simacankampus
TS
simacankampus
Si Macan Kampus
MEMOAR SI MACAN KAMPUS

Prolog

Sebelum saya jadi jurnalis, sebelum saya jadi stand-up comedian, saya adalah seorang macan kampus. Saya mau berbagi cerita soal pengalaman saya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ’97 hingga dijuluki Macan Kampus. Tapi untuk sampai di cerita bagaimana saya mendapat julukan itu di kampus, saya mau cerita dulu masa masih berseragam putih abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.

---

Daftar Isi (Biar Kaya Buku. Hehehehe)

Prolog - Memoar Si Macan Kampus
( Part 2 ) - Bimbel Oh Bimbel
( Part 3 ) - Mau Jadi Musisi
( Part 4 ) - Cinta Monyet
( Part 5 ) - Kanuragan
( Part 6 ) - Karma
( Part 7 ) - Rumah Singgah
( Part 8 ) - LULUS!

---

Mari kita kembali ke pertengahan tahun ’90.

Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kg. Dengan tinggi badan 177 cm, jadinya terlihat kurus dan agak memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, itu lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya terlihat lebih tak menarik. Malah, kalau saya melihat foto saya waktu kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, itu terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu loh, film yang diperankan oleh Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya ketika SMA terlihat seperti Brad Pitt, tapi di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, tapi malah sebaliknya.

Lebih dari satu tahun, saya berambut cepak. Semua karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, sebuah organisasi ekstra kurikuler pasukan pengibar bendera. Saya bergabung bukan karena sukarela, tapi karena “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas, di jaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukan ke dalam dua kelas khusus, setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara (dilakukan ketika kami daftar ulang ke SMA) yang bahkan saya awalnya tak sadar itu untuk keperluan penerimaan ekstra kurikuler di sekolah. Alasannya: supaya kalau mau mengikuti lomba baris berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, mudah ijinnya, karena satu kelas. Pada prakteknya, tak semua yang dijebloskan ke sana, mau ikut latihan baris berbaris.

Tahun 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan kelas I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya tingginya di atas 170 cm, kecuali seorang teman kami, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus, kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah yang besar di daerah Cigombong, Sukabumi, dan sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain rumahnya paling besar di antara kami, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.

Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi paskibra.

Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor, kegiatannya setiap Minggu pagi selalu latihan baris berbaris. Maka, ini membuat saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang sih, kenapa saya dulu mau ya, disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain padahal saya juga bisa mengelak datang, toh ada beberapa teman kami yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.

Panas terik hujan deras kami tetap berlatih. Dan hebatnya badan di usia belasan, sepertinya daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada itu yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring 55 kg, tapi sungguh tahan banting.

Oya, sebelum resmi menjadi anggota Korps Taruna, kami harus mengikuti kegiatan pelantikan berupa kemping di kawasan perkebunan teh di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Udaranya kurang ajar sungguh menusuk tulang ketika malam hari. Dan kami tak diberi kesempatan memakai jaket. Ketika jurit malam (kegiatan jalan-jalan di malam hari terus mengikuti jalur yang disediakan untuk bertemu dengan pos-pos yang disediakan), kami bertemu sekelompok anggota silat Cimande yang sedang ujian kenaikan tingkat. Melihat mereka, saya jadi merasa kegiatan pelantikan kami tak ada apa-apanya. Kami hanya disuruh push up dan semacamnya yang sering kami lakukan setiap Minggu, paling seram juga dibentak senior. Tapi anak-anak silat Cimande, tak hanya dibentak, tapi juga ditendang dan dipukul. Tanpa pandang usia. Saya melihat anak kecil, mungkin masih SD, sekujur badannya ditendang seniornya. Meskipun anak itu meringis kesakitan, kegiatan itu tetap saja dilakukan. Mungkin sekarang, anak kecil itu sudah sakti mandraguna.

Saya tak tahu, apakah sekarang Korps Taruna SMAN 3 Bogor masih menjalankan prosesi pelantikan seperti kami dulu. Dan saya juga tak tahu apakah sekarang masih ditempatkan di dua kelas khusus. Serta saya juga tak tahu apakah para seniornya masih memberikan doktrin kuat pada anggotanya. Maklum, dulu kami merasa bahwa kami adalah paskibra paling bagus se-Bogor.

“Satu-satunya paskibra yang dimasukan di kelas khusus, ya kita.”
“Kalian ini siswa pilihan. Siswa terbaik di SMA 3.”
“Korps Taruna adalah paskibra yang disegani di Bogor.”

Nyatanya, ketika kami ikut lomba baris berbaris antar SMA se Kota Bogor, kami tak juara. Bahkan masuk 3 besar pun tidak.

Selain jadi anggota paskibra, saya juga ikut ekstra kurikuler silat. Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong [PPS BETAKO] Merpati Putih, sebuah perguruan silat dari Yogyakarta. Merpati Putih adalah bentuk pendek dari Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, yang artinya mencari sampai mendapat, tindakan yang benar dalam ketenangan. Bukan hanya gerakan beladiri yang dipelajari di Merpati Putih (selanjutnya kita singkat saja menjadi MP), tapi juga ilmu pernafasan.

Nah, makanya, selama SMA, kehidupan saya tak dilepaskan dari dua hal itu. Kelas satu latihan baris dan silat, kelas 2 melatih baris dan silat ditambah nongkrong, kelas 3 latihan silat dan nongkrong. Lalu, pertanyaannya: kapan belajarnya? Haha.

Eh iya, dari tadi cerita soal ekskulnya, tapi belum cerita seperti apa sekolahnya.
SMAN 3 Bogor beralamat di Jalan Pakuan No 4, Bogor. Buat yang pernah ke Bogor, dari gerbang tol Jagorawi yang di Bogor, belok kiri maka kira-kira 400 meter kamu akan menemukan SMA 3. Angkutan kota yang melintas di depan SMA 3 adalah angkot 06. Makanya kalau corat coret di dinding, sering ditulis 3 BGR 406, atau Fuckone 406, alias Jalan Pakuan No. 4, naek 06. Waktu saya masih kelas 1, lapangan upacara kami hanyalah berupa lapangan berbatu kerikil yang ukurannya tak terlalu luas, karena di antara bangunan sekolah yang berbentuk kotak, ada dua kelas melintang di tengah. Bangunan kelas itu akhirnya diruntuhkan ketika saya kelas 2, sehingga kami punya lapangan basket yang bagus, sekaligus jadi lapangan upacara.

Sekarang, di dekat SMA 3, tepatnya di Jl. Pajajaran, sudah banyak gedung pertokoan. Dulu, hanya ada beberapa bengkel mobil, dan gedung yang sekarang jadi pertokoan, adalah semak-semak di tanah kosong. Dulu, bangunan paling besar selain sekolah kami adalah Mesjid Raya. SMAN 3 Bogor adalah salah satu SMA bergengsi ketika saya masuk, dan sepertinya sih masih begitu hingga kini. Walau begitu, angkatan sebelumnya, murid SMA 3 terkenal beringas. Sering terjadi perkelahian antar kelas, bahkan hingga saling tusuk. Kalau tawuran, murid SMA 3 Bogor biasanya melawan STM. Ketika saya baru masuk, cerita yang entah mitos atau fakta itu, sering didengungkan oleh senior. Cerita yang sangat sesuai segmen remaja yang masih penuh gejolak. Ada semacam kebanggaan semu bahwa murid SMA 3 Bogor, terkenal pemberani.

Tahun ’90-an sering sekali terjadi tawuran antar pelajar. Setiap hari, berita di televisi tak pernah luput dari berita soal tawuran pelajar, khususnya di ibukota. Pelajar saling lempar batu, kejar-kejaran di jalanan sambil memutar-mutar sabuk yang ujungnya dipasangi gir sepeda yang sudah diasah jadi tajam. Sekarang, sudah jarang berita pelajar tawuran. Entah karena pelajarnya sudah banyak sarana menyalurkan gejolak kawula muda nya, atau karena sekarang yang tawuran adalah lebih banyak orang dewasa.

Sepanjang saya sekolah, baru mengalami 2 kali kejadian yang mungkin bisa dikategorikan tawuran. Pertama, ketika satu hari, ada sekelompok pelajar menghampiri area sekolah kami dan saya juga kurang ingat bagaimana detinya, yang jelas, tiba-tiba saya diajak teman-teman untuk melawan anak STM yang cari gara-gara. Tak ada aksi lempar batu, untungnya. Hanya ada aksi baku hantam tangan kosong, dan saya sendiri karena refleks melihat bambu panjang yang tergeletak di jalanan, langsung saya gunakan untuk menakut-nakuti musuh pelajar dari sekolah lain. Latihan silat dua kali seminggu, tapi ketika terjadi tawuran, saya malah terlalu pengecut untuk menggunakan keahlian yang dilatih itu. Kejadian kedua adalah ketika corat-coret dalam rangka merayakan kelulusan. Dari pagi hingga siang, pelajar dari sekolah tetangga, yaitu SMA PGRI 1 Bogor, aman-aman saja ketika melintas di depan sekolah kami. Tapi selepas jam 1, tiba-tiba ada yang mengomandoi kami bahwa pelajar SMA PGRI 1 Bogor menyerang kami, sehingga kami harus menyerang ke sekolah mereka dan menghadang semua pelajar dari sekolah itu yang melintas. Kalau dipikir dengan kepala dingin dan tak mudah terpancing emosi, mungkin saja kejadian itu hanya bohong, kemungkinan besar ada yang menyebarkan kebohongan supaya kami emosi dan ikut tawuran terakhir sebelum lulus. Saya rasa, yang begini ini sering terjadi. Bukan hanya dalam konteks tawuran pelajar, tapi juga di kehidupan sekarang. Banyak orang yang mudah terpancing emosi atas sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Di sub judul berikutnya, saya akan cerita seperti apa masa sekolah saya. Kalau begini, saya menyesal dulu ketika SMA tak menulis buku harian. Coba dulu saya menuliskan setiap hari yang saya jalani, pasti sekarang saya tak kesulitan mengingat kejadian apa saja yang menarik selama masa remaja. Tapi, ya saya juga tak akan menyangka kalau ternyata kehidupan saya akan ada yang mau membaca dan menerbitkannya ke dalam buku. Maklum, saya bukan tipe orang yang penuh perencanaan. Bukan orang yang sudah tahu apa yang mau dilakukan di masa depan. Bukan tipe orang yang berpikir jauh ke depan. Saya ini tipe orang yang lebih mementingkan hari ini. Menikmati yang sedang dijalani. Memang, kalau kata motivator sih, pandangan hidup “gimana nanti” ini bukan pandangan hidup yang ideal. Harusnya kan, “Nanti gimana?” tapi saya tak mau hidup terlalu menguatirkan yang belum terjadi. Meskipun kata Utha Likumahuwa, esok kan masih ada, kata saya mah, esok belum tentu ada. Jadi, ya nikmati saja hari ini.

Ah sial. Kenapa saya malah jadi seperti motivator begini, ya?
Diubah oleh simacankampus 19-05-2017 08:54
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
9.3K
50
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan