Quote:
dengan gemetar gue tanya sedikit berteriak ke ola.
"LA OLA, INI FOTO SIAPA ?!"
ola yang sedang membuka kulkas itu pun menoleh ke arah gue, dengan pelan dia menjawab
"tian"
seketika jantung gue berdetak kenceng, memompa darah penasaran ke otak dengan begitu luar biasa !
"MAKSUD LO, DITIAN PUTRA ? OLA ?! DITIAN PUTRA ? JAWAB LA ?!"
gue mendekat ke arah ola, dengan erat gue pegang kedua pundaknya, gue gak sabar menanti jawaban.
ola mengangguk !
seketika air mata tipis mengalir dari kedua mata gue, semabari menelan ludah gue kembali bertanya dengan gemetar
"DIA DIMANA LA ? DIA SEKARANG DIMANA LA ? KASIH TAU GUE ?"
ola kemudian menangis, menangis sangat kencang, begitu kencang hingga ia tak sanggup berdiri, kini badannya terduduk dilantai dengan kedua tangannya menutupi mukanya.
melihat ola seperti itu, gue semakin kalut, otak gue udah memudar lepas dari akal sehat,
"LA JAWAB LA, DITIAN DIMANA LA ?!!
ola kemudian dengan tangis yang luar biasa keras perlahan menunjuk arah utara
"LA JANGAN BECANDA LAAA, JANGAN BECANDAAAA !!!! LO JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE LAAAA !!"
saat itu tangis gue pecah, walau otak gue masih gak yakin sama maksud ola, tapi hati kecil gue bisa meraba maksud dari sabrina ola ini.
"LAAAAA PLIS LAAA"
gue mencengkram erat pundak ola, menggoyangkan dengan sangat kuat
"LAAAAAA !!!"
ola pun semakin menangis keras, disertai gemuruh suara petir yang datang dari semesta.
gue berlari keluar dengan pikiran yang hilang entah kemana, dengan tubuh yang seakan tak beraga, pandangan kabur dan hanya terlihat pekat, gue seperti kesetanan berteriak di tengah derasnya hujan, mencoba membuka pintu gerbang yang terkunci, gue kalut tak karuan.
gue terus berusaha mendobrak dobrak pintu gerbang rumah ola, sekuat tenaga gue coba buka dengan tangis yang begitu bergelora, mengalahkan gelegar petir yang saling menyambar, hanya satu kata yang ada di pikiran gue saat itu, hanya satu ! utara!
ola dengan tangis yang udah gak lagi bisa bersuara, memeluk gue dari belakang dengan begitu erat, sangat erat ! dan gue ?! gue masih berontak dengan mendobrak dobrak pagar rumah ola, gue menangis dengan ratapan menyedihkan kemudian terduduk lemas dibawah hantaman deras hujan, ola pun hanya mematung dengan terus memeluk gue dari belakang.
Quote:
"Dipa putra, Diyas putra, Ditian putra, waaah kalian lucu yaa"
saat itu gue dan dua orang saudara laki-laki gue duduk di ruang tamu yayasan. Dipa, kakak gue yang usianya enam tahun lebih tua dari gue tersenyum manis ke arah pak Roy dan Ibu Roy, iya, yang pada akhirnya mereka adalah kedua orang tua angkat gue. oya, saat itu dipa kelas satu SMA, sedangkan gue dan ditian kelas empat SD, gue dan ditiyan emang terlahir kembar, tapi lahirnya sepuluh menit duluan gue, gitu kata ibu gue dulu.
kenapa gue di yayasan ? kenapa pak roy dan ibu roy jadi orang tua angkat gue ?
kedua orang tua gue meninggal dalam sebuah kecelakan pesawat, tepatnya bulan november 2004. tragedi tersebut menjadi headline selama berbulan-bulan di berbagai media, dan menjadi sebuah duka dalam dunia penerbangan di Indonesia. gue, dipa dan ditian selamat dalam musibah tersebut.
gue dan ditian yang relatif masih kecil saat itu masih belum sepenuhnya merasa terpukul, hanya tangis polos yang mengalir deras karena rasa rindu ke ayah dan ibu. berbeda halnya dengan dipa, dipa yang saat itu baru awal SMA udah bukan lagi terlihat seperti dipa kakak gue yang gue kenal dulu, begitu tak beraga seperti tak bernyawa, dingin dan terlihat seperti berontak. gue dan ditian saat itu hanya berani ngintip dari balik pintu kamar yayasan saat dipa menangis tanpa suara dibawah meja makan.
oya, kita ditempatkan di yayasan yatim piatu di Jakarta.
gue tau, dipa gak pernah betah tinggal di yayasan, udah puluhan kali dia coba kabur, tapi ujungnya balik lagi juga. lemah !
maka dari itu, ketika pak roy dan bu roy berniat ngadobsi kita, dia begitu bersemangat dan menyetujui dengan teramat. sedangkan gue ? gue sih bebas-bebas aja, toh pak roy dan bu roy terlihat begitu sayang sama kita bertiga ! tapi yang jadi masalah adalah ditian ! dia gak mau tinggal sama keluarga pak roy, dia selalu nangis setiap pak roy atau bu roy datang menjenguk.
ditian emang anak yang paling dimanja, kembaran gue ini kata ibu gue dulu butuh perjuangan banget untuk bisa menatap dunia, butuh resiko yang luar biasa untuk melahirkan anak kembar dalam kondisi ibu gue yang gak memungkinkan saat itu. ditian pun pada akhirnya tumbuh menjadi anak yang begitu dekat dengan ibu gue.
maka saat ditian coba dirayu oleh ibu roy, dia dengan kasar layaknya anak kecil menolak, menangis dan berteriak.
disuatu malam sebelum keputusan, dipa memohon sembari menangis ke gue dan ditian, jujur gue yang masih bocah saat itu gak tau apa-apa, cuman bisa bilang iya-iya aja, dan saat dipa nyuruh bilang "iya" dan ikut dipa dan pak roy ke solo gue pun mengiyakan. sedangkan ditian dengan keras kepalanya berlari memeluk ibu yayasan.
dan singkat cerita gue dan dipa pergi ke solo meninggalkan ditian di yayasan di jakarta, pak roy saat itu berjanji setiap bulan akan mengajak gue dan dipa ke jakarta untuk ngejenguk ditian.
dan gue gak salah ! dan pilihan gue ngikutin apa kata kakak gue gak pernah sia-sia, bersama keluarga pak roy, gue mendapatkan kasih sayang yang begitu luar biasa, terlebih ibu roy, dia begitu sayang banget sama gue dan dipa. dengan berjalannya waktu, sepenuh hati dan segenap kasih, gue bisa setulus hati menyanyangi dan berjanji akan berbakti ke pak roy dan bu roy yang menjadi orangtua gue selamanya.
tapi berbeda dengan gue yang tumbuh menjadi anak penurut, dipa malah sebaliknya, dia tumbuh menjadi remaja yang emosional, keras dan nakal.
sebulan hingga setahun pertama, gue dan dipa masih bisa ngejenguk ditian di jakarta, tapi ketika memasuki bulan ke tigabelas, gue terkejut ketika mendapati kabar bahwa ditian diadobsi oleh keluarga berwarga negara singapura dan tinggal disana. sejak saat itu lah, komunikasi gue dan ditian terputus
Quote:
ola masih mendekap erat tubuh gue dari belakang, dengan hujan deras dan petir yang saling menggelegar, gue bisa merasakan segukan tangisan dan gemetar tubuhnya.
"yas, jangan jauhin gue, gue butuh elo"
dengan sangat terbata ola berbicara lirih, sangat lirih hingga nyaris tenggelam oleh suara hujan
gue pun perlahan mencoba tenang dari pikiran kalut gue saat itu.
dengan menarik napas panjang, gue pun mencoba perlahan berdiri, mengangkat ola yang sudah lemas dan menggigil, gue dekap tubuhnya dan gue peluk dengan sangat erat.
"maafin gue la"
dengan suara parau dan perlahan gue berbicara lirih ke ola
dengan sisa tenaganya ola pun perlahan melepaskan diri dari pelukan gue, memegang kedua pipi gue dan menundukan muka gue ke arah mukanya
"yas, jangan benci gue, gue akan anter lo ketemu tian"
lalu dia mencium gue.
ada jutaan misteri yang kadang tidak kita mengerti
datangnya begitu tiba-tiba dengan penuh tanya di hati
kita hanya bisa menanti
entah itu membuat berseri
atau justru membuat rasa nyeri
tak ada yang tau pasti
tapi pada kahirnya akan terjadi