BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kebijakan satu bangsa satu harga

Satu harga BBM: Bukan soal untung rugi, tapi soal keadilan sosial.
Warga negara di ujung timur Indonesia, Papua, kini bisa membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan harga yang sama dengan wilayah lainnya. Harga Rp6.450 per liter untuk premium dan Rp5.150 per liter untuk solar.

Itulah pengumuman yang diucapkan Presiden Joko Widodo saat meresmikan Bandara Nop Goliat Dekai di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, Selasa (18/10/2016).

Bukan rahasia, selama ini harga berbagai komoditas di wilayah Timur Indonesia, terutama Papua tidak masuk akal. Di kota Yahukimo, bensin bisa dibeli dengan harga normal, paling lama hanya sepekan. Ketika persediaan di APMS (Agen Penyalur Minyak dan Solar) ada.

Bila persediaan habis, harga di pengecer bisa gila-gilaan. Harga bensin di Wamena misalnya bisa mencapai Rp70 ribu ter liter, bahkan di pelosok Kabupaten Puncak sampai Rp100 ribu. Begitu pun dengan harga komoditas lain. Harga per sak semen misalnya, bisa mencapai Rp800 ribu, bahkan lebih dari Rp1 juta di Puncak Jaya.

Tingginya berbagai harga kebutuhan di Papua, selama ini seperti dianggap wajar. Berbagai pihak memaklumi kondisi tersebut. Maklumlah, biaya logistik di Papua memang sangat mahal. Akibatnya menimbulkan kesan para pihak berkepentingan tak pernah berusaha menurunkan harga aneka produk strategis pada tingkat kewajaran.

Menjadikan harga BBM setara dengan daerah lain bukanlah hal sederhana. Ada konsekuensi kompleks di belakangnya. Pertamina harus nombok sekitar Rp800 miliar per tahun untuk melaksanakan kebijakan satu harga BBM di Papua ini. Ongkos tersebut jelas mengurangi keuntungan Pertamina, kalau tidak mau dikatakan rugi.

Menurut data Pertamina sejak 2014, ada 12 kabupaten yang belum memiliki stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kebanyakan kabupaten tersebut memang terletak di Indonesia Timur, khususnya Papua. Inilah yang digarap Pertamina, membangun delapan Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) di Papua. APMS mirip SPBU, tetapi lebih kecil.

Menurut Jokowi, kebijakan ini bukan masalah untung dan rugi. Presiden lebih melihat pada masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Pertamina untuk mencari solusi, soal tambahan ongkos hingga Rp800 miliar tersebut.

Selain Pertamina, sebenarnya ada perusahaan lain yang resmi menjadi penyalur bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan BBM khusus penugasan. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), juga menunjuk PT AKR Corporindo Tbk sebagai penyalur pada 2016.

Namun sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih banyak memegang kuota, Pertamina tidak hanya punya tugas mencari keuntungan, tapi juga memiliki tugas idealis. Yaitu menjadi agen pembangunan. Nah tambahan ongkos tersebut bisa dikatakan sebagai biaya fungsi ideal BUMN.

Untuk mendukung kebijakan presiden ini, Pertamina mengerahkan dua buah pesawat pengangkut BBM jenis Air Tractor AT-802 dengan kapasitas angkut 4.000 liter. Bongkar muat BBM di Bandara Nop Goliat Dekai, tersebut disaksikan langsung oleh Jokowi.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, menyatakan kini harga BBM di delapan Kabupaten di Papua sudah sesuai dengan KEPMEN ESDM No. 7174 Tahun 2016. Per 1 Oktober 2016, untuk setiap liternya Minyak Tanah seharga Rp2.500, Minyak Solar Rp5.150, dan Premium bisa didapat dengan harga Rp6.450 di sana.

Kebijakan ini sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah sebelumnya, yakni membangun konektivitas kota-kota di Papua. Dalam kunjungan ke Papua sebelumnya, Jokowi pernah mengatakan bahwa semua kabupaten di Provinsi Papua ditargetkan sudah bisa dilintasi jalur darat pada 2018.

Bila konektivitas sudah membaik, harga BBM terjangkau, biaya logistik pasti akan menurun. Buntutnya harga kebutuhan bisa terkoreksi. Selanjutnya, biaya hidup pun akan menurun.

Bila kebijakan ini bisa berlangsung lama, maka harga produk-produk lain pun akan turun juga. Asumsinya bila biaya logistik, maka harga produk pun akan ikut turun. Rentetan selanjutnya, investasi di Papua dan perekonomian rakyat akan tumbuh.

Namun demikian, jangan dulu berharap terlalu tinggi. Semisal bisa menyelesaikan konflik yang terus terjadi di bumi Cendrawasih. Penyelesaian persoalan Papua, selama ini mengesankan sangat simplifikatif. Yaitu dipersepsikan orang Papua berniat merdeka karena perut mereka masih lapar. Persepsi tersebut tentu saja sangat keliru.

Penyebab konflik yang tak pernah reda di Papua, tidak sekadar urusan perut, tapi sangat kompleks. Penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2010, menemukan empat akar masalah konflik di Papua.

Empat akar masalah itu adalah: Kegagalan pembangunan; Marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua; Kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM; Serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

Nah kebijakan satu harga BBM dalam jangka panjang, mungkin akan efektif untuk menyelesaikan problem kegagalan pembangun dan marjinalisasi. Tentu saja setelah dibaurkan dengan pembangunan infrastruktur yang lain misalnya pembangkit listrik. Adalah fakta bahwa sampai saat ini lebih dari 50 persen wilayah Papua masih gulita, tanpa penerangan listrik.

Sedang untuk persoalan HAM dan status politik di Papua, pemerintah harus mempunyai pendekatan yang lain. Dialog politik, bisa menjadi salah satu pilihan jalan keluar.

Namun hal yang jauh lebih penting adalah penegakan hukum. Siapa pun pelaku pelanggaran HAM, mesti diadili. Kesan yang muncul bahwa selama ini pemerintah melindungi pelanggar HAM di Papua, harus diakhiri.

Apa pun kebijakan satu harga BBM yang dicanangkan di Papua ini patut diapresiasi. Untuk pertama kalinya, seorang presiden menggunakan kekuasaannya, memaksa BUMN strategis mengatasi diskriminasi hak ekonomi, seberapa pun besar ongkos yang harus dibayar.

Ujian berikutnya adalah kosistensi. Seberapa lama birokrasi pemerintah bisa terus mengawal kebijakan ini. Harapannya, tentu kebijakan ini bukan sementara. Bahkan harus dilanjutkan dengan kebijakan penurunan harga komoditas lainnya.

Wilayah Indonesia terdiri lebih dari 1.700 pulau, dipisahkan atau dipersatukan laut. Faktanya membuat banyak daerah terpencil, terutama perbatasan dengan negara lain, seperti Kalimantan Utara dan Maluku bagian Utara.

Warga di sana juga mempunyai nasib yang serupa dengan warga Papua, terutama dengan tingginya harga BBM dan kebutuhan lainnya. Mereka ini juga menunggu kebijakan serupa. Presiden menjanjikan kebijakan satu harga BBM di seluruh nusantara akan efektif tahun depan.

Pertamina mendukung penuh kebijkan tersebut. Dua pesawat pesawat pengangkut BBM jenis Air Tractor AT-802, akan dibeli untuk memenuhi kebutuhan BBM di wilayah-wilayah terpencil tersebut.

Kebijakan "satu nusa, satu bangsa , satu bahasa dan satu harga" bukan sebuah pencitraan. Ini menunjukkan kehadiran negara di seluruh wilayah nusantara. Tidak boleh ada diskriminasi atas hak ekonomi di seluruh wilayah negeri.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...gsa-satu-harga

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Perubahan yang terjadi pada usia 30-an

- Cari tahu perawatan wajah berdasarkan jenis kulit

- U-12 Indonesia berakhir di posisi 11

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
21.1K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan