AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Pesona Permata Fantasi


Ah, andai saja Kau masih bisa memberiku setitik harapan. Barang sesuap nasi setiap hari. Tentu Aku tak punya niat untuk beranjak dari sini. Di atas pundakmu Aku tumbuh, besar dan berkembang hingga kini. Sudah seharusnya Aku mengabdi dan berbakti padamu, layaknya terhadap orangtuaku, hingga jasadku tenggelam dalam ragamu. Tapi apa yang Kau berikan, tidak sesuai dengan apa yang Kuharapkan.




Bebatuanmu adalah magnet alam yang begitu kuat, menarik semua orang yang ada di sekitarmu, maupun mereka yang hanya mendengar tentangmu. Namamu bak mantra sihir yang memanggil setiap orang untuk mendatangimu. Mobil-mobil mewah berseliweran tiap hari. Tiada henti lewat di atas punggungmu, meskipun penuh lumpur dan daki. Kerlingan matamu selalu membuat orang yang memandangnya tergila-gila. Namun bagiku, Kau hanyalah seorang bidadari yang hanya bisa kukagumi, kutatap, dan kusentuh sesaat, tanpa pernah bisa kumiliki.




Aku marah, cemburu, iri bahkan dengki. Mengapa Aku yang sejak dulu ada di sini, jauh sebelum Kau dikenal banyak orang, yang senantiasa merawatmu, diperlakukan bak anak tiri? Kau selalu menghadiahi mereka yang datang dengan senyummu yang terindah sebagai kenangan, sementara Aku senantiasa Kau beri airmata?

Sudah puluhan kali Aku merajuk. Telah ratusan kali Aku menghiba. Namun Kau senantiasa menghiburku, “Sabarlah! Jika tiba saatnya, Aku pasti memberimu sesuatu yang nilainya melebihi dari semua yang pernah kuserahkan pada orang lain.”

Aku selalu terpedaya dengan bujukanmu. Aku bertahan. Kucukupkan diriku dengan permen-permen kecil yang Kau berikan setiap kali Aku ngambek. Kalau bukan karena harapan, tentu sejak awal Aku sudah meninggalkanmu.

Namun hingga sekarang Kau belum juga menepati janji. Bahkan saat Ayahku Kau telan hidup-hidup, Kau tetap tak peduli. Beban hidup telah menumpuk di pundakku. Untuk membeli sebatang rokok termurah pun, Aku harus membuat janji. Mereka percaya, sebab perjanjian itu kutulis dengan tinta dari tetesan keringat dengan cap jempol darah yang selalu mereka saksikan dari kehidupanku sehari-hari.

Usiaku sekarang sudah hampir dua kali lipat dari batas minimal yang diizinkan untuk menikah. Tapi bagaimana mungkin ada perempuan yang mau ikut menanggung derita raga dan jiwaku ini. Karena itu, dengan alasan apalagi Aku harus tetap bersamamu? Dengan hujjah apalagi Kau bisa menahanku, sedangkan kini pesonamu tak lagi menawan. Wajahmu tak lagi mulus. Kusut dan keriput. Penuh dengan lobang bekas jerawat yang disedot. Pekarangan rumahmu telah dipenuhi kubangan lumpur bercampur limbah kotoranmu sendiri. Mereka yang biasanya rutin mengunjungimu pun, satu persatu telah pergi. Maka apakah Aku yang harus mengurus kerentaanmu, setelah kegadisanmu lumat dinikmati orang lain?


Quote:


Aku tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi padamu. Terlalu banyak harapan yang telah Kau berikan. Tak sedikit pengorbanan yang telah kulakukan. Tak terhitung pula penderitaan yang Kau timpakan. Semuanya hanya mimpi belaka. Lebih baik Aku pergi, entah ke mana, sekalipun seperti yang Kau katakan, “tak ada yang bisa menjamin hidupku di sana”. Setidaknya Aku bekerja tidak di bawah iming-iming janji. Aku tidak akan merana jika tidak mendapatkannya, karena kekecawaan itu hanya lahir dari hati yang berharap. Biarlah Aku makan hanya sekedar untuk menguatkan tulang, yang penting bukan dari hasil ngutang.

Jika dalam sejarah perjuangan, yang sering terdengar adalah rakyat pribumi yang mengkhianati tanah kelahirannya, maka bagiku Kaulah kampung halaman yang mengkhianati warganya sendiri. Sekalipun Aku tinggal di lingkunganmu yang bertabur mutiara, Aku tetaplah sebutir debu jalanan. Permata yang terendap dalam perutmu hanya Kau berikan kepada mereka yang mampu meminangmu dengan mahar terbesar. Rakyat biasa cuma Kau jadikan sebagai buruh lepas dengan gaji harian yang jumlahnya hanya cukup buat makan sehari. Terkecuali jika Kau menelorkan “Intan Trisakti” atau semisal “Putri Malu”, baru mereka bisa sedikit berkecukupan untuk beberapa bulan. Dan, itulah harapan yang selama ini Kau gadang-gadangkan, sehingga membuatku masih bisa bertahan.

***

Tiba-tiba langkahku terhenti. Empat buah mobil truk besar, secara beriringan akan memasuki pintu gerbang “Selamat Datang di Objek Wisata Pendulangan Intan”. Gairahku seketika pulih. Hatiku begitu girang, seolah-olah menyambut kedatangan seorang ayah yang membawa oleh-oleh. Di bak belakang mobil itu, kulihat benda-benda yang sudah kukenal fungsinya.

“Aku bisa ikut bekerja dengan mereka,” gumamku berharap. Lalu kuberanikan diri meminang jabatan, sesuai dengan skill yang kumiliki. Akhirnya, statusku resmi menjadi keluarga dari PT. Pertambangan itu.


Bagai seekor kerbau, lumpur adalah rumahku. Berkubang di lubang yang berdiamater kurang lebih 2-3 meter dengan kedalaman sekitar 4-6 meter atau lebih tergantung dari perkiraan sang ahli. Lalu membuat terowongan ke samping, bak sebuah goa di dalam tanah. Tak ada rasa ngeri. Tanah bisa saja longsor tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda, dan mengubur hidup-hidup orang yang berada di bawahnya, seperti yang dialami Ayahku setahun yang lalu. Kemilau cahaya intan telah menutup mata para pekerja dari incaran maut yang selalu mengintai dari berbagai sudut.

Kemapanan telah menutupi kekuranganku. Tidak seperti dulu, “Jika tidak lelah, takkan dapat rupiah. Pun banting tulang, belum tentu dapat uang.” Kini, setiap bulan gaji telah menanti. Angkanya sudah pasti. Tidak mengisi absensi pun, upah tetap diberi.

Tapi jangan Kau kira dengan semua itu Aku bahagia. Justru sebaliknya. Batinku semakin tersiksa. Betapa tidak? Di sini Aku diperlakukan bagai sapi perah yang diberi makan enak, agar tubuhku semakin kekar. Hampir tiap hari sebiji intan sebesar kelereng ditemukan, bahkan terkadang oleh tanganku sendiri. Namun tak sedikit pun ada bonus yang mereka berikan. Jika dulu Aku diperlakukan bak anak tiri, sekarang Aku diperankan sebagai istri yang dinikahi secara sirri. Istri-istri yang lain setiap bulan selalu diajak piknik ke luar negeri. Padahal menurut subjektivitas rasaku, Akulah yang berhak untuk itu. Akulah yang paling berat kerjanya, dan paling besar resikonya. Duniaku hanya selebar sekitar tiga meter, tanpa matahari. Akulah seharusnya yang dibawa ke dunia tanpa tepi. Tapi sudah habis harga diriku untuk menghiba, namun mereka tetap tak memberi.



Emosiku telah mencapai titik nadir. Kedengkian telah bermetamorfosis menjadi dendam. Otakku berpikir keras menyusun strategi, dan merangkai jalan lari. Aku tidak akan bahagia dan puas, sebelum berhasil merampas intan yang paling besar, atau puluhan biji yang lebih kecil. Tapi ini bukan hal yang mudah. Setiap selesai bekerja, tubuh karyawan digeladah secara manual dan digital. Sebuah detektor bisa mengetahui jika ada sekecil apapun batu mulia yang disembunyikan di dalam tubuh. Yang menyeramkan sekaligus menjijikkan, jika ada karyawan yang terdeteksi menelan intan, maka selama tiga hari tiga malam akan dikawal. Buang air besar harus ditampung pada wadah yang disediakan. Jika dalam batas waktu itu tetap tidak keluar bersama kotoran, maka terdakwa langsung dibawa ke Rumah Sakit untuk di-USG dan dilakukan pembedahan. Selanjutnya pelaku akan dipidanakan.

Sambil bekerja Aku terus berpikir. Sebuah plastik kecil telah kusiapkan. Puluhan intan sekecil pasir telah kukumpulkan. Sekitar dua bulan berlalu, baru dua butir yang agak besar kutemukan. Namun jalan keluarnya masih belum kudapatkan.

Waktu terus berjalan, hingga isi pundi-pundiku semakin banyak. Simpanan itu tetap kutabung di dalam lubang, hingga Aku menemukan cara untuk membawanya lari.

***
Quote:



Aku merenung. Ucapan ayah ada benarnya. Memasuki areal pertambangan ini, sejauh mata memandang, akan terlihat hamparan air berwarna susu kecoklatan. Terbentang luas dari barat ke timur, dengan sisi selatan yang dibatasi oleh kaki pegunungan meratus nan hijau. Sedangkan di sebelah utara tersusun perumahan penduduk yang sangat jauh dari predikat layak, amat kontras dengan hasil tambang buminya. Jika dilihat dari udara, akan tampak persis sebuah danau yang sangat besar. Yah, hampir tak ada lahan yang tak ada kawahnya. Bekas lubang yang ditinggalkan pelakunya tetap menganga, terkadang digali lagi oleh penambang lainnya. Harapan kemapanan telah membuat mereka lupa akan kehampaan. Kehampaan perut bumi yang bisa berubah menjadi harimau lapar yang akan memangsa siapa saja, terutama yang tinggal di sekelilingnya. Dan jika itu terjadi, maka wilayah ini akan menjadi Legenda Riam Kanan Jilid II di Tanah Banjar.



Quote:

***
Telepon genggam yang selama ini kuanggap tak berguna “di liang kubur” itu, kuselipkan di dalam saku celana. Saat matahari mulai bersinar terik, dengan tangan gemetar kuambil hape. Lalu kupencet nomor yang sudah kuperingatkan agar selalu aktif dan siaga. Begitu terdengar sahutan, “Hello!” langsung kujawab singkat, “Siap!”
Pundi-pundi itu telah kukantongi. Dengan gelisah Aku menunggu, hingga akhirnya terdengar suara riuh di atas sana, bagai sebuah demo yang anarki. Teriakan, hujatan, ancaman dan berbagai bunyi benda yang dipukul keras.

Semua mesin dimatikan. Seluruh kegiatan pertambangan dihentikan. Pimpinan, staf dan karyawan perusahaan berkumpul, termasuk Aku. Kami menghadapi para demonstran dan mendengarkan keluhan serta tuntutan mereka. Akhirnya, tiga orang perwakilan dari warga diterima untuk bernegosiasi. Para karyawan dan masyarakat lainnya dipersilakan pulang.

Aku tak mau tahu apa dan bagaimana hasil perundingan itu. Itu tak penting lagi bagiku. Yang kupikirkan, apa yang harus kulakukan dengan hasil kerja otakku itu. Ke mana Aku harus lari? Berapa yang harus kuberikan untuk teman-temanku? Ah, alangkah bodohnya Aku. Mengapa tidak dibicarakan sejak awal tentang pembagiannya? Berbagai pertanyaan seputar “hasil jarahan” itu memenuhi otakku.



Malam itu Aku terus berpikir hingga tak menyadari bahwa air telah menyentuh lantai. Aku masih belum percaya saat ujung tilam tanpa ranjang yang kurebahi itu terangkat. “Mungkin hanya halusinasi akibat luapan kegembiraanku,” pikirku. Aku baru tersadar setelah terdengar teriakan, “Banjir! Banjir! Bendungan Riam Kanan jebol!” disertai bunyi tiang listrik dipukul bertalu-talu. Aku segera melompat untuk menyelamatkan diri, melupakan segala yang kumiliki. Hingga air bah datang secara bergelombang, menghanyutkan rumah-rumah dan semua yang ada di permukaan bumi. Dan batu impian itu ikut lenyap bersamanya.

*********

Spoiler for Referensi:
Diubah oleh Aboeyy 24-01-2018 11:12
adestiey
anasabila
anasabila dan adestiey memberi reputasi
2
7.3K
69
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan