sabil.haqAvatar border
TS
sabil.haq
Stunting Tinggal 30,8%

Jakarta - Empat tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menunjukkan hasil kerja yang cukup menggembirakan, khususnya dalam bidang kesehatan dan sumber daya manusia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memperlihatkan prevalensi bayi berusia maksimal dua tahun yang menderita gangguan pertumbuhan otak dan panjang badan (stunting) tinggal 30,8% dibanding data Riskesdas 2013 yang mencapai 37,2%. Mengacu data Riskesdas 2013, Indonesia menempati posisi keempat di dunia dengan jumlah penderita stunting terbanyak, setelah India, Pakistan, dan Nigeria. Jumlah penderita stunting di Indonesia tercatat 8,8 juta, Nigeria 10 juta, Pakistan 10,5 juta, dan India 48,2 juta.

Kenyataan tersebut membuat Presiden Joko Widodo memerintahkan 22 kementerian/lembaga secara bersama-sama menangani stunting. Tak hanya itu, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan melalui pengalokasian anggaran sekitar Rp 50 triliun untuk menangani kasus tersebut.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian 3 Kantor Staf Presiden, Brian Sriprahastuti dalam dialog terbatas bertema “Angka Stunting yang Tinggi Terlalu Penting untuk Diabaikan demi Generasi Mendatang” yang diselenggarakan Suara Pembaruan di Jakarta, Senin (22/10), menyatakan pemerintah berkomitmen untuk mengurangi penderita stunting. Pada akhir 2019, pemerintah menargetkan prevalensi stunting mencapai 28%.

“Saya optimistis kita bisa kurangi stunting, karena saat ini sebanyak 22 kementerian/lembaga bersama-sama menangani stunting,” katanya.

Selain Brian Sriprahastuti, dialog terbatas yang dipandu Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Primus Dorimulu, juga diikuti Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemko PMK, Sigit Priohutomo, Dirjen Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa dan PDTT Samsul Widodo, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Doddy Izwardy, Plt Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Tetty Helfery Sihombing, Kasubdit Pemberdayaan Gizi Masyarakat Bappenas, Entos Zaenal, Deputy Director Research and Development BPJS Kesehatan, Andy Afdal, komisioner KPAI, Rita Pranawati, dokter Damayanti R Syarif, Widya Habibie, serta pengamat kebijakan publik Agus Pambagio dan Edie Haryoto.



Peserta dialog terbatas Suara Pembaruan.


Menurut Bria, langkah pemerintah pusat untuk menurunkan jumlah penderita stunting juga harus diikuti pemerintahan di daerah, khususnya aparat desa. Warga yang tinggal di desa lebih berpeluang menderita stunting, karena faktor asupan gizi dan sanitasi yang belum sepenuhnya bagus. Meski demikian, bukan berarti kelompok masyarakat kaya dan tingga di daerah perkotaan bebas stunting. Data yang ada menunjukkan sekitar 29% bayi yang lahir di keluarga kaya, juga menderita stunting. Selain itu, 33% bayi yang lahir di wilayah perkotaan juga menderita stunting.

”Stunting tidak hanya terjadi pada keluarga miskin, tetapi juga keluarga kaya. Pada keluarga kaya, stunting umumnya disebabkan pola asuh, seperti tidak memberikan ASI eksklusif (hanya ASI selama enam bulan) sampai anak berusia 2 tahun, dan anak sakit, sehingga asupan gizi tidak bisa diserap tubuh. Isu stunting ini multisektor, sehingga harus dikerjakan bersama-sama,” katanya.

Prioritas Lebih jauh dikatakan, data Riskesdas 2018 menunjukkan penurunan penderita stunting, rata-rata 1,2 persen per tahun selama 2013 sampai 2018.

“Hasil Riskesdas terbaru ini belum diluncurkan secara resmi, tetapi sudah masuk dalam laporan empat tahunan kepemimpinan Presiden Jokowi. Mungkin dalam waktu dekat akan diluncurkan,” kata Brian.

Menurut Brian, stunting menjadi isu prioritas dan fokus dari pemerintahan Jokowi. Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk menanggulanginya. Misalnya, melaksanakan program padat karya tunai dengan prioritas di 1.000 desa di 100 kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tinggi sejak awal 2018 hingga 2019. Sedikitnya ada 22 kementerian dan lembaga yang memiliki program di tingkat desa diintegrasikan dengan program padat karya dan dana desa.

Kemudian meningkatkan jumlah sasaran penerima Program Keluarga Harapan (PKH) setiap tahun. Ada juga program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), yaitu bantuan pangan dari pemerintah berupa beras dan telur bagi keluarga miskin. Pemerintah juga menargetkan BPNT sebanyak 10 juta keluarga hingga akhir 2018.

Namun, lanjut Brian, penanganan stunting masih menemui sejumlah kendala. Salah satu kendala adalah jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, terdiri dari banyak suku dan kondisi geografis yang sulit dijangkau. Dengan kompleksitas seperti itu, menurutnya, kurang tepat apabila penanganan stunting di Indonesia dibandingkan dengan negara lain.



Belum Berarti Meski demikian, anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Damayanti R Syarif menilai upaya penanganan stunting di Indonesia belum membawa perubahan berarti. Angka stunting masih tetap tertinggi, meski oleh pemerintah diklaim telah menurun.

Menurut Damayanti, komposisi makanan pendamping air susu ibu (MPASI) untuk program intervensi gizi pada bayi dan balita tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Komposisi makanan yang dianjurkan lebih banyak untuk orang dewasa, seperti sayuran dan buah-buahan. Padahal, kunci penanganan stunting adalah kecukupan protein hewani.

Demikian juga pemanfaatan anggaran yang mencapai Rp 50 triliun harus lebih diefektifkan. Dia mengkritik kebijakan pemerintah yang membeli biskuit untuk melakukan intervensi gizi.

“Kalau dana yang ada bisa dikelola dengan baik, penurunan penderita stunting bisa lebih signifikan,” katanya.

Stunting disebabkan dua hal, yakni asupan nutrisi yang tidak memadai (adekuat) dan kebutuhan gizi anak yang meningkat. Asupan tidak adekuat kaitannya dengan makanan, sedangkan kebutuhan meningkat terkait penyakit infeksi. Bayi baru lahir kemungkinan 20% menderita stunting akibat kondisi tertentu, seperti prematur dan berat badan lahir rendah. Sisanya, 80% bayi lahir normal. Namun karena asupan makanannya tidak adekuat dan menderita penyakit tertentu, maka kebutuhan akan nutrisi tidak tercukupi. Kondisi seperti ini membuat bayi yang lahir normal akhirnya menjadi stunting.

Damayanti juga menekankan bahwa kurang tepat bila stunting didefinisikan sebagai kerdil. Lebih dari sekadar pendek tubuh, otak anak stunting rusak dan sulit diperbaiki. “Pendek fisik masih ada kesempatan untuk menaikkannya di saat remaja. Yang paling ditakutkan justru perkembangan otaknya. Begitu otak anak rusak akibat ketidakcukupan nutrisi sejak dalam kandungan, maka akan sulit diperbaiki,” katanya.

Penelitian menunjukkan, lebih dari 65% anak stunting memiliki IQ di bawah 90. Sedangkan 25% lagi memiliki IQ di bawah 70. Begitu gizi anak turun dan diikuti berat badannya turun, maka IQ-nya juga turun. Apalagi bila sampai pada kondisi gizi buruk atau gizi kurang, maka bisa diramalkan 65% IQ-nya tidak lebih dari 90. Dengan demikian dampak jangka panjang stunting bukan hanya bagi penderita dan keluarganya melainkan juga bangsa.

Anak-anak stunting hidup dengan kualitas buruk, tidak cerdas, nilai akademis rendah, dan produktivitas kurang. Ini ancaman bagi Indonesia ketika mendapat bonus demografi yang puncaknya pada 2025-2035 mendatang. Ketika itu, Indonesia akan kelimpahan penduduk berusia kerja, tetapi sebagian besar dari mereka kurang produktif karena sakit-sakitan, dan akibatnya menjadi beban bagi negara.

Dampak lebih luasnya, kata Damayanti, kualitas SDM yang kurang menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara lain dalam banyak hal. Bidang matematika, misalnya, Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara. Indonesia hanya berada satu tingkat di atas Peru, dan di bawah Singapura, Tiongkok, Korea, dan Jepang.

“Ke mana kita bangsa yang besar ini, bangsa yang bisa membangun Candi Borobudur ketika orang Eropa belum bisa apa-apa. Bagaimana dengan Gajah Mada yang bisa menyatukan hampir seluruh Asia Tenggara. Artinya, kita punya otak yang bagus-bagus karena makanan kita bagus. Kita punya ikan kembung yang protein dan energinya tiga kali lipat dari salmon, dan ikan tengiri dua kali lipat dari salmon,” kata Damayanti.

Dokter spesialis anak konsultan nutrisi dari RSCM ini menambahkan, stunting adalah proses akhir dari kondisi kekurangan gizi yang berjalan kronik. Jadi, ketika anak ditemukan stunting sebetulnya sudah terlambat. Mereka akan tetap ditangani, tetapi harus di bawah penanganan langsung dokter spesialis anak. Itu pun hasilnya tidak bisa kembali normal 100%. Dengan distribusi dokter yang terbatas sampai ke seluruh daerah, maka penanganan stunting perlu melibatkan dan mengaktifkan peran masyarakat serta petugas puskesmas.

Menurut Damayanti, masih ada waktu sekitar tujuh tahun sebelum Indonesia meraih bonus demografi. Jika pemerintah benar-benar serius mengatasi stunting, maka mulailah dari sekarang. Intervensi besar-besaran harus dilakukan, dimulai dari ibu hamil perlu dipastikan asupan makanannya baik secara volume maupun kandungan gizinya harus tercukupi. Ini akan memperbaiki asupan makanan anak sejak dalam kandungan. Menemukan sejak dini bayi-bayi yang lahir dengan berat badan rendah, termasuk bayi yang kurang ASI eksklusif, lalu berikan intervensi khusus.



1.000 Hari Pertama
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Doddy Izwardy menyatakan penurunan penderita stunting dari 37,2% pada 2013 menjadi 30,8% pada 2018 merupakan keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK yang memasukannya dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2015.

Untuk mencegah dan mengatasi stunting, hal penting yang harus diperhatikan adalah 1.000 hari pertama kehidupan, terdiri dari 270 hari janin di dalam rahim ibu dan 730 hari atau dua tahun setelah bayi lahir. Pihaknya saat ini fokus untuk memberi perhatian kepada sekitar 4 juta sampai 5 juta ibu hamil setiap tahun agar bayi yang dilahirkan tak menderita stunting.

“Kalau bicara stunting di sini, bukan hanya pendek, tetapi menyangkut kecerdasan otak. Kalau otak gagal berkembang, SDM juga gagal,” katanya.

Selain asupan gizi bagi ibu hamil dan bayi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pencegahan stunting adalah usia perkimpoian, khususnya bagi remaja putri. Usia perkimpoian yang ideal adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Pada usia tersebut, pasangan muda sudah bisa berpikir tentang tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak yang akan dilahirkan.

“Remaja putri harus diberi pemahaman bahwa mereka ikut bertanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan. Ketika remaja, mereka harus mulai memberi perhatian pada asupan gizi agar anak yang dilahirkan kelak tak menderita stunting,” katanya.

sumber : http://www.beritasatu.com/fokus/stun...l-308#konten-2
Diubah oleh sabil.haq 30-10-2018 08:49
1
2K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan