa yang Bung Karno sebut sebagai "Islam sontoloyo". Yaitu, Islam tekstual yang ahistoris dan tidak peka konteks, Islam dengan klaim kebenaran tunggal yang berkecenderungan takfiri, serta berazas taklid buta.
Jika benar Reuni 212 mengusung gagasan Islam tidak diakomodasi sedangkan gagasan tersebut berkorelasi dengan "Islam sontoloyo"-nya Bung Karno, lantas di mana irisannya? Mari kita lihat.Pertama, Aksi 212 lahir dengan gagasan besar bahwa yang kontra 212 sama dengan tidak atau kurang Islami. Dengan kata lain ada unsur klaim kebenaran tunggal dan takfiridi situ. Hari ini unsur pengkafiran terhadap yang kontra tidak sekuat dulu seiring transformasi isu yang dibahas, tetapi ihwal pemerintah dianggap anti atau kurang Islami karena dianggap tidak mendukung 212 masih kuat. Apakah itu termasuk gejala rezim kesontoloyoan dalam berislam, silakan diputuskan.
Kedua, ada unsur taklid buta yang kuat sehingga seberapa besar pun indikasi politisasi tampak, sepanjang Imam Besar bilang A, yang lain akan sami'na wa atha'na. Apalagi bagi sebagian kalangan, habib menempati posisi terhormat selayaknya putra mahkota di dalam suatu lingkungan kerajaan. Itu kenapa ketika Habib Rizieq bilang Jokowi dan rezimnya tidak usah diundang, arahan tersebut dilaksanakan secara saksama dan diumumkan dalam tempo secepat-cepatnya.
Namun demikian, kesontoloyoan tersebut seperti tidak dikonstruksi secara sepenuhnya sadar, alih-alih merupakan by product dari religiusitas yang diekspresikan secara lugu, naif, dan polos. Dengan kata lain: sontoloyo by accident. Ada kesulitan sistemik untuk tiba pada pemahaman substantif dan untuk keluar dari jebakan "kesalehan ritualistik" yang self-centris menuju kemanusiaan berkeadaban, sehingga ikut reuni dan dapat selfie, misalnya, dirasa menjadi bagian dari kebutuhan untuk menegaskan identitas diri sebagai muslim. Apalagi selfie-nya dengan mengenakan atribut berketauhidan. Ihwal apakah ini karena kualitas pendidikan Islam, atau ketimpangan ekonomi, silakan diputuskan.
Yang jelas, boleh jadi Reuni 212 ini memang hanya bentuk tepang-rasa dan silaturahmi, yang keseluruhan konstruksinya lebih merupakan kegiatan sosio-kultural ketimbang politik, karena tidak semua pengusungnya mengerti dan memiliki daya-atur politik. Lebih sebagai bentuk festival di tengah tren post-Islamisme yang serba formalistik. Walau, ya, lagi-lagi kemungkinan untuk penguatan aspirasi politik kepada paslon tertentu dapat muncul, misalnya, ketika ada teriakan "hidup Prabowo" di antara tausyiah; atau, bagaimana kasus yang menimpa Habib Bahar tidak membuat citra Jokowi di mata pengusung 212 lebih baik.
Itu sebabnya barangkali kenapa Reuni 212 menuai pro-kontra, karena ia dapat menjadi, kalau dari sudut pandang mereka yang kontra, ajang keberpihakan politik yang hanya memperkuat gejala populisme dan politik identitas. Sebaliknya, bagi mereka yang pro, Reuni 212 ini dapat menjadi bukti bagaimana Jokowi dan rezimnya "kalang kabut" oleh kekuatan Islam yang siap menggagalkannya di pilpres tahun depan. Apakah semua itu merupakan efek domino dari kesontoloyoan keislaman kita, atau bahkan bukti kesontoloyoan itu sendiri, hanya kita yang bisa memutuskan.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, alumnus University Collge London, associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting
https://news.detik.com/kolom/d-43280...slam-sontoloyo
-5
2.3K
Kutip
25
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan