q4billAvatar border
TS
q4bill
Dolar Rp 14.030, IHSG Tinggalkan Level 5.800
Dolar Rp 14.030, IHSG Tinggalkan Level 5.800
MARKET - Anthony Kevin, CNBC Indonesia 08 May 2018 10:42


Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus-menerus terpuruk sejak awal pembukaan perdagangan. Kini, IHSG sudah anjlok 1,66% dan resmi meninggalkan level 5.800. Saat ini, IHSG bertengger di level 5.787,57.

Terus melemahnya rupiah membuat IHSG terus-menerus memperlebar kekalahannya. Sampai dengan berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,27% ke level Rp 14.033/dolar AS. Sekitar satu jam yang lalu, rupiah masih berada di level Rp 14.030/dolar AS.

Dolar AS memang kembali berada dalam posisi yang kuat: indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya menguat sebesar 0,04% ke level 92,78.

Penguatan dolar AS dipicu oleh potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve sebanyak 4 kali yang masih terbuka lebar, pasca angka pengangguran AS per akhir April tercatat turun ke level terendah dalam hampir 18 tahun, yaitu di level 3,9%. Kemudian, ada juga pernyataan anggota FOMC Raphael Bostic yang membuat investor semakin panik.

"Saya cukup yakin dengan (kenaikan suku bunga acuan) tiga kali untuk saat ini. Namun saya terbuka jika situasi mengarah ke tujuan lain. Apakah itu dua kali, atau empat kali, tergantung data yang ada," ungkap Bostic, dikutip dari Reuters. 

Ditambah lagi, lanjut Bostic, perekonomian AS cenderung membaik. Ini menyebabkan tekanan inflasi akan meningkat pada bulan-bulan mendatang sehingga perlu diredam dengan kenaikan suku bunga. 

"Jika Anda lihat, ekonomi bergerak naik. Ada banyak stimulus, seperti pemotongan tarif pajak. Jadi, potensi percepatan laju ekonomi (upside potential) masih ada," tutur Bostic. 

Perkataan Bostic yang sangat hawkish ini menandakan The Fed siap untuk menaikkan dosis kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali pada 2018. Akibatnya, dolar AS mendapat suntikan doping yang luar biasa sehingga menguat terhadap mata uang dunia lainnya.

Dari dalam negeri, investor nampak masih 'menghukum' rupiah pasca data pertumbuhan ekonomi kuartal-I yang begitu mengecewakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%.

Merespon pelemahan rupiah, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 173,86 miliar di seluruh pasar. Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) menjadi saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing, yakni senilai Rp 86,86 miliar.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180508103920-17-14059/dolar-rp-14030-ihsg-tinggalkan-level-5800

Ini Penyebab Dolar AS Tembus Rp 14.000 Versi BI
MARKET - Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia 08 May 2018 10:17


Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menilai permintaan dolar yang sangat tinggi mengakibatkan rupiah terus melemah. BI telah melakukan intervensi ganda atau dual intervention di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk terus menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah, menjelaskan permintaan dolar tinggi ini karena impor yang deras dan adanya repatriasi. "Tapi terutama sebagai respons pasar atas data PDB dan harga minyak. Semua mata uang negara Asia tertekan," ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia, Selasa (8/5/2018).

BI terus menjaga nilai tukar rupiah agar tetap sesuai fundamentalnya. "Ini ada genuine demand. Sudah dilakukan dual intervention di pasar valas dan SBN," ungkap Nanang.

Sebagai informasi, nilai tukar rupiah bergerak melemah pada perdagangan hari ini. Dolar AS menguat dan berhasil menembus Rp 14.000.

Pada Selasa (8/5/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot berada di Rp 13.995. Tidak berubah dibandingkan penutupan hari sebelumnya.

Namun tidak lama setelah pembukaan, dolar AS langsung menguat. Pada Pukul 08:30 WIB, dolar AS pun mencapai Rp 14.015 atau menguat 0,14%. Ini merupakan posisi terkuat sejak akhir 2015.

Pada pukul 10.00 WIB dolar masih menguat hingga Rp 14.037. Melemah 0,30% dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, mengungkapkan depresiasi nilai tukar rupiah masih cukup wajar, jika dibandingkan dengan pelemahan yang terjadi pada mata uang kawasan. Level rupiah yang sebenarnya, bukan berada di level tersebut.

"Depresiasi rupiah masih wajar sama dengan mata uang regional, tidak pada levelnya yang kebetulan sudah menembus batas psikologis Rp 14.000," kata Dody kepada CNBC Indonesia, Senin (7/5/2018).

Berdasarkan data otoritas moneter per hari ini, Dody mengatakan, depresiasi rupiah hanya sekitar 0,40%, atau jauh lebih baik dibandingkan depresiasi pada mata uang negara-negara kawasan seperti India Rupee, Afrika Selatan Zaar, Rusia Rubel, dan Turki Lira.

BI, sambung Dody, pun akan mengedepankan empat langkah yang akan ditempuh untuk menjaga nilai tukar rupiah. Antara lain, berada di pasar, memantau situasi global, mempersiapkan second line of defense, serta tak ragu menyesuaikan suku bunga jika rupiah terus tertekan.

"BI terus melakukan upaya stabilisasi rupiah. BI terus lakukan hal tersebut dengan konsisten meski kita tidak harus setiap saat info langkah kita. Kita perlu jaga confidence," tegasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180508100728-17-14054/ini-penyebab-dolar-as-tembus-rp-14000-versi-bi

Fuad Bawazier: 
Kecenderungan Jangka Panjangnya, Nilai Rupiah Pasti Akan Melemah
SENIN, 30 APRIL 2018 , 10:12:00 WIB


RMOL. Fuad Bawazier memang cuma sebentar menempati kursi Menteri Keuangan di era Orde Baru. Namun pengalamannya sebagai Menkeu boleh dibilangkhas. Sebab saat menjabat Menkeu pada 16 Maret 1998-21 Mei 1998, saat itu krisis ekonomi di Indonesia sedang hebat-hebatnya. Nilai tukar ru­piah terhadap dolar AS saat itu anjlok demikian dalam.

Kini nilai tukar rupiah sedang terpuruk. Pada akhir pekan bah­kan sempat menyentuh level Rp 14.000 per dolar AS. Gubernur BI Agus Martowardojo menya­takan, saat ini nilai rupiah sudah di bawah nilai wajar atau under­valued. Menurut dia, pelema­han itu terjadi karena berbagai faktor, mulai dari ketidakpas­tian ekonomi global, perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS), dan adanya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun ini. 

Kepada Rakyat Merdeka Fuad membagikan pendangan sekali­gus sarannya kepada pemerintah terkait pelemahan rupiah yang terjadi saat ini.

Bagaimana Anda melihat sikap pemerintah dalam menangani fenomena pelemahan rupiah yang terjadi baru-baru ini?
Soal rupiah itu pemerintah sudah punya jurus untuk jawab. Kalau lagi melemah selalu bi­lang faktor eksternal. Kalau lagi menguat bilang itu berkat kebijakan pemerintah. Itu sudah standar. Jadi (persoalan) ekonomi, tapi dijawabnya politik. Hal itu dilakukan untuk menjaga image-nya tetap bagus, untuk menunjukkan kalau ekonomi Indonesia itu bagus. Jadi ka­lau lagi menguat bilang ini karena kebijakan pemerintah berjalan dengan baik, dan efek­tif. Padahal paket-paket kebi­jakan saja banyak yang masuk keranjang sampah, enggak ada yang jalan. Contohnya izin saja kan enggak ada perubahan. Mahal izin-izin itu kan. Padahal Darmin Nasution pernah bilang, tiga jam...enam jam izin beres. Nyatanya enggak ada yang jalan tuh. 

Lalu kalau menurut Anda, apa persoalan utama dari kondisi pelemahan nilai tukar rupiah ini?
Jadi memang banyak faktor yang tidak mendukung. Satu faktor neraca perdagangan kita yang memang berat. Neraca kita itu sering defisit. Misalnya ekspor yang tiga bulan berturut-turut turun, yaitu Desember, Januari, dan Februari. Kemudian Maret surplus tetapi kecil. Tiga bulan yang turun berturut-turut itu defisit sampai 1,1 miliar dolar AS. Berarti itu kan mengurangi cadangan, karena dapatnya cuma sedikit jika dibandingkan den­gan hasil impornya. 

Jadi industri manufaktur kita yang pada waktu Orde Baru mencapai 40 persen, sekarang di bawah 20 persen. Jadi menyusut. Padahal andalan ekspor kita dari manufaktur. Ekspor andalan dulu ada, kalau sekarang kita belum ada ekspor andalan lagi. Sekarang paling kalau ekspor cuma komoditas, tambang digali dari tanah, kemudian batu bara dijual. Kalau dulu pakai manu­faktur kan.

Manufaktur itu dulu menyumbang 30 persen dari PDB (Produk Domestik Brutto) kita. Sekarang di bawah 20 persen, makanya berat. Pertumbuhannya juga hanya 5 persen, enggak cukup untuk menyerap tenaga kerja setiap tahunnya. Apalagi tingkat pertumbuhan itu banyak yang karena kapital intensif. Jadi jelas pertumbuhannya tidak bisa me­nyerap sebanyak yang dulu. Kita butuh pertumbuhan sebanyak 8 persen, untuk bisa seimbang dengan jumlah pengangguran. Karena itu meski mata uang lain juga menurun, tapi tidak setajam rupiah.

Berarti anjloknya nilai rupiahyang terjadi saat ini karena neraca perdagangan Indonesia sedang negatif dong?
Iya, negatif. Tambah satu lagi, impor kita itu sekarang kan lagi tinggi. Kalau dulu pemerintah memang betul, impor tinggi itu karena naiknya bahan baku yang akan diproses untuk ekspor. Jadi memang ada impor barang-barang modal. Nah, alasan itu enggak bisa dipakai lagi sama pemerintah sekarang. Alasan itu gombal, data BPS (Badan Pusat Statistik) enggak ngomong begitu.

Lho kenapa enggak bisa?
Sekarang itu tinggi karena barang konsumsi. Sekarang kan inflasi sudah bagus ya. Tapi sebentar lagi akan tertekan, karena kita kan banyak konsumsi barang impor, sementara dolar menguat, sementara rupiah melorot. Dengan begitu harg­anya akan mahal. Harga barang impor sebentar lagi bakal naik nih di pasaran, dan inflasi akan terpangaruh. Jadi pemerintah pakai lagu lama untuk sekarang enggak cocok. Kalau dulu betul. Toh dulu juga tingginya impor enggak pernah lebih tinggi dari ekspor. Itu pun impornya barang-barang modal dan bahan baku ekspor, bukan barang kon­sumsi seperti sekarang.

Sekarang Indonesia sedang mengalami tahun politik. Kalau menurut Anda hal itu berpengaruh enggak sih?
Iya, makanya sekarang orang akan berpikir-pikir kalau mau berinvestasi. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung saja itu misalnya. Banyak investor dari Cina yang berhenti untuk menanamkan modalnya. Dia takut juga, apakah Jokowi itu akan langgeng, dia enggak ya­kin Jokowi akan bertahan lagi. Jadi barang-barang investasi ke Indonesia itu akan berhenti, karena kalau nanti ada peruba­han pemerintahan berarti kan ada perubahan policy, jadi pada nahan.

Berarti kalau tahun politik sudah selesai, kondisi rupiah bisa jadi akan membaik lagi dong?
Belum tentu berpengaruh kalau enggak ada policy baru. Karena paket kebijakan pemer­intah kemarin itu banyak yang nyebur laut semuanya, 15 paket itu nyebur laut semuanya itu. Karena memang enggak efektif, cuma di atas kertas. Jadi seka­rang dia (pemerintah) enggak berani mengeluarkan paket lagi, yang ada malah yang kontrover­sial, soal tenaga kerja asing.

Tenaga kerja asing itu yang dipersoalkan adalah karena yang masuk itu yang bisa dikerjakan orang kita. Orang kita banyak yang nganggur kok. 

Tenaga kerja kasar harusnya jangan impor, itu satu. Kedua, mereka banyak yang datang pakai visa turis kok dibiarkan. Enggak sportiflah. Saya eng­gak yakin benar-benar ditindak itu. Itu kan juga menyebabkan banyak pengangguran. Jadi pe­merintah jangan terlalu banyak membela diri, orang-orang kritik dimarahi.

Menurut anda sampai ka­pan pelemahan rupiah ini akan terjadi?

Menurut saya sepanjang tahun ini boleh saja naik-turun, tapi kecenderungan jangka pan­jangnya pasti akan melemah. Karena ancamannya banyak. Selain tadi yang saya bilang, ada juga ancaman dolar yang akan menguat, karena Pemerintah AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun ini. Itu kan sudah diumumkan. Nilai tukar yang hampir menyentuh Rp 14.000 itu sangat memprihatinkan, karena itu akan mendorong inflasi da­lam negeri.

Bisa diceritakan perbedaan­nya kondisi sekarang dengan jaman Anda dulu?
Dulu pemerintah itu mem­punyai andalan untuk ekspor. Sehingga selama pemerintah Orde Baru dan setelahnya ek­spor kita itu selalu surplus. Artinya neraca perdagangannya surplus, karena ekspor itu lebih besar dari impor. Dan surplusnya itu jumlahnya signifikan selama Orde Baru. 

Kalau sekarang kan gantian, setelah surplus, lalu defisit, setelah itu surplus lagi begitu terus. Cadangan dolar kita yang ada di BI itu kan dari uang utang, sama orang yang berspekulasi (hot money). Dia investasinya minim sekali.

Lalu apa yang harus dilaku­kan BI dan pemerintah?

BI kan cuma mengelola uang negara saja, yang harus bertindak adalah pemerintah. Pemerintah harus punya policy yang mampu menciptakan produk-produk unggulan untuk ekspor. Dulu kan banyak unggulan untuk ekspor, seperti kayu, tekstil, dan lain-lain. Itu pun sudah pada hil­ang, kayu hilang, tekstil hilang, enggak punya produk unggulan untuk ekspor. Jadi harus dibuat lagi dong produknya.

Kemudian impor barang-barang konsumsi itu sudah harus disetop. Masa garam sekarang impor. Dulu mana ada garam impor? Sekarang kan semuanya impor, bahkan bawang kadang juga impor. Jadi pemerintah juga harus melakukan langkah yang riil, jangan hanya mendebat saja. Semua orang yang mengkritik dimarahi, jangan.

http://rmol.co/read/2018/04/30/337741/Fuad-Bawazier:-Kecenderungan-Jangka-Panjangnya,-Nilai-Rupiah-Pasti-Akan-Melemah-

-------------------------------------

Tanda-tana apa ini?

emoticon-Takut


0
1.5K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan