Ayubasauli.S.T.Avatar border
TS
Ayubasauli.S.T.
Cerita Horor Remaja




PROLOG


Apakah kalian pernah berpikir mengenai kehidupan selain kehidupan di Bumi ini? Aku sering. Maksudku, dunia ini luas, sangat luas. Selain Bumi sebagai planet yang kita tempati ini, masih banyak ratusan bintang atau planet lain di galaksi ini, dan aku meyakini masih banyak lagi bintang atau planet di galaksi lainnya. Bukankah masuk akal jika kita berpikir, setidaknya ada satu bintang atau planet yang juga memiliki kehidupan seperti di Bumi ini?

Ketika berpikir seperti itu, seringkali pikiranku melayang-melayang sampai akhirnya aku tenggelam dalam lamunanku. Setelah selesai dengan pikiranku mengenai kehidupan di planet lain, entah kenapa aku jadi berpikir, bagaimana dengan di Bumi ini? Apakah benar di Bumi yang kita tinggali ini, hanya dihuni oleh makhluk-makhluk kasat mata seperti yang selama ini kita yakini? Lalu bagaimana asal-muasal cerita yang membuat sebagian orang meyakini adanya keberadaan makhluk tak kasat mata atau yang biasa kita sebut dengan sebutan makhluk halus?
Ada banyak sekali cerita mengenai makhluk halus tersebut, bahkan di Negara kita ini, bisa aku katakan kalau masing-masing daerah memiliki cerita mengenai makhluk halus atau yang biasa kita katakan sebagai cerita horor-nya sendiri. Lalu, bagaimana dengan pemahaman dari kata horor itu sendiri menurut kalian?

Menurut pemahamanku, horor itu adalah kondisi atau situasi yang berhubungan dengan hal-hal yang menyeramkan, hal-hal yang membuat kita merasa ketakutan, merinding, dan membuat kita ingin berlari, menghindari hal tersebut sejauh mungkin.
Biasanya kata horor dikaitkan dengan makhluk-makhluk halus yang diyakini keberadaannya oleh sebagian orang, seperti Pocong, Kuntilanak, Genderuwo, dan lain-lain. Selain itu, kata horor juga sering dikaitkan dengan tempat-tempat yang sepi, yang entah kenapa terkadang membuat kita merinding seperti kuburan, atau rumah kosong yang sudah lama ditinggal oleh pemiliknya, atau mungkin juga terowongan atau gang sempit yang jarang dilalui orang.

Sebagian orang meyakini kalau tempat-tempat seperti itu dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan terkadang membuat kita ketakutan dengan pemikiran kita sendiri mengenai hal itu. Itulah beberapa hal yang kemungkinan terlintas di pikiran sebagian orang ketika kita menyebutkan kata horor. Namun bagiku, tidak hanya itu.

Bagiku, hal-hal horor bisa kita jumpai kapanpun, baik pagi, siang maupun malam. Kita bisa menjumpainya, kita bisa merasakannya di manapun, baik itu di tempat yang sunyi-sepi, atau bahkan di tempat yang biasa kita lalui setiap harinya. Hal-hal horor tidak hanya bisa kita temui atau kita rasakan di tempat yang baru, karena bagiku, kita juga bisa menemui atau merasakan hal tersebut, di tempat kita melakukan kegiatan sehari-hari kita, dan mungkin juga di tempat kita berada saat ini.

BAB 1


Hari itu, adalah hari pertama aku menjalani dunia perkuliahan di kampus itu. Kampus itu bukanlah kampus yang besar dan terkenal seperti kampus-kampus lainnya di Jakarta. Kampus itu memiliki empat fakultas, dan aku terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra.
Aku sendiri bukanlah mahasiswa yang menonjol baik itu dari segi penampilan maupun prestasi. Aku adalah seorang mahasiswa biasa, yang berasal dari keluarga biasa, yang berada dalam lingkungan biasa, dan juga menjalani kehidupan yang biasa.

Tidak ada yang kutakutkan saat memulai kehidupanku sebagai mahasiswa di kampus itu. Sejak lama, bahkan sejak aku berada di Sekolah Dasar, kehidupanku sering diwarnai dengan perkelahian, baik dengan teman sebaya, senior ataupun juniorku sendiri. Perkelahian dan berurusan dengan preman seperti itu terus berlanjut hingga aku duduk di Sekolah Menengah Atas.

Begitulah kehidupanku sebelum aku menjadi mahasiswa di kampus itu. Karena suatu alasan, aku memutuskan untuk tidak menjalani kehidupan seperti itu lagi, dan aku hanya ingin menjalani kehidupan mahasiswa-ku dengan tenang seperti yang lainnya.
Aku tidak terlalu ingin bergaul dengan mahasiswa lainnya, saat itu, aku tidak ingin bersosialisasi dengan mereka, walaupun hanya sebatas berbicara, aku memutuskan untuk menjauhkan diriku dari mereka dan menjalani kehidupanku sendiri.

Awalnya aku terpaksa untuk kuliah disana, di kampus yang tidak aku ketahui sebelumnya, dan juga di jurusan yang tidak aku perkirakan sebelumnya. Aku kuliah di jurusan Sastra Jepang, dan aku tidak pernah mempelajari Bahasa Jepang sebelumnya. Keputusanku untuk tidak bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya, bahkan dengan teman sekelasku, membuatku kesulitan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan. Mungkin bisa dibilang, aku adalah mahasiswa yang paling bodoh dikelasku. Namun itu semua tidak menyurutkan niatku untuk tidak bersosialisasi dengan mereka. Saat itu aku hanya ingin menikmati kehidupanku sendiri, tanpa perduli dengan apa yang terjadi di sekitarku.

Beberapa minggu awal perkuliahanku kujalani dengan kesulitan dan kesendirian. Aku hanya datang, duduk, mendengarkan, dan pergi. Setiap harinya aku pulang tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada teman-teman sekelasku. Awalnya, aku berpikir, apakah aku bisa terus kuliah di tempat ini? Keputusanku untuk tidak bersosialisasi, serta dengan perkuliahan yang sama sekali tidak kumengerti, terkadang membuatku berpikir untuk bolos dari perkuliahan dan pergi ke tempat lain. Tapi tanpa kusadari, aku perlahan menikmati keadaan itu. Aku memang tidak serta-merta menguasai pelajaran yang diberikan, tetapi kehidupan sebagai “bukan siapa-siapa” di kampus ini terasa nyaman untuk kujalani.

❀❀❀❀❀


Dua bulan sudah aku berstatus sebagai mahasiswa di kampus itu, masih tidak ada yang berubah. Aku mungkin sudah bisa mengingat beberapa nama dari teman-teman sekelasku, namun tidak lebih dari itu. Selain aku, hanya ada empat anak laki-laki dan sekitar dua puluh lainnya perempuan. Kurang-lebih sama sepertiku, keempat laki-laki itu juga sangat jarang berbicara satu sama lain. “Apakah memang seperti ini kehidupan laki-laki di jurusan Sastra?” pikirku.

Jika diperhatikan, anak-anak perempuan di kelasku juga masih belum bisa berbaur, masih banyak dari mereka yang terlihat seperti mengelompokkan diri. Yah, tidak bersosialisasi bukan berarti aku tidak memperhatikan mereka. Anak laki-laki di kelasku bisa dibilang memiliki karakteristik yang sangat berbeda satu sama lainnya, mungkin itu juga yang membuat mereka juga tidak bisa berbaur satu sama lain.

Anak yang biasa duduk di sebelahku, aku ingat dia dipanggil dengan nama Widi. Kesan pertamaku? Aku benci dia. Dia selalu diam saat di kelas, bahkan melebihiku, dan dia selalu melipat tangan di dadanya saat duduk di kelas. Jika saat itu adalah kehidupan di saat aku masih di SMA, Widi adalah orang yang akan aku ajak berkelahi.

Tiga anak yang biasa duduk di belakangku, Devon, Ricky dan Indra. Devon tidak terlihat terlalu menonjol, namun sepertinya dia adalah orang yang ramah. Sering kulihat dia berbicara dengan beberapa anak perempuan di kelas kami, dan dia juga sepertinya murah senyum, “Tipe anak yang mudah bergaul,” pikirku. Sedangkan Ricky, sangat berkebalikan dengan Devon. Ricky selalu terlihat serius di dalam kelas. Kadang aku mengintip ke belakang dan melihat dia sedang memperhatikan dengan seksama pelajaran yang sedang di jelaskan oleh dosen kami. Indra? Awalnya aku berpikir kalau dia setipe dengan Ricky, karena dia selalu terlihat sedang menulis sesuatu pada saat pelajaran sampai akhirnya aku tahu kalau selama ini kerjaan yang dia lakukan hanyalah menggambar di dalam kelas.

Satu anak laki-laki lainnya, Fero. Aku masih belum bisa mengira-ngira seperti apa karakteristik anak itu. Dia biasanya duduk menjauh dari kami berlima, namun dari yang kulihat, aku rasa dia memiliki minat terhadap Bahasa Jepang, lebih dari kami berlima.

Begitulah kehidupanku diantara empat anak laki-laki lainnya yang bisa dibilang, sangat berbeda satu sama lain. Namun setelah dua bulan, tidak ada masalah berarti yang aku alami. Aku sudah bisa menghafal tulisan Hiragana meskipun terkadang masih kesulitan untuk tulisan Katakana, tapi itu tidak menjadi halangan, karena aku tetap belajar setiap malamnya. “Aku rasa aku bisa terus berkuliah seperti ini sampai lulus nanti,” pikirku sebelum gangguan yang sangat ingin aku hindari, datang mengacaukan kehidupan perkuliahanku.

Memang terlalu naif kalau aku berpikir kehidupan perkuliahanku akan lancar-lancar saja sesuai keinginanku. Aku benar-benar melupakan hal yang penting, hal yang sangat ingin aku hindari namun tidak bisa aku hindari. Saat itu aku sedang berada di kelas Happyou atau yang dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai kelas Presentasi.

Benar, presentasi. Dosen kelas tersebut mengacaukan rencanaku dengan menugaskan kami membuat presentasi secara “berkelompok”. Dan benar saja, akhirnya kenginanku untuk tidak bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya, terhalang dengan tugas yang mau tidak mau harus kami lakukan, karena kami hanyalah mahasiswa yang masih membutuhkan nilai.

BAB 2


“Jadi gimana? Pada setuju gak sama tugasnya masing-masing?” tanya Ricky setelah kelas terakhir pada hari itu selesai.
“Yauda, jadinya lo sama Devon nyari bahan, kan? Gw yang bakal edit semua dan tugas Widi untuk nge-print,” tanyaku. Kurasa itu adalah percakapan pertama kami berempat setelah sekian lama sekelas.
”Hmm, ok!” jawab Widi singkat.
“Yauda kalo gitu, lo kerjain yang bener ye, Coy!” seru Devon kepada Ricky.
“Enak aja! Lo tuh yang bener!” balas Ricky sambil tertawa terkekeh.

Pada akhirnya, aku, Devon, Ricky dan Widi berada dalam satu kelompok. Bukan kami yang menginginkan hal itu, tapi dosen kami sendiri yang memilihkan kelompoknya, sedangkan Fero dan Indra masing-masing berada dalam kelompok yang berbeda.

Akhirnya kami berpisah, aku beralasan akan ke kamar kecil dahulu sebelum pulang agar aku tidak perlu bersama-sama mereka saat mengambil motor karena sepertinya kami parkir di tempat yang sama.

Aku berjalan keluar dari gedung Fakultas Sastra. Kampus itu memiliki keunikan tersendiri dalam urusan tata letak bangunan. Gedung Fakultas Sastra dibangun berdampingan dengan Fakultas Ekonomi di sisi kanan Kampus, sedangkan Fakultas Teknik dan Fakultas Kelautan berada di seberang kiri Kampus secara simetris.

Aku berjalan melewati Kantin Sastra tanpa menoleh sedikitpun kearah sana. Masing-masing dari Fakultas di Kampus itu memiliki sebuah ruang terbuka di sisi luar Fakultas yang biasa digunakan untuk berbagai kegiatan ataupun hanya untuk sekedar nongkrong, kami menyebutnya dengan sebutan Pendopo. Kantin Sastra berada di seberang Pendopo Sastra, karena itulah lebih banyak anak Sastra yang nongkrong disana ketimbang anak Ekonomi. Begitu juga dengan Fakultas Teknik dan Kelautan, mereka juga memiliki Kantin sendiri yang terletak di posisi yang sama secara simetris.

“Udah jam segini, masih banyak aja yang nongkrong,” ujarku dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul enam sore. “Untunglah tugas gw cuma nge-edit aja,” ujarku. “Gw cuma perlu nunggu bahan presentasi dari mereka, gw edit dan serahin ke Widi. Gak perlu banyak komunikasi sama mereka,” pikirku.

Aku tiba di tempat aku memarkir motorku. Dari tempat itu, aku bisa melihat kearah Pendopo Ekonomi, dan aku melayangkan pandanganku kearah sana selama beberapa waktu.

Berbeda dengan Pendopo Sastra yang selalu ramai, bahkan sampai sore hari seperti saat itu, seingatku, aku tidak pernah melihat ada anak-anak Ekonomi yang nongkrong di Pendopo Ekonomi bahkan saat siang hari. “Kok sepi banget ya?” tanyaku dalam hati dan kemudian bergegas pulang.

❀❀❀❀❀


Kelas pertama di pagi hari, dua hari setelah kelompok kami terbentuk. Di kampus itu, jika kita masih semester satu, hampir semua mata kuliah yang kami ambil adalah mata kuliah wajib dan kelas yang kami ambil-pun sudah ditentukan sejak awal, itulah sebabnya hampir di semua mata kuliah, kami akan berada di kelas bersama dengan teman-teman yang sama, setiap harinya. Aku datang lebih pagi ketimbang ketiga anggota kelompokku, dan baru saja Ricky datang memasuki kelas.

“Pagi, Bro!” sapa Ricky yang untuk pertama kalinya, duduk di sebelahku.
“Pagi!” balasku singkat.
“Bahan gw udah hampir siap nih, nanti pas pulang kita kumpul dulu ya?” tanya Ricky.
“Ngapain??!” tanyaku dalam hati, namun aku memilih untuk tidak mengatakannya. Aku melihat Devon dan Widi memasuki ruang kelas secara bersamaan.
“Sini, Bro!” seru Ricky sambil menunjukkan dua bangku kosong yang berada di sebelah kirinya. Ya, keajaiban pertama hari itu, itu adalah pertama kalinya kami berempat duduk dalam baris yang sama.
“Nanti jangan pada langsung pulang ya , Bro! Kita kumpul dulu!” seru Ricky.
“OK! Sekalian ada yang mau gw tanyain,” jawab Devon sambil mengeluarkan buku dari tasnya. “Ohia, Coy! Lo udah punya nomor mereka?”
“Ohia, bener juga lo, Bro! Gw minta nomor lo dong!” pinta Ricky sambil menyerahkan telepon genggamnya kepadaku. Aku mengetikkan nomorku di telepon genggam milik Ricky dan mengembalikannya. “Gw juga minta nomor lo dong, Wid!”
“0809-8999,” ujar Widi singkat tanpa menoleh sema sekali kearah Ricky.

Kami terdiam beberapa saat setelah itu karena suasananya menjadi agak canggung karena sikap Widi, namun kemudian Devon menghangatkan suasana kembali dan mengajak Ricky mengobrol. “Apakah memang Ricky dan Devon sudah seakrab itu sejak dahulu?” pikirku mengingat mereka berdua pasti sudah bertukar nomor telepon masing-masing sebelumnya.

Setelah itu, kami menjalani perkuliahan kami seperti biasa, tidak ada yang mengobrol diantara kami selain Ricky dan Devon. Kelas pertama selesai tanpa adanya keajaiban lagi. Karena ruangan kelas berikutnya berada di ruangan yang sama, aku meninggalkan tasku di kursi yang kududuki tadi, dan aku pergi keluar kelas untuk ke kamar kecil.

Di gedung itu, terdapat masing-masing dua kamar kecil di setiap lantainya. Namun aku lebih suka menggunakan kamar kecil di lantai tiga, karena kamar kecil di lantai dua adalah kamar kecil campuran yang biasa digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Sial bagiku, saat aku berada di kamar kecil lantai tiga, disana sudah dipenuhi oleh makhluk-makhluk liar yang sedang buang air kecil, sehingga aku memutuskan untuk pergi ke lantai empat.

Kamar kecil di lantai empat itersebut adalah kamar kecil yang paling jarang digunakan. Sejujurnya, pertama kali aku menggunakan kamar kecil di lantai itu, aku merasa bulu kuduku merinding. Mungkin karena jarang digunakan, kamar kecil itu terasa lebih gelap jika dibandingkan dengan kamar kecil di lantai lainnya.

“Kenapa sekarang gw jadi sering banget parno, ya?” tanyaku dalam hati.

Kamar kecil di gedung itu, masing-masing terletak di bagian gedung Fakultas Sastra dan Fakultas Ekonomi. Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, kamar kecil yang terletak di bagian gedung Fakultas Ekonomi-lah yang bisa digunakan oleh anak laki-laki.
Setelah selesai dengan urusanku, aku menoleh melalui kaca jendela yang ada di kamar kecil tersebut. Aku melihat kearah lantai satu, tepatnya kearah Pendopo Ekonomi.

“Tuh, kan! Sekarang yang masih jam sebelas aja, gak ada yang nongkrong disana!” seruku. Keadaan yang benar-benar bertolak-belakang dengan Pendopo Sastra yang bahkan sudah ramai bahkan sejak jam sembilan pagi.
“Kenapa ya?” tanyaku dalam hati sambil berjalan kembali ke ruang kelas.

Sejak kecil aku sering ditinggal oleh kedua orangtuaku yang lebih sering pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Aku memang memiliki dua orang kakak perempuan, namun keduanya sedang menempuh kuliah di luar kota. Keseharianku di rumah lebih sering kujalani seorang diri.

Walaupun terbiasa berada di rumah seorang diri, aku masih belum terbiasa dengan tempat yang sepi dan sunyi. Di rumahpun aku selalu menyalakan televisi sepanjang malam untuk menemani tidurku. Sejak kecil aku memang sering terlibat dalam perkelahian dan itu membuatku hampir tidak takut menghadapi orang-orang di sekitarku, namun lain halnya dengan hal-hal yang berbau mistis.

Seringkali saat malam hari, bunyi angin ataupun bunyi tetesan air membuatku takut ketika aku berada di rumah sendirian. Beberapa kali juga suara kaca jendela yang bergetar karena hembusan angin membuatku kaget. Bahkan jika dalam suatu kondisi aku terpaksa mandi pada malam hari, aku tidak berani menutup mataku saat sedang membersihkan rambutku.

Mungkin karena aku yang memang takut akan hal-hal seperti itu, perhatianku jadi terpusat kepada Pendopo Ekonomi. Saat kembali ke kelaspun aku masih memikirkan hal itu, namun akhirnya beberapa pelajaran yang masih sulit kupahami membuat pikiranku teralihkan, dan akhirnya selesai juga perkuliahan hari itu.

❀❀❀❀❀


“Kumpul dimana ya enaknya?” tanya Ricky.
“Dimana ya?” balas Devon dengan wajah polosnya.
“Ye, si Oncom! Ditanya malah balik nanya!” ketus Ricky sambil memukul kepala Devon.
“Kalau bisa sih jangan di tempat yang rame kaya di Kantin, Rick!” saranku.
“Wah gw ada ide!” seru Devon. “Gimana kalau di Pendopo Ekonomi?” lanjutnya dengan semangat.
“Pendopo Ekonomi?” tanya Widi tiba-tiba.
“Iya, gimana?” jawab Devon.
“Boleh juga, tuh! Kebetulan disana kan sepi terus!” ujar Ricky menyetujui usulan Devon.
“Pendopo Ekonomi, ya?” ujarku pelan.
Widi melirik kearahku, “Gw lupa gw ada urusan. Maaf banget ya, gw harus pulang sekarang!” ujar Widi sambil menatap layar telepon genggamnya dan pergi meninggalkan kami. Kami bertiga-pun hanya bisa terdiam melongo.

BAB 3


“Si Widi kenapa, ya?” tanya Ricky kepada aku dan Devon sembari membuka-buka file di laptopnya.
“Ah paling dia males aja tuh, terus alesan deh ada urusan,” ujar Devon sementara aku hanya duduk bersender di tembok tanpa mengucapkan apa-apa.
“Wah bisa jadi tuh, haha! Sialan juga dia!” seru Ricky. “Nah ini dia bahan-bahan yang udah gw kumpulin, udah gw gabung juga sama bahan-bahan dari Devon, coba lo liat dulu deh, Bro!” lanjut Ricky sambil mempersilahkan aku berpindah tempat duduk ke depan laptopnya.

Seperti rencana awal, akhirnya kami tetap berkumpul di Pendopo Ekonomi untuk mendiskusikan bahan presentasi kami. Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul enam sore, langit sudah mulai gelap tapi kami beruntung karena di tempat itu memiliki penerangan yang baik.

Aku sama sekali tidak menyangka, walaupun tempat itu sepi, tapi berbeda dengan Pendopo Sastra, tempat itu terasa sangat sejuk. Beberapa kali angin berhembus dengan kuat, mungkin karena di sebelah gedung Fakultas Ekonomi terdapat taman dengan beberapa pohon yang cukup besar sehingga tempat itu tidak seperti Pendopo Sastra yang selalu terasa panas, atau mungkin juga karena tidak ada orang yang berlalu-lalang di tempat itu seperti halnya di Pendopo Sastra.

Diubah oleh Ayubasauli.S.T. 28-11-2018 05:18
anasabila
tien212700
tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
6.3K
39
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan