claymiteAvatar border
TS
claymite
Yakin Masih Nganggep Film Indonesia Cupu ? #IniIndonesiaku








Buffalo Boys - Western Taste from Archipelago

Dari tahun ke tahun, Indonesia sempat mengalami krisis perfilman. Mulai dari Horror yang bernuansa seperti film biru, dilanjut genre komedi yang dipenuhi jokesreceh yang cringe abis, sampai film-film yang memaksakan CGI yang malah hasilnya Zonk total! Itu merupakan salah satu krisis terparah yang terjadi di kancah perfilman Indonesia.

Namun, beberapa tahun belakangan ini era "gagal" perfilman Indonesia telah musnah, sedikit demi sedikit film Indonesia mulai menunjukkan kualitasnya. Muncul berbagai sutradara yang membawa perubahan bagi perfilman Indonesia, sebut saja Joko Anwar dan Mo Brothers yang sukses membuat film bergenre horror / thriller berkelas dan mulai membuat masyarakat Indonesia antusias dengan film-film bergenre tersebut.


Marlina the Murderer in Four Acts

Lalu dilanjut dengan Nia Dinata yang menjadi pioneer untuk Sutradara Wanita di Indonesia, Angga Dwimas Sasongko yang terkenal lewat Filosofi Kopi-nya menciptakan film drama berkelas dengan porsi yang pas, Mouly Surya yang menahkodai film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan visual yang indah dan telah meraih penghargaan Festival Film Internasional di Spanyol, dsb.

Stereotipe film horror di masa lalu pun sekarang telah hilang dengan munculnya film-film horror yang lebih "niat" seperti Danur, Pengabdi Setan, Ruqyah, Kafir, Keluarga Tak Kasat Mata, dsb. Coba kalau kita menilik beberapa tahun belakangan, film-film horror Indonesia yang kebanyakan hanya berupa representatif dari Blue Film. Begitu pun juga dengan film bergenre lainnya seperti Drama yang ceritanya lumayan menyentuh dan dekat dengan keseharian kita, coba kalo menilik beberapa tahun belakangan, film Drama Indonesia kebanyakan (gak semuanya) kualitas filmnya gak jauh beda dengan FTV / Sinetron.


Hannah Al Rasyid in Halfworlds

Bersyukurlah dan berbanggalah kita, slowly but sure, Indonesia semakin lama semakin dekat dengan kiblat Industri Perfilman Dunia, Hollywood. Beberapa aktor / aktris telah diterbangkan ke ranah Hollywood, sebut saja Joe Taslim yang telah ikut andil dalam franchise Fast and Furious, Yayan Ruhian dalam film Star Wars, Julie Estelle yang berperan jadi antagonis dalam film The Kickboxer : City of Blood, Yoshi Sudarso yang berperan jadi Ranger biru dalam film Power Rangers, Cinta Laura yang menerima banyak tawaran dan semakin dikenal di Hollywood karena bermain di film The Philosophers, dan yang masih "HOT" yaitu Iko Uwais yang berperan penting di film Mile 22.

Ada juga beberapa aktor yang ikut bermain di TV Series luar, seperti Reza Rahadian, Tara Basro, Alex Abbad, Hannah Al Rasyid, Ario Bayu, Arifin Putra, etc yang bermain di salah satu TV Series HBO : Halfworlds, yang juga mengambil kota Jakarta sebagai lokasi syutingnya. Ada juga Chelsea Islan yang menjadi satu-satunya aktris asal Indonesia berdasarkan sejarah yang bermain dalam drama serial Jepang : Sakura ni Negai Wo. Selain TV Series, ada juga aktor Indonesia yang ikut bermain dalam film Asia (Internasional, tapi non-Hollywood). Sebut saja Yayan Ruhian yang juga bermain dengan durasi lebih panjang di film Jepang : Yakuza Apocalypse, yang berperan sebagai Yakuza yang penuh tatto di badannya.


Surat dari Praha hampir masuk Oscar, tapi gak didukung negara

Tapi, dibalik kesuksesan, selalu ada bahaya yang mengancam. Itulah yang patut kita waspadai terhadap film Indonesia. Lalu, apa itu bahaya yang mengancam ? Yaitu, pasar. Film memang gak bisa lepas dari faktor pasar, dari pasar itulah semua kru film bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan bisa sukses secara finansial. Mengapa pasar merupakan ancaman yang nyata bagi kesuksesan perfilman Indonesia ? Karena faktor pasar lah yang sewaktu-waktu bisa membunuh "kreativitas". Apa maksudnya ?

Mari kita lihat kasus film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak, yang tayang di bioskop sebentar dan kurang mendapatkan apresiasi publik karena masyarakat Indonesia lebih memilih film Thor Ragnarok yang tayang di bioskop. Atau film Turah yang sempat dikirim untuk masuk nominasi Oscar hanya ditonton oleh 8 orang saja saat Premiere, 8 orang !? Are you seriously ? Itulah kenyataannya. Atau, film biopik pahlawan perempuan kita, Kartini, yang flop di pasaran karna kurang laku, padahal itu film penting untuk mengetahui sejarah kita, untuk menambah rasa nasionalisme kita dan rasa bersyukur kita, dan overall itu film bagus, bahkan Hanung Bramantyo membutuhkan dana sebesar Rp12 Miliar untuk menggarap film Kartini ini. Tapi, pasar berkata apa ?


Bahkan, Hanung Bramantyo sempat bikin tweet 'sarkas' karena flopnya Kartini

Banyak masyarakat yang membuat statement kalo film Indonesia tidak berkualitas, tidak mutu, dsb. Padahal, jika mereka pengen membuka mata lebar-lebar dan melihatnya dari sudut pandang lain, mereka akan menemukan "emas" dibalik perfilman Indonesia. Ini semua hanyalah masalah pasar, karena mereka (masyarakat Indonesia) selalu menutup mata tentang hal yang "asing" bagi mereka, mereka lebih nyaman menonton film yang sudah mainstream seperti Drama - Romance, Comedy atau Horror. Padahal diluar sana, masih banyak film underrated buatan lokal yang tidak laku disini, malah mendapatkan penghargaan bergengsi di luar negeri sana.

Well, hal seperti ini juga terjadi di Forum Website kecintaan kita semua, Kaskus. Banyak banget thread yang berkualitas di forum tercinta ini, tapi pasar berkata apa ? Hal inilah yang ngebuat beberapa kaskuser sering membuat statement kalo Kaskus sekarang thread-nya sudah banyak yang gak mutu atau whatever statement lainnya. Padahal, forum tercinta ini, masih mempunyai banyak thread bermutu dan berkualitas jika membuka mata lebar-lebar, tapi underrated. Sama seperti kasus perfilman Indonesia ini.


Critical Eleven, one of the most beautiful Drama movies

Lalu, apa yang harus kita lakukan agar film Indonesia tidak "drop" lagi ? Ya belajar menghargai kualitas perfilman Indonesia. Buka mata lebar-lebar, banyak kok film Indonesia yang flop di bioskop tapi malah mendapatkan penghargaan bergengsi. Masih banyak film Indonesia bagus, tapi kita menutup mata untuk itu. Sebaliknya, ada juga film Indonesia yang jelek, tapi kita malah membuka mata lebar-lebar untuk itu. Lalu timbullah statement bahwa film Indonesia jelek dan tidak bermutu, padahal ada sebagian kecil kesalahan mereka (masyarakat) yang membuat membuat film Indonesia jadi tidak berkualitas. Pastinya ada film Indonesia yang asal dibuat hanya karena untuk memenuhi faktor pasar.

Mau contoh ? Dilan 1990, film Drama - Romance yang disutradarai Pidi Baiq dan diangkat dari novel best-seller yang berjudul sama ini sukses di pasaran. Film itu hanya menceritakan kisah percintaan, drama sosial, dan kehidupan sekolah di masa SMA yang bersetting di tahun 1990. To be honest, film ini sama sekali gak berkesan. Tema jadul 1990 yang diusung di film ini sama sekali gak kelihatan, dialog memang sarat Hiperbola, cuma dengan kadar yang kurang pas. Nilai moral ? Sebagian dari kalian pasti berkata bahwa film ini ada pesan moralnya, ya memang ada. Dilan mengajarkan kita untuk tidak main fisik dengan wanita, mempertahankan harga diri sebagai seorang laki-laki, etc. Tapi, bandingkanlah dengan beberapa pesan immoral lainnya seperti melawan kepada guru ? Bermesraan ? Tawuran ? Tidak memperjuangkan cintanya ?


Teman Tapi Menikah better more than Dilan 1990

Malah, jika dibandingkan dengan film Teman Tapi Menikah yang tayang beberapa bulan setelahnya dan hampir memiliki kesamaan cerita (cinta di masa muda), Teman Tapi Menikah jelas lebih memiliki nilai plus dibandingkan film Dilan 1990. Tapi, Dilan 1990 jelas lebih laku dibanding Teman Tapi Menikah. Inilah Indonesia, film bagus belum tentu laku, dan film klise belum tentu flop, bisa jadi kebalikannya. Film bagus tidak didukung dan terbengkalai, sementara film klise cenderung di-dewakan oleh sebagian masyarakat.

Terkadang, mayoritas (gak semuanya) penonton Indonesia juga kerap kali cenderung sensitif terhadap beberapa hal yang ada dalam film. Seperti misalkan, film yang membahas agama, selalu saja diprotes oleh masyarakat Indonesia. Film yang membahas politik, juga sama diprotes oleh sebagian masyarakat Indonesia. Padahal ternyata, isi filmnya cenderung berbobot dan penuh pesan yang ingin disampaikan. Coba kita lihat Hollywood, udah gak aneh kan film politik / agama yang mendapatkan apresiasi ? Coba kalo di Indonesia ? Jarang. Banyak film yang sedikit "menyimpang" malah terkadang menghadirkan sisi seni berbeda yang bisa dinikmati, contohnya : Film mother! film yang merupakan allegori dari Tuhan-Manusia-Bumi, Film Eyes Wide Shut yang mengangkat tentang sekte dan penyimpangan (aliran sesat), Film Clockwork Orange yang mengawali pendobrakan ketabuan pada awal 70-an , Film Moonlight yang mengangkat tema LGBTQ, etc.


Clip from Satan's Slaves

C'mon, hilangkan paradigma ini, karena film itu merupakan seni. Semua tema bisa diangkat ke layar lebar, semua sutradara / produser berhak mengangkat tema sebuah film. Nilai sebuah film dari segi cerita, bukan tema-nya. Nilai seorang aktor / aktris dari aktingnya, bukan dari peran-nya. Jika masyarakat Indonesia mengubah paradigma tentang ini, saya yakin dalam beberapa tahun kedepan lahirlah sutradara baru yang bisa membuat film Indonesia menancapkan nominasi atau bahkan memenangkan penghargaan di ajang bergengsi seperti Academy Awards atau Golden Globe. Saya juga yakin genre film di Indonesia bakal terus meluas, bahkan film-film avant-garde (film yang merupakan kebebasan berekspresi sang sutradara) bakal bermunculan di Indonesia.

"It's take two to tango" (dibutuhkan kerja sama antar dua belah pihak untuk sukses). Kita sebagai penonton juga berperan penting untuk kesuksesan film Indonesia, bukan hanya kru film saja. Kenapa film Amerika Serikat sangat maju dan dijadikan kiblat industri perfilman dunia ? Karena faktor penonton juga yang selalu mendukung produksi film disana dan mengapresiasinya. Bahkan film Hollywood sana cenderung bisa membuat kita mendapatkan referensi baru, bahkan sampai mengubah pola pikir kita terhadap sesuatu. Itu semua gak bisa terlepas dari penonton yang selalu mengapresiasi. Simpelnya, penonton mengapresiasi sebuah film bagus, maka sutradara Indonesia berlomba-lomba membuat film bagus, penonton mengapresiasi film asal-asalan, sutradara Indonesia berlomba-lomba membuat film asal-asalan yang bisa menarik pasar.








emoticon-Rate 5 Staremoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Rate 5 Star

Design, Illustration and Written by claymite


Diubah oleh claymite 13-08-2018 11:32
3
16.5K
193
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan