- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengapa masih ada pembubaran acara diskusi mahasiswa Papua?
TS
gagakngondek
Mengapa masih ada pembubaran acara diskusi mahasiswa Papua?
Quote:
Acara diskusi dan pemutaran film tentang aspirasi kemerdekaan Papua yang digelar oleh mahasiswa Papua di kota Malang, Jawa Timur, Minggu (01/07), dibubarkan oleh sekelompok anggota masyarakat.
Pembubaran acara ini dilaporkan sempat diwarnai insiden adu mulut, perusakan barang-barang, serta serangan fisik terhadap mahasiswa Papua, tetapi dibantah oleh kepolisian.
Kepolisian kota Malang menyebut sekelompok anggota masyarakat membubarkan acara itu karena materi diskusinya dianggap meresahkan warga.
"Kalau (pembubaran) dari kami tidak ada. Penolakan murni dari warga (kota Malang)," kata Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri, Senin (02/07), seperti dilaporkan wartawan di Malang, Eko Widianto, untuk BBC News Indonesia.
Menurutnya, warga kota Malang mengetahui aktivitas para mahasiswa Papua itu melalui media sosial. "Mereka (warga) sudah memberikan himbauan, tapi tidak dihiraukan," kata Asfuri.
Polisi juga menyebutkan pembubaran acara itu juga dilatari ulah mahasiswa Papua yang dianggap menolak pindah, walaupun disebutkan masa kontrakannya sudah berakhir.
"Ternyata adik-adik (mahasiswa Papua) masih belum juga meninggalkan rumah, dan malam itu dipakai nonton bareng segala yang melibatkan banyak orang," kata Pejabat sementara Kasubag humas Polres Malang kota, Ipda Seruni Marhaeni, kepada BBC News Indonesia, Senin (02/07) petang.
Apa komentar mahasiswa Papua?
Tetapi seorang perwakilan mahasiswa Papua di kota Malang menganggap tuduhan tersebut sengaja diciptakan untuk menjelekkan mahasiswa Papua yang mendukung aspirasi kemerdekaan.
Lagi pula, menurut juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (APM) di Malang, Yohanes Geai, pihaknya sudah menyiapkan uang muka untuk memperpanjang kontrakan rumah di kawasan Dinoyo itu.
Dia juga mempertanyakan tuduhan bahwa mereka tidak dapat berhubungan baik dengan para tetangga selama ini.
"Kalau warga tidak suka, saya tidak mungkin tinggal selama sembilan tahun (di wilayah Dinoyo)," kata Geai.
Mereka mengakui acara itu membahas aspirasi kemerdekaan Papua melalui diskusi dan pemutaran film, dan menurutnya, acara seperti itu tidak pernah dipertanyakan oleh warga sekitar.
"Ini kajian ilmiah, dan selama sembilan tahun kami tinggal di sini tidak pernah kita minta izin. Baru ada kejadian (dibubarkan) hanya kemarin," katanya.
Menggunakan 'ormas dan preman'
Karena itulah, dia menganggap tuduhan bahwa pembubaran dilatari ulah mahasiswa Papua tersebut sengaja diciptakan untuk menjelekkan mahasiswa Papua yang mendukung aspirasi kemerdekaan.
"Intinya bukan soal kontrakan, tapi diskusinya. Ada intervensi aparat. Cuma yang digunakan ormas dan preman-preman itu," tandas Geai.
Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri, membantah tuduhan bahwa pihak kepolisian berada di balik acara pembubaran tersebut.
"Kalau (pembubaran) dari kami tidak ada. Penolakan murni dari warga (kota Malang)," tegas Asfuri menjawab pertanyaan Eko Widianto, wartawan di Malang untuk BBC News Indonesia, Senin (02/07).
'Diskusi soal Papua jangan ditutup-tutupi'
Walaupun bentuknya diskusi dan pemutaran film, aktivitas yang dianggap berbau separatisme kerap dihadapkan pada aparat keamanan.
Dan pembubaran acara diskusi ini merupakan salah dari tindakan serupa di kota-kota lain sebelumnya.
Itulah sebabnya, rentetan pembubaran acara diskusi seperti ini menyulut protes organisasi Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau ULMWP, salah-satu organisasi yang menyokong aspirasi kemerdekaan Papua.
Salah-seorang pimpinannya, Markus Haluk, menganggap pembubaran acara diskusi ini membuktikan bahwa pemerintah pusat tidak berubah dalam melihat persoalan Papua.
"Kalau versi UU Indonesia, kan menjamin kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat. Apa salahnya? " kata Markus Haluk saat dihubungi BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Senin (02/07).
"Masa orang Papua mau berkumpul, enggak bisa?" tambahnya.
Menurutnya, pembubaran acara diskusi dan pemutaran film di Malang, menunjukkan pemerintahan Joko Widodo tidak konsisten dengan kebijakan untuk menyelesaikan persoalan di Papua secara "dari hati ke hati".
"Lain di mulut, lain di hati, lain di lapangan," kata Haluk.
Seharusnya, lanjutnya, masyarakat diberi kebebasan untuk membahas berbagai persoalan di Indonesia, termasuk aspirasi kemerdekaan di Papua.
"Kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, termasuk diskusi soal Papua, mestinya dibuka, jangan ditutup-tutupi," ujarnya.
Apa komentar pemerintah pusat?
Tuduhan yang dilontarkan Markus Haluk ditolak oleh tenaga ahli bidang komunikasi di Kantor staf kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo telah meletakkan masalah Papua sebagai prioritas utama yang harus diselesaikan, termasuk dalam menangani persoalan HAM, keamanan dan politik di Papua.
"Yang Anda kemukakan, itu akan beliau (Presiden Joko Widodo) akan lakukan dengan membangun interpersonal communication yang bagus," kata Ali Mochtar kepada BBC News Indonesia, Senin (02/07).
"Komunikasi antar budaya, komunikasi dari hati ke hati, seperti beliau maksudkan," imbuhnya.
Tentu saja, sambung Ali Mochtar, menyelesaikan dan memperhatikan persoalan di Papua tidak mudah dilakukan. "Tidak segampang membalik telapak tangan."
Alasannya, persoalan di provinsi itu bukan baru terjadi dalam periode kepemimpinan Joko Widodo.
"Persoalan ini bukan berlangsung baru seminggu atau dua minggu lalu, tapi berpuluh tahun yang lalu. Bagaimana mungkin menyelesaikan selama masa kepemimpinan Joko Wodo dalam dua atau tiga tahun belakangan," katanya.
Karena itulah, Ali Mochtar meminta semua pihak melihat upaya penyelesaian di Papua yang ditempuh pemerintah secara "obyektif dan rasional".
Semenjak terpilih menjadi presiden, Presiden Joko Widodo telah meletakkan masalah Papua sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunannya.
Hal itu kemudian ditandai dengan pembebasan sejumlah tahanan politik, upaya penyelesaian masalah keamanan dengan menghormati HAM, hingga menggiatkan pembangunan proyek infrastruktur sampai di wilayah pedalaman provinsi tersebut.
Pendekatan tersebut dianggap sejumlah kalangan juga ditujukan untuk melunakkan tuntutan pemisahan diri Papua dari Indonesia yang sejauh ini terus diteriakkan oleh sebagian warganya.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44682734
Pembubaran acara ini dilaporkan sempat diwarnai insiden adu mulut, perusakan barang-barang, serta serangan fisik terhadap mahasiswa Papua, tetapi dibantah oleh kepolisian.
Kepolisian kota Malang menyebut sekelompok anggota masyarakat membubarkan acara itu karena materi diskusinya dianggap meresahkan warga.
"Kalau (pembubaran) dari kami tidak ada. Penolakan murni dari warga (kota Malang)," kata Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri, Senin (02/07), seperti dilaporkan wartawan di Malang, Eko Widianto, untuk BBC News Indonesia.
Menurutnya, warga kota Malang mengetahui aktivitas para mahasiswa Papua itu melalui media sosial. "Mereka (warga) sudah memberikan himbauan, tapi tidak dihiraukan," kata Asfuri.
Polisi juga menyebutkan pembubaran acara itu juga dilatari ulah mahasiswa Papua yang dianggap menolak pindah, walaupun disebutkan masa kontrakannya sudah berakhir.
"Ternyata adik-adik (mahasiswa Papua) masih belum juga meninggalkan rumah, dan malam itu dipakai nonton bareng segala yang melibatkan banyak orang," kata Pejabat sementara Kasubag humas Polres Malang kota, Ipda Seruni Marhaeni, kepada BBC News Indonesia, Senin (02/07) petang.
Apa komentar mahasiswa Papua?
Tetapi seorang perwakilan mahasiswa Papua di kota Malang menganggap tuduhan tersebut sengaja diciptakan untuk menjelekkan mahasiswa Papua yang mendukung aspirasi kemerdekaan.
Lagi pula, menurut juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (APM) di Malang, Yohanes Geai, pihaknya sudah menyiapkan uang muka untuk memperpanjang kontrakan rumah di kawasan Dinoyo itu.
Dia juga mempertanyakan tuduhan bahwa mereka tidak dapat berhubungan baik dengan para tetangga selama ini.
"Kalau warga tidak suka, saya tidak mungkin tinggal selama sembilan tahun (di wilayah Dinoyo)," kata Geai.
Mereka mengakui acara itu membahas aspirasi kemerdekaan Papua melalui diskusi dan pemutaran film, dan menurutnya, acara seperti itu tidak pernah dipertanyakan oleh warga sekitar.
"Ini kajian ilmiah, dan selama sembilan tahun kami tinggal di sini tidak pernah kita minta izin. Baru ada kejadian (dibubarkan) hanya kemarin," katanya.
Menggunakan 'ormas dan preman'
Karena itulah, dia menganggap tuduhan bahwa pembubaran dilatari ulah mahasiswa Papua tersebut sengaja diciptakan untuk menjelekkan mahasiswa Papua yang mendukung aspirasi kemerdekaan.
"Intinya bukan soal kontrakan, tapi diskusinya. Ada intervensi aparat. Cuma yang digunakan ormas dan preman-preman itu," tandas Geai.
Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri, membantah tuduhan bahwa pihak kepolisian berada di balik acara pembubaran tersebut.
"Kalau (pembubaran) dari kami tidak ada. Penolakan murni dari warga (kota Malang)," tegas Asfuri menjawab pertanyaan Eko Widianto, wartawan di Malang untuk BBC News Indonesia, Senin (02/07).
'Diskusi soal Papua jangan ditutup-tutupi'
Walaupun bentuknya diskusi dan pemutaran film, aktivitas yang dianggap berbau separatisme kerap dihadapkan pada aparat keamanan.
Dan pembubaran acara diskusi ini merupakan salah dari tindakan serupa di kota-kota lain sebelumnya.
Itulah sebabnya, rentetan pembubaran acara diskusi seperti ini menyulut protes organisasi Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau ULMWP, salah-satu organisasi yang menyokong aspirasi kemerdekaan Papua.
Salah-seorang pimpinannya, Markus Haluk, menganggap pembubaran acara diskusi ini membuktikan bahwa pemerintah pusat tidak berubah dalam melihat persoalan Papua.
"Kalau versi UU Indonesia, kan menjamin kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat. Apa salahnya? " kata Markus Haluk saat dihubungi BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Senin (02/07).
"Masa orang Papua mau berkumpul, enggak bisa?" tambahnya.
Menurutnya, pembubaran acara diskusi dan pemutaran film di Malang, menunjukkan pemerintahan Joko Widodo tidak konsisten dengan kebijakan untuk menyelesaikan persoalan di Papua secara "dari hati ke hati".
"Lain di mulut, lain di hati, lain di lapangan," kata Haluk.
Seharusnya, lanjutnya, masyarakat diberi kebebasan untuk membahas berbagai persoalan di Indonesia, termasuk aspirasi kemerdekaan di Papua.
"Kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, termasuk diskusi soal Papua, mestinya dibuka, jangan ditutup-tutupi," ujarnya.
Apa komentar pemerintah pusat?
Tuduhan yang dilontarkan Markus Haluk ditolak oleh tenaga ahli bidang komunikasi di Kantor staf kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo telah meletakkan masalah Papua sebagai prioritas utama yang harus diselesaikan, termasuk dalam menangani persoalan HAM, keamanan dan politik di Papua.
"Yang Anda kemukakan, itu akan beliau (Presiden Joko Widodo) akan lakukan dengan membangun interpersonal communication yang bagus," kata Ali Mochtar kepada BBC News Indonesia, Senin (02/07).
"Komunikasi antar budaya, komunikasi dari hati ke hati, seperti beliau maksudkan," imbuhnya.
Tentu saja, sambung Ali Mochtar, menyelesaikan dan memperhatikan persoalan di Papua tidak mudah dilakukan. "Tidak segampang membalik telapak tangan."
Alasannya, persoalan di provinsi itu bukan baru terjadi dalam periode kepemimpinan Joko Widodo.
"Persoalan ini bukan berlangsung baru seminggu atau dua minggu lalu, tapi berpuluh tahun yang lalu. Bagaimana mungkin menyelesaikan selama masa kepemimpinan Joko Wodo dalam dua atau tiga tahun belakangan," katanya.
Karena itulah, Ali Mochtar meminta semua pihak melihat upaya penyelesaian di Papua yang ditempuh pemerintah secara "obyektif dan rasional".
Semenjak terpilih menjadi presiden, Presiden Joko Widodo telah meletakkan masalah Papua sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunannya.
Hal itu kemudian ditandai dengan pembebasan sejumlah tahanan politik, upaya penyelesaian masalah keamanan dengan menghormati HAM, hingga menggiatkan pembangunan proyek infrastruktur sampai di wilayah pedalaman provinsi tersebut.
Pendekatan tersebut dianggap sejumlah kalangan juga ditujukan untuk melunakkan tuntutan pemisahan diri Papua dari Indonesia yang sejauh ini terus diteriakkan oleh sebagian warganya.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44682734
Jokowi sibuk mendukung kemerdekaan negara lain (palestine), sementara di Indonesia ada masyarakat yang ingin menentukan nasib sendiri terus dihalang-halangi, lalu ada negara-negara Eropa dan Pasifik dukung referendum OAP (orang asli papua), dkatain ikut campur.
Padahal konstitusi jelas mengatakan "kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan..."
Atau masih pada belaga gak tahu bahwa selama ini Papua dipaksakan untuk jadi bagian dari Indonesia? bukti penjajahan paling nyata adalah kontrak karya freeport yg disahkan sebelum Papua terpaksa gabung jdi bagian dari Indonesia tahun 69.
Diubah oleh gagakngondek 05-07-2018 07:08
0
2.3K
Kutip
45
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan