LaskartungsAvatar border
TS
Laskartungs
AGAMA DAN NEGARA DIMATA MUSLIM INDONESIA
Islam adalah harga mati. Selamanya takkan pernah tergantikan! Lalu, apakah NKRI juga harga mati? Yuk kita lihat pembahasannya.

.:: AGAMA & NEGARA DIMATA MUSLIM INDONESIA ::.

Oleh : Yusuf el-Amien

Di Mesir, pernah suatu ketika dalam sebuah forum, Paus Shenouda III, Paus Gereja Koptik Alexandria, Mesir menyampaikan sebuah adagium (pepatah,peribahasa-red) : “Ad-Dinu Lillah, Wal Wathan Lil-Jami’.” (Agama milik Allah, sedangkan Negara milik semuanya).

Lalu Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi yang kala itu memang duduk di sebelahnya, dengan lugas menimpalinya sembari mengatakan: “Ad-Dinu Lillah, Wal Wathan Lillah.” (Agama itu milik Allah, dan Negara juga milik Allah).

Syaikh Asy-Sya’rawi yang dijuluki “Imam para Dai” itu lantas melanjutkan: “Tidak ada itu negara untuk semua. Apa artinya agama untuk Allah dan Negara untuk semua? Lihat! Negara manapun yang tidak ada agama di dalamnya, kita takkan bangga dengan nasionalismenya. Setiap negara tidak ada agama di dalamnya, mau berbuat apa saya?”



Tema antara Agama dan Negara memang selalu menarik untuk disoroti.

Tapi di sini saya tidak ingin mengangkat polemik yang terjadi antara pengusung dari dua adagium di atas, karena saya lebih tertarik untuk menilik kondisi di dalam negeri sendiri.

Dewasa ini, tampaknya ada beberapa upaya massif yang ingin melabeli sejumlah umat Islam Indonesia sebagai umat yang anti-negara, seakan mereka adalah parasit yang keberadaannya mengancam keutuhan bangsa.

Sebelum itu, perlu diketahui bersama, bahwa Rasulullah sendiri tidak pernah mewariskan ajaran “Benci Negara.”

Bahkan, saat Hijrah meninggalkan Makkah, Rasul pernah berkata: “Sesungguhnya engkau (Makkah) adalah negeri yang paling aku cintai, kalau saja bukan karena pendudukmu yang mengeluarkanku (diusir-red), niscaya aku takkan pernah keluar darimu.” (Diriwayatkan dari ibnu Umar bin Adiy bin Abil Humra, dikutip dari ‘Atiq bin Ghaits al-Biladi)

Tampak jelas di sini bahwa Rasulullah mencintai Makkah sebagai tanah air beliau.

Demikian juga terlihat dari sikap Rasul terhadap para sahabat yang tidak pernah menyuruh mereka untuk menghapus identitas ke-tanah-air-annya.

Lihatlah Salman Al-Farisi, ia tetap dikenal sebagai “Al-Farisi” (orang Persia) dan tidak pernah diganti menjadi “Al-Madani” (orang Madinah) misalkan.

Juga Suhaib bin Sinan, ia familiar dikenal sebagai Suhaib “Al-Rumi” (dari Romawi), Bilal bin Rabbah “Al-Habasyi” (dari Ethiopia) mereka tidak pernah diperintah untuk mengganti kebangsaannya menjadi “Al-Arabi.”

Nasionalisme itu adalah anugerah keragaman. Layaknya bahasa yang kita ucapkan, warna kulit yang kita miliki, itu semua Ketentuan Tuhan yang takkan terhapuskan.

Tapi meskipun demikian, ada beberapa catatan perbedaan antara Agama dan Negara yang patut diketahui. Perbedaan tersebut di antaranya:

PERTAMA: Ber-Negara boleh berpindah-pindah, sedangkan Ber-Agama itu tidak boleh berpindah-pindah.

Kita selaku WNI (Warga Negara Indonesia-red) misalkan, kita bisa pindah ke Eropa, hijrah ke Amerika atau domisili di Afrika. Baik sementara atau selamanya. Bebas, legal dan tidak ada larangan.

Tapi kita sebagai orang Islam, tidak boleh untuk pindah ke agama lain barang sedetik pun. Karena saat pindah agama, berarti statusnya murtad. Wal ‘Iyadzu Billah.

KEDUA: Mengganti Kewarganegaraan itu diperbolehkan, bahkan sebagian negara memperbolehkan “Kewarganegaraan Ganda.”

Sedangkan Beragama, ya hanya satu saja, tidak ada orang selain MUNAFIK yang memiliki Agama Ganda.

Dan juga, mengganti Agama itu adalah perbuatan terlarang bagi setiap pemeluk ajaran agama masing-masing.

KETIGA: Seseorang bisa saja tidak memiliki kewarganegaraan, yang secara hukum disebut dengan “Statelessness” atau: Absennya hubungan pengakuan antara individu dan suatu negara. Di mana, Orang yang tak bernegara secara de jure terkadang merupakan orang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh suatu negara di bawah operasi hukumnya.

Tapi adakah orang yang tidak beragama?

Sekalipun ada orang yang mengaku tidak beragama, sebenarnya itulah agama dirinya, yaitu agama kebebasan yang tak mau terikat kecuali dengan keyakinan hawa nafsunya sendiri.

Dan sekalipun seseorang mengaku tidak ber-Tuhan, tapi sebenarnya dia sedang menuhankan akal, nafsu dan dirinya sendiri. Karena, beragama dan meyakini sesuatu adalah perkara fitrah yang dimiliki setiap manusia.

KEEMPAT: Ber-Negara itu hanya saat hidup saja, sedangkan Ber-Agama itu mulai dari hidup sampai mati.

Segala hal yang berkaitan dengan negara, seperti bayar pajak, bikin KTP, sukseskan Pemilu, dan sebagainya itu hanya terkait dunia. Hingga kita hembuskan napas terakhir, maka berakhir sudah urusan kita dengan Negara.

Tidak demikian dengan Agama, semenjak lahir saja kita sudah di-adzani (bukan dinyanyikan lagu Indonesia Raya), hingga saat meninggal pun kita dibacakan surat Yasin (bukan dibacakan teks UUD 45).

Semua pemeluk agama saat meninggal, ia akan diperlakukan menurut ajaran agama masing-masing, tidak ada pengurusan jenazah dengan menggunakan “Tata-cara Negara” sekalipun ia adalah pahlawan yang meninggal dalam membela negara.

KELIMA: Agama adalah harga Mati, kalau Negara? Nanti kita lihat sendiri.

Islam semenjak dahulu, berabad-abad lamanya, tetap utuh tak tersentuh. Rukun Islam tetap Lima, Rukun Iman tetap Enam, dan Al-Qur`an tetap 114 Surat tak berkurang satu ayat pun.

Islam Harga Mati. Selamanya takkan bisa diganti!

Tapi Negara?

Lihatlah sejarah: Dahulu ada Imperium Romawi dan Persia, dua negara adidaya itu kini telah sirna.

Dulu ada Khilafah, sekarang sudah tinggal sejarah.

Dulu ada Uni Soviet, sekarang sudah runtuh terpecah-pecah.

Dulu tidak ada negara Israel, tapi sekarang sudah mulai lahir.

Dulu Sudan masuk kawasan Mesir, tapi sekarang sudah jadi negara sendiri. Dulu Sudan adalah satu negara, tapi sekarang sudah terpecah dua. Begitu seterusnya…

Lalu apakah NKRI harga mati?

Jawabannya adalah: Lihatlah Timor-Timur, juga Sipadan dan Ligitan, itu adalah bukti terbaru yang kita alami sendiri.

Jadi, “NKRI Harga Mati” itu harus dijadikan semboyan patriotisme. Tapi secara fakta sejarah, tidak ada Negara yang abadi di muka bumi. Ini juga merupakan Ketentuan Tuhan, jadi mengartikannya tak perlu sambil “Bawa Perasaan.”

Maka, sebagaimana kita memperjuangkan Agama, kita juga harus memperjuangkan Negara.

Agama memiliki batasan berupa rukun Iman dan Islam, sedangkan Negara memiliki batasan teritorial wilayah. Keduanya bukan hal kontradiktif yang harus dibenturkan. Seolah orang beragama tidak bisa bernegara.

Sebaliknya, justru kebanyakan dari orang yang mampu Ber-Agama dengan baik, mereka pasti dapat Ber-Negara dengan baik.

Dalam memahami perkara ini, kita tidak ingin mengekor kepada “Ekstrem Kanan” yang secara mentah-mentah mengingkari nasionalisme dan menyandingkannya dengan kefasikan maupun kekufuran.

Pun juga, kita tidak ingin membebek kepada “Ekstrem Kiri” yang ingin menuhankan nasionalisme dan membuang jauh-jauh segala yang berbau agama. Islam itu Wasath (moderat, tidak berlebih-lebihan-red).

Muslim itu selalu berada di tengah dan Moderat.

Para Ulama lintas-suku, lintas-ormas, lintas-pesantren di seluruh Negeri ini telah sepakat tentang keharusan merawat negeri.

Umat Islam di negeri ini sudah tidak lagi pada tahap menghapal Pancasila secara teori, tapi sudah sampai mengamalkan dan memantau penerapan nilai-nilainya di lapangan.

Mereka bukan lagi murid di kelas “merangkai bunga” untuk menyatakan Keragaman dan Kerukunan, tapi mereka sudah duduk di strata “Merangkai Bunga Harmonitas” antara Agama dan Negara.

Pada faktanya, umat Islam tidaklah anti-Pancasila, karena spirit Pancasila sendiri selaras dengan ajaran Agama.

Bukankah Pancasila itu buatan manusia? Ya. Betul. Tapi ia adalah mufakat yang tidak bertentangan dengan Agama.

Sedangkan dalam Hadist riwayat Tarmidzi, Rasul sendiri telah bersabda:

اَلصلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلا صُلْحًا حَرمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَل حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلا شَرْطًا حَرمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَل حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Jadi, stigma negatif semacam “Anti-NKRI,” “Anti-Kebhinnekaan” dan “Anti-Pancasila” yang ingin disematkan kepada Muslim Indonesia itu tak ubah bedanya dengan tuduhan fir’aun saat mengklaim Nabi Musa termasuk golongan “Kafir.”

Perkataan fir’aun itu lahir saat ia merasa panik akan kekuasaannya, dan khawatir jika tahtanya tumbang di tangan “Rakyat Jelata” dari kalangan Bani Israel yang selama ini ia anggap sebagai budak-budak tak berharga:

قَالَ أَلَمْ نُرَبكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ … وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ التِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Qaala alam nurabbika fiinaa waliidan walabitsta fiinaa min ‘umurika siniin(a)

Wafa’alta fa’latakallatii fa’alta wa-anta minal kaafiriin(a)

Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu (Musa) di antara —keluarga— kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu … Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna (Kafir)!” (QS. Al-Syu’ara: 18-19).

Wallahu A’lam Bis-Shawab.

(Yusuf el-Amien)

BangTagor
0
4K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan