GludinAvatar border
TS
Gludin
Setelah Kuliah Mau Jadi Apa?


Tidak terasa buat agan-agan yang dulunya masih SMA, mungkin tahun ini ada yang memiliki kesempatan kuliah, sebentar lagi akan merasakannya.

Jika agan berada di masa ini (akan kuliah), pasti ada pertanyaan khas yang di tujukan pada agan biasanya berkutat di kenapa pilih jurusan ini, apa motivasinya, pilihan sendiri atau paksaan orang tua? Atau bahkan masuk jurusan tersebut karena "kecelakaan"? Tidak masuk jurusan utama, namun masuk di jurusan kedua atau ketiga dan seterusnya.
Paling mentok jawaban yang menghibur diri ga jauh-jauh seperti ini:
"Daripada nganggur dan males kerja, selagi orang tua mampu atau diri sendiri punya biaya untuk kuliah, mending kuliah di jurusan "kecelakaan" tersebut."

Pertanyaan yang paling berbobot kira-kira setelah lulus di bangku kuliah akan menjadi apa. Dan biasanya akan dilanjutkan pertanyaan dengan intonasi kurang menarik. "Ah, yakin mau jadi anu (profesi yang sesuai dengan jurusan agan)?"
Atau berdasarkan pengalaman ane di masa itu, "Yakin lu mau jadi psikolog?"
Dan dari situ berbagai nyinyiran orang-orang sekitar terus bermunculan tanpa henti.


Tujuan ane membuat thread ini bukan untuk menyebarkan threat, skeptis, ataupun virus pesimisme dikalangan agan-agan yang calon mahasiswa, tapi sebaliknya. Agar agan semangat dan sukses dalam belajar. Dan juga ane sedikit curhat seputar kegundahan hati ketika ada orang yang bertanya seputar profesi dan penjelasan singkat bagi mereka yang meragukan masa depan setelah menjadi sarjana psikologi, atau mereka yang ingin lebih tahu nasib psikologi.

Idealnya, keberadaan seseorang di lingkungan pendidikan adalah menuntut ilmu, dan belajar. Menambah ilmu pengetahuan, lalu menciptakan perubahan. Namun seiring berkembangnya zaman, muncul tolak ukur baru yang bernama materialisme. Segala sesuatu diperhitungkan atas dasar materi dan untung rugi. Dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Seringkali pendidikan dikaitkan dengan pekerjaan dan profesi di masa yang akan datang. Muncul sebuah kesan jika pendidikan menjadi sangat materialis karena selalu ditarik ke ranah dunia kerja. Satu sisi terlihat naif, tapi di sisi lain menjadi realistik; tentang ijasah dan pekerjaan.

Akibat sederhananya, saat ini ada pembagian jurusan tentang prospek tidaknya di masa setelah lulus dari bangku kuliah. Lihat saja jurusan management, akuntansi, teknik, dan kedokteran selalu menjadi jurusan terfavorit. Tidak pernah sepi dari peminat. Sedangkan jurusan filsafat dan keagamaan semakin samar memudar, semakin tua dan ringkih. Bahkan dengan iming-iming beasiswa pun jarang yang berminat.



Lalu agan kuliah di jurusan yang agan pilih mau jadi apa?
Atau secara khusus, agan yang ambil kuliah ilmu psikologi mau jadi apa?
Dalam kasus psikologi, terdapat satu profesi khusus bernama psikolog. Dengan syarat, agan lulus S1 Sarjana Psikologi, dan mengambil S2 Profesi Psikologi.
Tapi, jika profesi psikologi harus diukur dengan penghasilan yang di dapatkan, untuk Indonesia profesi ini masih terlalu menakutkan.

Meski sama-sama mengobati sebagaimana dokter, tapi budaya dan masyarakat di Indonesia lebih mempercayai pengobatan yang sifatnya tampak dan jelas seperti injeksi dan lainnya untuk penderita penyakit tubuh. Sedangkan psikolog, sifatnya lebih kearah komprehensif, dan psiko-sosial sehingga tidak cukup sekali datang. Mungkin bisa puluhan kali datang dengan tanpa obat dan garansi kesembuhan. Efeknya, seorang klien harus merogok kocek dalam-dalam.

Persoalan duit memang bikin sakit kepala sehingga memunculkan kesan hanya orang-orang berduit yang bisa datang ke psikolog. Belum lagi dikaitkan dengan asumsi masyarakat kepada psikolog. Jika ada orang yang datang ke psikolog langsung di anggap gila, ga waras, dan sebagainya. Padahal tidak seperti itu adanya.



Jika tidak mau menjadi psikolog, sarjana psikologi dapat bekerja di perusahaan di bagian HR (Human Resource), Personalia, dan sebagainya. Buat agan yang bekerja di divisi ini, paling yang di gunain cuma alat-alat tes psikologis umum. Ga jauh dari tes koran, entah itu Kraeplin, atau Pauli ditambah papikostik.
Karena calon karyawan yang selesai mengerjakan tes diatas pastilah capek dan mumet, akhirnya di kasih tes yang menghibur seperti tes Grafis; HTP, DAP, DAT, Wartegg. Itu juga ga sering-sering banget di gunain. Yang paling di pake soal wawancara, mentok juga di BEI (selama ane kuliah, ngebahas metode wawancara ini juga cuma sekali pertemuan dalam mata kuliah PIO). Padahal selama kuliah psikologi hal seperti itu paling cuma 3 semester (1,5 tahun) ilmu psikologi lain tidak di gunakan. Kurang lebih hampir 50% ilmu yang kita dapat selama perkuliahan menguap gitu aja.



Kemudian bekerja di dunia pendidikan bisa menjadi guru BK. Jujur aja, ane ngerasa ga fair dengan orang-orang yang belajar secara khusus bidang ini. Terkesan mengambil jatah dengan orang yang mengambil kuliah di ilmu pendidikan konseling. Memang, di psikologi sendiri mempelajari tentang Konseling. Pengalaman ane, itu cuma terjadi sekali dan bobotnya 2 SKS. Pastilah beda antara orang yang belajar secara khusus di bidang tersebut selama 4 tahun (jika kuliahnya lancar tanpa drama kehidupan) dengan orang yang belajar hanya kulit luarnya saja.

Kira-kira jawaban seperti itu yang bisa ane berikan kepada orang-orang yang kuliah di jurusan Psikologi. Jika kuliah di kaitkan dunia pekerjaan bener-bener berasa horornya. Jangankan jurusan dengan masa depan samar. Jurusan dengan konon yang lebih menjamin pun, lebih ada saja yang menganggur.

Jujur di dunia kerja, calon karyawan yang minim pengalaman ketika melamar, kebanyakan juga di skip. Di dunia kerja yang di lihat pertama adalah pengalaman yang sesuai dengan penempatan. Kejadian screening macem ini ga lebih dari satu menit membaca resume, cv calon karyawan. Bisa lebih jika calon karyawan memiliki sesuatu yang menarik.

Toh juga perusahaan cenderung lebih seneng punya calon karyawan yang memiliki pengalaman. Sehingga bisa langsung di pake di dunia kerja dibandingkan harus ngeluarin duit lagi untuk training ataupun development.
Ujung-ujungnya para fresh graduate sarjana S1 yang minim pengalaman dapet pekerjaan dengan penghasilan ga jauh-jauh dari UMR setelah kena potongan ini itu.



Adanya kenyataan ini merupakan waktu bagi mahasiswa secara khusus, dan pelajar secara umum untuk kembali meluruskan niat.
Tugas utama yang harus dilakukan adalah belajar, meneliti, dan mengabdi. Sah-sah saja menentukan tujuan untuk menjadi apa dan bekerja dimana sehingga menjadi pelajar yang dapat dipertanggung jawabkan secara kualitas. Karena akan memunculkan peluang dan kesempatan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Masa depan memang harus dipikirkan secara matang. Karena tujuan akan menentukan usaha yang akan dilakukan.
Tapi bukankah sekolah sejatinya tidak untuk mencari kerja? Bukankah tujuan pendidikan tidak untuk mencari uang?

Logika sederhananya, jika agan-agan yang sedang atau akan kuliah hanya untuk memiliki
Pekerjaan dan uang, mengapa bersusah payah melalui jalan yang belum menjanjikan?
Sejauh yang ane tahu, tidak ada universitas menjamin para lulusannya bekerja di perusahaan gede, dengan gaji dua digit, dan menempati posisi "wah" di sebuah perusahaan.
Kuliah itu mahal, hitung saja berapa biaya yang dikeluarkan untuk kuliah. Entah PTN atau PTS. Coba saja agan-agan mulai hitung-hitungan berapa yang harus di bayar. Mungkin bisa ratusan juta untuk sekedar dapet sertifikat S1. (mulai dari biaya masuk: uang gedung dan sebagainya, SPP yang harus di bayar tiap semester, biaya yang tidak terduga entah praktikum, beli buku, dan sebagainya. Buat yang ngekos juga ada biayanya, belum lagi urusan perut yang harus diisi tiap hari).

Persoalan kerja memang tergantung dari kualitas yang dimiliki seorang individu. Karena bekerja bukan hanya soal ijasah dan nilai tinggi. Belum lagi jika ijasah yang didapat berasal dari colongan. Memperluas jaringan (link), meningkatkan pengalaman, mengembangkan pengetahuan di luar kampus emang ga boleh di lupakan. Jadi, selama kuliah jangan sungkan melakukan hal-hal tersebut demi memperkaya CV agan nantinya.

Namun yang terpenting adalah sejauh mana keilmuan yang agan miliki bisa bermanfaat untuk orang lain. Jangan pula mengukur kesuksesan seseorang dari apa yang di dapat. Menurut ane, ukuran kesuksesan seseorang adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan hanya dapat di rasakan pribadi masing-masing individu.

Untuk agan yang sedang atau akan kuliah di jurusan psikologi secara khusus, dan mahasiswa jurusan lain secara umum yang sedang bingung kedepannya ingin menjadi apa, masih bisa bermanfaat untuk orang lain.
Terlebih agan-agan yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi, kita (agan termasuk ane) selalu bicara tentang kedinamikaan manusia. Selalu mengagung-agungkan "Memanusiakan Manusia." Pada titik inilah kita, (orang-orang yang berpendidikan psikologi) sejatinya adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain. Apalagi, "Manusia yang terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain."

Sebagai penutup, mendapat pekerjaan adalah bonus dari usaha dan kerja keras yang telah kita lakukan. Tentu dengan tanpa melupakan merencanakan masa depan yang kita inginkan.

Gimana? Apa agan-agan masih bingung kuliah untuk apa? Atau masih bingung ketika agan nanti setelah lulus menjadi apa?

Yuk, biarkan ane tahu pemikiran agan melalui komentar agan di bawah ya emoticon-Big Grin
Diubah oleh Gludin 08-04-2022 01:31
Indriaandrian
trifatoyah
annirobiah
annirobiah dan 3 lainnya memberi reputasi
2
28.7K
345
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan