dic.thoriumAvatar border
TS
dic.thorium 
Let's Run The Numbers: Apakah “Energi Terbarukan” Lebih Ekonomis Dari Nuklir?
Seorang rekan mengirimkan kliping koran Kompas di grup WhatsApp. Berita seminar dari salah satu kampus yang cenderung tendensius dan menyerang teknologi nuklir fisi, walau judulnya dibalut dengan “dukungan” terhadap reaktor fusi. Mengingat salah satu pembicaranya dari Dewan Energi Nasional, yang terkenal sebagai salah satu pihak yang paling getol menggembosi teknologi energi nuklir di negeri ini, sebenarnya itu tidak terlalu mengherankan.

Walau begitu, tetap saja ada klaim yang membuat saya tergelitik. Mereka mengklaim, pada tahun 2030, “energi terbarukan” sudah lebih murah daripada energi nuklir dan fosil. Selain itu, pernyataan soal “ketergantungan” teknologi impor, impor bahan bakar dan limbah radioaktif dipenuhi cacat logika dan tidak berdasarkan data.

Di artikel ini, saya mau menguji klaim soal “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir. Argumen ini, dalam hemat saya, dibangun atas setidaknya tiga logical flaws: Pertama, mereka kemungkinan besar menyamakan harga energi nuklir antara di Eropa dan Amerika Utara dengan di Asia, khususnya Indonesia. Kalau di dua tempat pertama, nuklir memang relatif mahal karena berbagai faktor, diantaranya politik anti-sains yang lebih meng-anak emas-kan “energi terbarukan” dan, mengutip istilah Prof. Bernard Cohen, “regulatory ratcheting”. Regulasi yang makin ketat dan ketat tapi tidak pernah melonggar, walau tidak ada bukti pengetatan regulasi itu membantu apa-apa dalam meningkatkan level keselamatan reaktor. Lagi-lagi, regulatory ratcheting ini diakibatkan oleh politik anti-sains.

World Nuclear Association mengumpulkan data rentang overnight cost untuk PLTN dari berbagai daerah, yang ditunjukkan dalam gambar berikut.

Spoiler for Gambar 1. Rentang overnight cost PLTN di berbagai area di dunia, dalam satuan USD/kW:


Tampak jelas bahwa Amerika Utara dan Eropa memang memiliki rentang biaya yang tinggi. Adapun Asia, nilai investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTN justru paling rendah. Jika Amerika Utara dan Eropa bisa mencapai USD 4000-5000/kW, maka di Asia hanya 2200-2800/kW. Bahkan tren menunjukkan angka lebih rendah lagi, dimana pembangunan PLTN di Korea Selatan dan Cina angkanya tidak sampai USD 2000/kW!

Ini seharusnya tidak menjadi pertanyaan. Kondisi di Asia sama sekali berbeda dengan di Eropa dan Amerika Utara yang serba mahal dari segala sesuatunya. Standar biaya di Asia lebih rendah. Wajar kalau akhirnya lebih murah. Tampaknya hal ini luput dari pandangan para pembicara itu. Realitanya, Badan Tenaga Nuklir Nasional memperkirakan biaya pembangunan PLTN di Indonesia setara dengan di Korea Selatan.

Yang kedua, mereka kemungkinan besar mengasumsikan bahwa teknologi energi nuklir itu stagnan. Kalau benar begitu, ini kesalahan fatal. Tidak ada teknologi yang stagnan. Teknologi energi nuklir saat ini sedang bergerak menuju Generasi IV, atau reaktor maju. Dibandingkan PLTN konvensional, reaktor maju memiliki keunggulan intrinsik lebih baik, yang mengakibatkan reaktor maju lebih murah, selamat dan reliabel. Aspek murah didukung dengan fakta bahwa reaktor maju memiliki desain lebih simpel dan memiliki fitur keselamatan melekat lebih baik, sehingga mengurangi komponen keselamatan super mahal yang dibutuhkan pada PLTN konvensional, yang sebenarnya juga tidak mahal-mahal amat.

Bukan cuma “energi terbarukan” saja yang teknologinya berkembang. Nuklir berkembang dengan kecepatan lebih tinggi lagi. “Energi terbarukan” hanya sedikit diuntungkan dengan kebijakan politik anti-sains yang lebih cenderung pada turbin angin dan panel surya saja.
Yang ketiga, ada batasan maksimal level murahnya sebuah moda energi. Tidak bisa terus menerus murah sampai hampir gratis, itu sama sekali mustahil. Ini berlaku untuk semua moda energi, mau energi fosil, nuklir maupun “energi terbarukan”. Contoh, untuk reaktor maju, angka yang dianggap feasible untuk teknologi Liquid Fluoride Thorium Reactor(LFTR) adalah USD 2000/kW dengan harga listrik USD 3 sen/kWh. Mungkin bisa lebih rendah lagi, tapi angka ini yang bisa dibilang realistis.

Panel surya dan turbin angin harganya memang terus jatuh, tapi seberapa besar akan terus turun? Saya akan terkesan kalau tahun 2030 harganya bisa turun sampai setengah dari harga sekarang. Saat ini, panel surya memiliki biaya berkisar USD 1000-2000/kW, sementara turbin angin antara USD 2000-4000/kW. Bisa turun sampai setengahnya itu luar biasa.

Okelah, anggap harga panel surya dan turbin angin bisa turun sampai setengahnya. Sekarang coba kita mainkan angka-angkanya. Dikomparasi dengan reaktor nuklir. Untuk pemodelan, saya komparasi PLTS, PLTB, PLTN konvensional dan PLTN maju. Masing-masing pemodelan saya pakai proyeksi saat ini dan perkiraan proyeksi di masa depan.

Untuk PLTS, saya ambil contoh dari PLTS Cadiz, Filipina. Saya baca sebuah publikasi yang mengklaim bahwa “energi terbarukan” di Filipina bisa lebih murah daripada energi fosil, jadi saya pakai yang di sana. PLTS yang diambil sebagai model adalah PLTS Cadiz, memiliki daya terpasang 135 MWe dan menelan biaya USD 200 juta. Dimodelkan kondisi saat ini dan kondisi setengah harga.

Untuk PLTB, kebetulan di Indonesia sudah ada proyeknya, yaitu PLTB Jeneponto di Sulawesi Selatan. PLTB ini dicanangkan memiliki daya 62,5 MWe dan menelan biaya USD 135 juta. Sama seperti PLTS, saya modelkan kondisi saat ini dan setengah harga.

PLTN lebih variatif. Untuk PLTN konvensional, diambil model PLTN Shin Kori Unit 3 dan 4 di Korea Selatan dan PLTN Barakah di Uni Emirat Arab. Shin Kori diambil karena dianggap memiliki biaya realistis untuk pasar Indonesia, yaitu USD 5 milyar untuk daya 2700 MWe. Sementara, PLTN Barakah diambil sebagai batas atas termahal di Asia (walau sebenarnya ini masuk kategori Timur Tengah, tapi tidak apa-apa. Toh masih di benua Asia juga), memakan biaya USD 20,4 milyar untuk daya 5600 MWe. Beda biayanya sudah hampir dua kali lipat, jadi saya kira sudah mewakili.

Untuk PLTN maju, saya ambil model ThorCon dan LFTR. ThorCon diambil karena mereka berencana membangun reaktor maju mereka di Indonesia pada awal dekade 2020-an, dan teknologinya dianggap paling matang untuk konsep reaktor maju yang ada. Proyeksi batas atas dan bawah ThorCon adalah USD 1200/kW dan USD 800/kW, walau dalam executive summary-nya direncanakan yang lebih ambisius, yakni USD 600/kW. Saya agak toleran dengan tidak mengambil rencana paling ambisius ini. Untuk LFTR, sengaja diambil sebagai proyeksi ideal reaktor maju, dengan biaya USD 2000/kW. Pemodelan masa depannya diasumsikan konservatif, yaitu USD 1800/kW.

Pada dasarnya, saya anti ekonomi ribawi dan menolak keras segala sesuatu yang berbau bunga dan riba. Walau begitu, nyatanya model ekonomi inilah yang digunakan dalam industri saat ini, termasuk teknologi energi. Untuk sebatas pemodelan riil dengan kondisi yang ada saat ini, tidak apalah memperhitungkan laju bunga. Dalam perhitungan ini digunakan laju bunga 10%/tahun. Nanti dibuat juga pemodelan tanpa bunga.

Untuk perhitungan memperhitungkan laju bunga, saya menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel, seperti yang digunakan oleh Robert Hargraves dari ThorCon. Pemodelan ini belum memperhitungkan waktu pembangunan, tapi cukup baik untuk memperhitungkan biaya dasar dari berbagai pembangkit daya.

Dari sini, dapat dimodelkan komponen perhitungan dasar sebagai berikut.

Spoiler for Tabel 1. Komponen pembiayaan dasar (model pembiayaan saat ini):


Berikutnya, untuk pemodelan dasar “masa depan”, hasilnya jadi seperti ini.

Spoiler for Tabel 2. Komponen pembiayaan dasar (model pembiayaan masa depan):


Lantas, bagaimana dengan biaya dasar pembangkitan listriknya?

Untuk model konvensional saat ini, biaya dasar masing-masing teknologi ditunjukkan dalam tabel berikut.

Spoiler for Tabel 3. Komparasi biaya dasar pembangkitan daya, model konvensional, interest rate 10%:

Spoiler for Tabel 4. Komparasi biaya dasar pembangkitan daya, model konvensional, interest rate 0%:


Apa yang bisa disimpulkan dari tabel di atas?

Ternyata overnight costmahal tidak lantas berarti harga listriknya juga mahal. Sebab, ada faktor lain dalam perhitungan biaya pembangkitan listrik, yakni faktor kapasitas dan usia pakai. Kalau diperhatikan pada tabel, faktor kapasitas PLTN mencapai 90%, sementara PLTB hanya 30% dan PLTS 20%.

Kenapa bisa begitu? Ini kelemahan “energi terbarukan” yang hampir tidak pernah diungkap oleh para penggiatnya. Angin tidak berembus tiap saat, dan matahari tidak selalu bersinar. Angin hanya berembus dalam sekitar 30% waktu, sementara sinar matahari yang bisa diandalkan hanya sekitar 20% waktu. Ini angka optimistis, walau nyatanya faktor kapasitasnya bisa lebih rendah lagi. Apalagi, mengutip pernyataan Ricky Elson (ya, Ricky Elson yang itu), angin di Indonesia itu nanggung. Kencang sekali tidak, lambat juga tidak. Faktor kapasitas sebenarnya bisa lebih rendah lagi.

Sinar matahari juga begitu. Angka 20% itu optimis. Nyatanya, saya pernah hitung pakai sejenis simulator di internet, untuk area Cibinong, faktor kapasitas energi surya hanya 13,8%!

Semakin rendah faktor kapasitas, semakin mahal harga listriknya. Biaya dasar di tabel yang saya tampilkan cenderung optimis.

Sementara, PLTN tidak memiliki kendala seperti itu. PLTN bisa beroperasi terus menerus tanpa gangguan cuaca. Itulah keunggulan pembangkit listrik base load, operasinya tidak tergantung kondisi alam. Angka patokan untuk faktor kapasitas PLTN saat ini mencapai 90%. Nyatanya, ThorCon dan LFTR bisa meraih angka lebih tinggi lagi, mengingat sifatnya yang tidak perlu mematikan reaktor untuk mengganti bahan bakar. Tapi tidak apa-apa, saya mengambil angka konservatif saja.

Selain itu, waktu operasi PLTN lebih lama, bisa mencapai 40 bahkan 60 tahun. PLTB dan PLTS sulit mencapai angka 25 tahun, apalagi lebih. ThorCon sendiri menggunakan angka 32 tahun karena di executive summary dituliskan begitu, walau nyatanya bisa beroperasi lebih lama lagi.
Pada interest rate 10%, PLTN Barakah yang memiliki biaya investasi paling mahal memiliki biaya dasar USD 6,15 sen/kWh. Sementara, PLTB Jeneponto mencapai USD 10,5 sen/kWh dan PLTS Cadiz justru paling mahal, USD 10,8 sen/kWh! Sementara, ThorCon menjadi kampiun, dengan USD 2,7 sen/kWh.

Capital cost recovery merupakan aspek sensitif terhadap interest rate. Jadi, ketika investasi menggunakan uang yang sama sekali bebas bunga, hasilnya jadi bergeser. LFTR menjadi kampiun dengan USD 1,2 sen/kWh, menggeser ThorCon yang biayanya USD 1,6 sen/kWh.

Bagaimana dengan “energi terbarukan”? Tetap saja paling mahal. PLTB Jeneponto jadi USD 5,11 sen/kWh dan PLTS Cadiz jadi USD 5,228 sen/kWh! Dibandingkan PLTN Barakah saja, yang biaya dasarnya USD 2,3 sen/kWh, “energi terbarukan” tetap lebih mahal.

Jadi, energi terbarukan apakah lebih ekonomis dibandingkan nuklir? Tidak.

Tapi itu, kan, pemodelan sekarang! Bagaimana dengan pemodelan masa depan? Kan, harga panel surya dan turbin angin turun sampai setengahnya!

Untuk masa depan, biaya dasarnya sebagai berikut.

Spoiler for Tabel 5. Komparasi biaya dasar pembangkitan daya, model “masa depan”, interest rate 10%:


Spoiler for Tabel 6. Komparasi biaya dasar pembangkitan daya, model “masa depan”, interest rate 0%:


Apa yang bisa disimpulkan dari kedua tabel di atas?

Pada interest rate10%, “energi terbarukan” ternyata hanya bisa lebih murah daripada PLTN Barakah! Sementara, melawan PLTN Shin Kori, LFTR dan ThorCon, keduanya kalah telak, dengan ThorCon lagi-lagi menjadi paling digdaya. Padahal, kalau mengacu pada Tabel 2, overnight cost dari “energi terbarukan” hanya USD 741-1080/kW.

Sementara, dengan interest rate 0%, “energi terbarukan” makin nelangsa. Masih kalah murah dengan PLTN Barakah sekalipun! Di sini, kembali LFTR mengambil alih mahkota dengan menjadi yang paling murah, sekitar sepertiga dari biaya dasar “energi terbarukan”.

Bagaimana dengan skenario mustahil? Ada, ketika harga panel surya dan turbin angin jatuh sampai seperempat harga sekarang. Pada kondisi itu, dengan interest rate 10%, PLTB Jeneponto menghasilkan biaya dasar USD 3,376 sen/kWh dan PLTS Cadiz USD 3,445 sen/kWh. Lebih murah dari PLTN Barakah dan Shin Kori, tapi masih lebih mahal dari LFTR dan ThorCon yang masih menggunakan asumsi di Tabel 2.

Sementara, dengan interest rate 0%, PLTB dan PLTS masing-masing memiliki biaya dasar USD 2,03 sen/kWh dan USD 2,06 sen/kWh. Lebih murah dari PLTN Barakah, tapi kalah murah ketimbang Shin Kori, LFTR dan ThorCon.

Perhitungan di atas belum mempertimbangkan backup atau penyimpanan daya berupa baterai. Kalau dimasukkan dalam perhitungan, biaya dasar akan melonjak hingga dua kali lipat.

Apa yang bisa disimpulkan dari sini?

“Energi terbarukan” memiliki keterbatasan alamiah yang menghalanginya menjadi pilihan energi yang murah. Ketergantungannya pada kondisi alam membuat “energi terbarukan” menjadi moda energi paling tidak reliabel dan paling mahal yang pernah ada. Secanggih apapun teknologinya, ada batasan saintifik dan engineering yang tidak bisa ditabrak. Semurah apapun panel surya dan turbin angin, tidak ada yang bisa memprediksi fluktuasi angin maupun mengubah kondisi siang dan malam. It’s simply impossible.

Ini pil pahit yang mau tidak mau harus ditelan para pemuja “energi terbarukan”. Performa energi nuklir masih jauh melampaui apa yang bisa dilakukan “energi terbarukan”. Bahkan, dalam beberapa skenario, teknologi nuklir “stagnan” masih lebih unggul daripada “energi terbarukan” yang dianggap berkembang dan maju.

Hadapilah, “energi terbarukan” tidak bisa lebih ekonomis daripada energi nuklir. Kebijakan yang menomorsatukan “energi terbarukan” dan meminggirkan energi nuklir hanya akan mengundang masalah dalam penyediaan energi nasional maupun dunia.

Spoiler for Penulis:


Spoiler for Referensi:

Diubah oleh dic.thorium 07-12-2016 03:56
0
51K
330
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan