- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
INI SALAH SATU CARA AMRIK HAMBAT PERDAGANGAN INDONESIA
TS
ahlikonspirasi
INI SALAH SATU CARA AMRIK HAMBAT PERDAGANGAN INDONESIA
Sesuai dengan nama ane, Ahli Konspirasi...
Kali ini ane kembali mau sharing-sharing info konspirasi yang mungkin bisa membuka mata kita soal ada udang di balik bakwan....
Ini memang baru teori konspirasi, tapi juga berdasarkan data yang ada...
Intinya ini soal pertarungan Primadona AS vs Primadona Indonesia gan.
Ada komoditi andelannya AS, yakni Kedelai dkk yang berusaha menghambat primadonanya Indonesia, Kelapasawit, karet dkk
Nah looohhhh....
Gimanaaa? seru gak gan? ane ngambil sumbernya di sini
Pict nya gan
segitu aja gan nanti kalo ane nemu yang aneh2 lagi ane share yaa
Kali ini ane kembali mau sharing-sharing info konspirasi yang mungkin bisa membuka mata kita soal ada udang di balik bakwan....
Ini memang baru teori konspirasi, tapi juga berdasarkan data yang ada...
Intinya ini soal pertarungan Primadona AS vs Primadona Indonesia gan.
Ada komoditi andelannya AS, yakni Kedelai dkk yang berusaha menghambat primadonanya Indonesia, Kelapasawit, karet dkk
Spoiler for Prolog:
Minggu lalu, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat atau nama kerennya NGO tiba-tiba mengeluarkan laporan yang menuduh sebuah perusahaan kelapa sawit, Korindo, atas kebakaran hutan di Papua. Laporan yang berjudul “Burning Paradise” atau “Surga yang Terbakar” itu dikeluarkan LSM MIGHTY yang didukung oleh Waxman Strategies, Aidenvironment, SKP-KAMe Merauke, dan Pusaka.
Mau tau beritanya ada di sini... Sumur
Mau tau beritanya ada di sini... Sumur
Spoiler for Lanjut gan:
Tuduhan itu memang sudah dimentahkan oleh pihak Korindo. Sumur
Spoiler for Bridging:
Saya tidak akan membahas benar atau tidaknya bantahan tersebut, bukti-bukti lapangan, atau siapa sebenarnya yang menyebabkan kebakaran. Diskusi itu hanya akan menjadi debat kusir.Yang membuat saya tertarik adalah apa yang mendasari mereka membuat laporan penelitian yang sangat niat dan terorganisir tersebut? Sekadar peduli lingkungan kah? I don’t think so. Sudah menjadi rahasia umum jika LSM itu juga terkadang mencari bisnis. Kalau tidak? Bagaimana mereka hidup? Saya tidak mengatakan semua LSM itu mencari bisnis, ada juga LSM yang benar-benar peduli lingkungan dan masyarakat.
Tapi pemikiran kritis saya juga tidak secetek itu. Saya mencoba mencari tahu siapa itu MIGHTY dan pendukung-pendukungnya. Di Google, sulit menemukan LSM MIGHTY. Kemudian saya coba cari siapa itu Waxman, Aidenvironment, SKP KAMe Merauke, dan Pusaka. Nama terakhir merupakan NGO lokal yang bergerak di pemberdayaan manusia. Sedangkan SKP KAMe adalah Sekretariat Keadalian & Perdamaian Keuskupan Agung Merauke.
Lalu siapa itu Waxman dan Aidenvironment? Dua organisasi itu adalah milik asing. Aidenvironment berasal dari Belanda dan yang mencengangkan adalah Waxman Strategies. Berdasarkan penelusuran di website mereka www.waxmanstrategies.com, mereka itu sebuah lobbyist,konsultan politik, komunikasi, dan public affairs dari Amerika Serikat (AS) yang memang menangani klien-klien khususnya di bidang lingkungan hidup.
Ada orang Indonesia yang bekerja di sana, Bustar Maitar, yang juga menjadi Direktur MIGHTY serta jubir saat mempublikasikan laporan tersebut. Singkat kata, MIGHTY memang perpanjang-tanganan dari Waxman. Bahkan di twitter mereka, @TeamWaxman, sudah jelas menyebutkan bahwa MIGHTY merupakan campaign arm mereka. Yang menarik lainnya adalah orang nomor satu mereka, Henry A. Waxman, ternyata mantan anggota DPR AS dari Partai Demokrat. Berdasarkan kutipan ‘Who We Are’ di website mereka,
Tapi pemikiran kritis saya juga tidak secetek itu. Saya mencoba mencari tahu siapa itu MIGHTY dan pendukung-pendukungnya. Di Google, sulit menemukan LSM MIGHTY. Kemudian saya coba cari siapa itu Waxman, Aidenvironment, SKP KAMe Merauke, dan Pusaka. Nama terakhir merupakan NGO lokal yang bergerak di pemberdayaan manusia. Sedangkan SKP KAMe adalah Sekretariat Keadalian & Perdamaian Keuskupan Agung Merauke.
Lalu siapa itu Waxman dan Aidenvironment? Dua organisasi itu adalah milik asing. Aidenvironment berasal dari Belanda dan yang mencengangkan adalah Waxman Strategies. Berdasarkan penelusuran di website mereka www.waxmanstrategies.com, mereka itu sebuah lobbyist,konsultan politik, komunikasi, dan public affairs dari Amerika Serikat (AS) yang memang menangani klien-klien khususnya di bidang lingkungan hidup.
Ada orang Indonesia yang bekerja di sana, Bustar Maitar, yang juga menjadi Direktur MIGHTY serta jubir saat mempublikasikan laporan tersebut. Singkat kata, MIGHTY memang perpanjang-tanganan dari Waxman. Bahkan di twitter mereka, @TeamWaxman, sudah jelas menyebutkan bahwa MIGHTY merupakan campaign arm mereka. Yang menarik lainnya adalah orang nomor satu mereka, Henry A. Waxman, ternyata mantan anggota DPR AS dari Partai Demokrat. Berdasarkan kutipan ‘Who We Are’ di website mereka,
Quote:
With Henry at the helm, we work for a range of clients on environment, health care, telecommunications and other issues
Nah looohhhh....
Spoiler for Konspirasinya tuh di sini:
Perlu dicatat adalah kata “klien” di sana. Konsultan tidak akan mau kerja tanpa dibayar. Tidak akan bergerak jika ada tidak klien yang MEMBAYAR. Lalu ada kepentingan apa mereka jauh-jauh datang ke Papua for free? Mulia banget, bosss…. Kayanya gak mungkin ya mereka bergerak melakukan penelitian yang sedemikian niat tanpa bayaran. Sudah pasti, jawabannya ada klien yang membayar mereka.
SWASTA VS SWASTA
Lantas siapa klien yang membayar mereka untuk membuat penelitian? Itu yang masih menjadi RAHASIA BESAR. Bisa jadi ada perusahaan kompetitor dari AS yang ingin merebut lahan milik Korindo, yang notabene berasal dari Korea. Sekadar info, Korindo menyumbang sekitar 60% PAD Merauke. Artinya jika mereka cabut dari sana, berarti harus ada yang menggantikan kontribusi 60% tersebut kepada Merauke. Pertanyaannya siapa yang bisa menggantikan selain dari swasta? Sebuah pertempuran SWASTA vs SWASTA.
KELAPA SAWIT VS KEDELAI
Bisa jadi ini sebagai langkah menghancurkan industri kelapa sawit nasional. Industri kelapa sawit nasional memang sedang diserang habis-habisan atas tuduhan pembakaran hutan. Berbagai macam LSM dan NGO bergerak untuk menghentikan kegiatan bisnis kelapa sawit. Saya pernah ngobrol dengan teman yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan palm oil. Mereka juga sering mendapat serangan dari substitute product, yakni kedelai. Perlu dicatat bahwa kedelai ini sebagian besar dari AS. Artinya, AS juga ada kepentingan menggantikan produk kelapa sawit dengan kedelai. Berarti ini peperangan antara KELAPA SAWIT vs KEDELAI.
INDONESIA VS AMERIKA SERIKAT
Cukup masuk akal. Atau bisa jadi ini berskala lebih besar lagi. Urusannya AS yang ingin cari duit lagi di Papua, yang mungkin masih belum puas atas pengerukan ladang emas melalui Freeport-nya. Setelah tambang emas, mereka kini mengincar hutan-hutan di Indonesia mulai dari Riau, Kalimantan, hingga Papua. Kedoknya adalah perusakan lingkungan, tetapi ada agenda terselubung dan konspirasi di balik itu. So, ini adalah pertarungan INDONESIA vs AMERIKA SERIKAT.
Mungkin masih banyak llagi konspirasi-konspirasi yang muncul. Yang jelas, saya tidak akan percaya begitu saja dengan LSM yang berkedok peduli lingkungan dan masyarakat. Cari tahu dulu siapa yang mendukung mereka di belakang. Apalagi, tuduhan mereka soal hutan Papua yang habis dibabat bisa dianggap melecehkan masyarakat Papua yang seolah-olah tidak becus mengurus sumber daya alam mereka.
SWASTA VS SWASTA
Lantas siapa klien yang membayar mereka untuk membuat penelitian? Itu yang masih menjadi RAHASIA BESAR. Bisa jadi ada perusahaan kompetitor dari AS yang ingin merebut lahan milik Korindo, yang notabene berasal dari Korea. Sekadar info, Korindo menyumbang sekitar 60% PAD Merauke. Artinya jika mereka cabut dari sana, berarti harus ada yang menggantikan kontribusi 60% tersebut kepada Merauke. Pertanyaannya siapa yang bisa menggantikan selain dari swasta? Sebuah pertempuran SWASTA vs SWASTA.
KELAPA SAWIT VS KEDELAI
Bisa jadi ini sebagai langkah menghancurkan industri kelapa sawit nasional. Industri kelapa sawit nasional memang sedang diserang habis-habisan atas tuduhan pembakaran hutan. Berbagai macam LSM dan NGO bergerak untuk menghentikan kegiatan bisnis kelapa sawit. Saya pernah ngobrol dengan teman yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan palm oil. Mereka juga sering mendapat serangan dari substitute product, yakni kedelai. Perlu dicatat bahwa kedelai ini sebagian besar dari AS. Artinya, AS juga ada kepentingan menggantikan produk kelapa sawit dengan kedelai. Berarti ini peperangan antara KELAPA SAWIT vs KEDELAI.
INDONESIA VS AMERIKA SERIKAT
Cukup masuk akal. Atau bisa jadi ini berskala lebih besar lagi. Urusannya AS yang ingin cari duit lagi di Papua, yang mungkin masih belum puas atas pengerukan ladang emas melalui Freeport-nya. Setelah tambang emas, mereka kini mengincar hutan-hutan di Indonesia mulai dari Riau, Kalimantan, hingga Papua. Kedoknya adalah perusakan lingkungan, tetapi ada agenda terselubung dan konspirasi di balik itu. So, ini adalah pertarungan INDONESIA vs AMERIKA SERIKAT.
Mungkin masih banyak llagi konspirasi-konspirasi yang muncul. Yang jelas, saya tidak akan percaya begitu saja dengan LSM yang berkedok peduli lingkungan dan masyarakat. Cari tahu dulu siapa yang mendukung mereka di belakang. Apalagi, tuduhan mereka soal hutan Papua yang habis dibabat bisa dianggap melecehkan masyarakat Papua yang seolah-olah tidak becus mengurus sumber daya alam mereka.
Gimanaaa? seru gak gan? ane ngambil sumbernya di sini
Pict nya gan
Spoiler for Sumber lain yang mendukung teori konspirasi:
Amerika Serikat menghadang CPO, karet, dan pulp and paper Indonesia sebagai produk ramah lingkungan di sidang APEC. Politik dagang untuk melindungi petani dan industri mereka. Tapi isu yang disampaikan mengada-ada.
***
Perang dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda. Medan pertempuran terbaru ada di pertemuan Senior Officials Meeting ketiga, Asia Pacific Economic Cooperation (SOM, APEC), di Medan, Sumatera Utara, yang berakhir pada Ahad lalu. Indonesia berhadap-hadapan dengan Amerika untuk urusan minyak sawit, karet, dan pulp and paper.
Pada pertemuan itu, Indonesia menambahkan usulan produk yang masuk dalam APEC Environmental Goods (EG List) atau daftar produk ramah lingkungan. Mereka adalah sawit, karet, serta pulp and paper. Di dua SOM sebelumnya, yakni di Jakarta dan Surabaya, hanya minyak sawit dan karet yang diajukan. Selama ini AS selalu berdiri paling depan untuk mengganjalnya.
Indonesia berkepentingan untuk memasukkan sawit, karet, dan pulp and paper sebagai "produk hijau" agar bisa menikmati insentif berupa bea masuk ke negara pembeli maksimal 5% mulai 2015 mendatang. Saat ini, bea masuk ke mereka lebih dari 5%.
Hasil pertemuan SOM itu masih akan dibahas lagi dalam pertemuan puncak pemimpin APEC di Bali pada 1-8 Oktober mendatang. Di Pulau Dewata inilah nantinya akan diputuskan apakah tiga komoditas unggulan Indonesia itu masuk dalam produk ramah lingkungan.
Minyak sawit atau crude palm oil (CPO), karet, dan pulp and paper adalah andalan utama ekspor non-migas Indonesia. Untuk CPO. misalnya, tahun lalu dari produksi CPO 26,5 juta ton, sebesar 18 juta ton diekspor, yang menghasilkan devisa US$ 21 milyar atau sekitar Rp 205 trilyun.
Ini setara dengan 13,7% dari ekspor non-migas Indonesia, yang besarnya US$ 153 milyar. Indonesia adalah penghasil utama sawit dunia bersama Malaysia. Dua negara ini menyumbang 90% produksi dunia.
Adapun untuk karet, dari produksi 3,04 juta ton, sebesar 2.444 juta ton diekspor yang menghasilkan devisa US$ 7,86 milyar atau sekitar Rp 77 trilyun. Indonesia dan Malaysia adalah penghasil utama karet di dunia. Kedua negara ini menyumbang 60% produksi dunia.
Sedangkan industri pulp and paper menghasilkan 8 juta ton pulp dan 13 juta ton kertas. Tahun lalu, ekspor pulp and paper sebesar 6,2 juta ton, menghasilkan devisa US$ 4,2 milyar atau sekitar Rp 41,2 trilyun.
Bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, produktivitas sawit jauh lebih unggul. Satu hektare kebun sawit sanggup menghasilkan tujuh ton minyak, sedangkan 1 hektare kebun kedelai hanya menghasilkan 0,45 ton minyak. Bila dibandingkan dengan kanola dan bunga matahari, produktivitas sawit 10 kali lipat.
Perkembangan industri sawit, yang kini menjadi primadona, bakal mengancam negara penghasil minyak nabati lainnya. Amerika Serikat, misalnya, adalah produsen utama kedelai dan jagung di dunia. Negara adidaya itu juga menghasilkan bunga matahari dan kanola, namun tak sebesar negara-negara di Eropa.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk menghadang laju sawit itu. Mulai hadangan non-tarif hingga tekanan dari lembaga swadaya masyarakat internasional yang diduga berada di balik kepentingan petani AS dan Eropa. Adalah isu lingkungan yang kemudian diusung Washington untuk "memberangus" sawit. Awal tahun lalu, misalnya, Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA) memasukkan sawit dalam daftar hitam mereka.
Menurut EPA, minyak sawit tidak masuk dalam daftar sumber energi hijau terbarukan. Adapun yang masuk daftar hijau adalah kedelai, bunga matahari, jagung, dan kanola. EPA memang tak menyarankan pelarangan impor sawit dari Indonesia dan Malaysia. Namun, temuan EPA itu jelas-jelas merupakan bentuk boikot atas sawit Indonesia yang berlaku bagi pelaku bisnis energi terbarukan di Amerika.
AS sebenarnya bukan pasar utama ekspor minyak sawit Indonesia. Jumlah ekspor CPO ke sana tergolong kecil. Besarnya di kisaran 62.000 ton atau 0,34% ekspor CPO Indonesia. "Namun jangan hanya dilihat angka itu. Suara Amerika bisa berdampak luas ke seluruh dunia," kata Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Indonesia, kata Joko, sudah mengajukan sanggahan. EPA juga sudah datang ke Riau untuk melihat langsung pengelolaan sawit. "Hasilnya EPA menetapkan sawit Indonesia ramah lingkungan," kata Joko. Toh, keputusan EPA ini bukanlah suara Washington.
"EPA itu kayak Kementerian Lingkungan Hidup, putusan Amerika soal sawit tergantung Presiden Amerika," ia menambahkan. Gedung Putih, kata Joko, akan semaksimal mungkin untuk melindungi petani kedelai dan jagung mereka. "Isu lingkungan yang mengada-ada, atau isu lainnya yang mengada-ada juga, akan selalu dijadikan senjata untuk pertempuran," katanya.
Dari sisi lingkungan, sawit sebenarnya lebih ramah lingkungan dibandingkan pesaingnya. Tanaman biji-bijian penghasil minyak lebih boros lahan dan tidak banyak menghasilkan oksigen. Sawit hanya menggunakan lahan 5%, tapi menyumbang produksi dunia 32%. Kedelai menggunakan lahan 42%, tapi hanya menyumbang produksi dunia 25%. Daur hidup sawit juga lebih panjang dibandingan biji-bijian penghasil minyak, sehingga lebih sedikit meninggalkan jejak karbon dari pengolahan.
Untuk menggenjot produksinya, ekspansi lahan kedelai di AS, kata Joko, mencapai 1 juta hektare per tahun. "Sedangkan pertambahan lahan sawit kita lambat," katanya. Apalagi dengan adanya moratorium konversi hutan menjadi lahan sawit di Indonesia hingga 2014, sebagaimana isi Kesepakatan Oslo antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia.
Negara Skandinavia ini berkomitmen mengucurkan hibah US$ 1 milyar untuk Pemerintah Indonesia dalam program itu. "Kesepakatan itu sebenarnya jelas merugikan kita dan sebaiknya tidak terjadi lagi," Joko menambahkan.
Karet Indonesia juga menjadi ancaman bagi AS, yang sedang mengembangkan karet alam dari tanaman asli Amerika bernama guayule. "Tanaman ini sedang dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan Amerika terhadap karet alami yang berasal dari negara-negara tropis," kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Daud Husni Bastari, kepada GATRA.
Produksi karet guayale ini mirip dengan produksi jagung. Caranya, karet dari guayale dipanen, bekas tananam dibabat, lahan diolah kemudian ditanam bibit baru. Ini berbeda dengan karet Indonesia. Pohon yang sudah berproduksi bisa dipanen untuk 25 tahun selanjutnya. "Jadi Amerika menolak karet masuk produk ramah lingkungan untuk menjaga kepentingan mereka," kata Husni.
Di Indonesia, karet lebih banyak dibudidayakan masyarakat. Dari lahan karet seluas 3,456 juta hektare, 85% adalah perkebunan rakyat. Sisanya, sebesar 7% kebun pemerintah dan 8% kebun swasta. Petani biasanya memiliki 2-5 hektar lahan, seperti halnya di Thailand, Malaysia, dan negara penghasil karet lainnya.
Forum APEC, kata Husni, memang tak melulu soal kerja sama seperti namanya. "Di APEC sendiri kompetisi cukup ketat, seperti di industri karet ada kompetisi karet alam dan sintetis," katanya. Karet alam berasal dari negara berkembang, adapun karet sintetis dari negara maju.
Husni menjelaskan bahwa karet termasuk tanaman hutan yang mampu mengurangi pemanasan global. Berdasarkan kriteria United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang termasuk sebagai tanaman hutan adalah tanaman hutan dengan ketinggian 2 meter hingga 5 meter, dengan kanopi 10%-30%. Luas area minimalnya 1 hektare agar dapat memiliki fungsi sebagai hutan.
Pohon karet juga meluruhkan daun tiap tahun sehingga biomassanya ada tiap tahun. Karakteristik pohon karet yang memiliki kanopi dapat menutupi tanah yang mampu menangkal air hujan langsung mengenai tanah. Sehingga dapat mencegah penggerusan tanah. Daya serap airnya pun tinggi.
Pohon karet juga mampu menyerap 31 ton-39 ton karbondioksida per hektare per tahun. Adapun oksigen yang dihasilkannya mencapai 25 ton. Dengan luas lahan sawit di Indonesia yang 3,456 juta hektare, "Jelas ramah lingkungan sekali," kata Husni. "Seharusnya negara maju berterima kasih kepada Indonesia atas oksigen yang dihasilkan pohon karet."
Yang mengherankan dari APEC terkait dengan produk yang ramah lingkungan adalah penentuan yang seenaknya. Sebagai perbandingan adalah masuknya bambu sebagai produk ramah lingkungan. Sebab, Amerika tak terganggu oleh komoditas ini.
***
Pulp and paper asal Indonesia juga menjadi momok bagi produsen di AS dan Eropa. Indonesia, sebagai negara tropis, memiliki keunggulan dalam penyediaan bahan baku. Pohon yang menjadi bahan baku pulp and paper di Indonesia berasal dari hutan tanaman industri yang bisa dipanen dalam waktu sekitar lima-tujuh tahun. Ini berbeda dengan bahan baku kayu di AS maupun Eropa yang baru bisa dipanen di kisaran 50 tahun.
AS, Jepang, dan Eropa pun menjadikan isu lingkungan sebagai senjata untuk menghantam industri pulp and paper Indonesia. Isu perusakan hutan, misalnya getol disuarakan LSM asing yang berkantor di sini. Mereka pura-pura tak sadar bahwa sejak ratusan lalu Amerika dan Eropa menggunduli hutannya untuk kepentingan industri mereka.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Iman Subagyo, menjelaskan bahwa berbagai upaya dilakukan untuk menggolkan masuknya CPO, karet, dan pulp and paper. Misalnya, pendekatan bilateral dan melalui forum terkait seperti Market Access Group, Committee on Trade and Investment, Senior Official Meeting 1 hingga 3 dan Pertemuan APEC Ministers Responsible for Trade.
Ekonomi APEC, kata Iman, belum dapat menerima usulan Indonesia itu lebih karena masalah prosedur. "Bila EG List yang telah disepakati pada KTT APEC di Vladivostok, Rusia tahun lalu dibuka kembali untuk memasukkan CPO dan karet sebagaimana diminta Indonesia, maka ekonomi APEC lain pun harus mendapatkan kesempatan sama untuk menambahkan produk ke dalam EG List," kata Iman dalam jawaban tertulis kepada Michael Agustinus dari GATRA. Hal ini berarti APEC harus melakukan lagi negosiasi di antara sesama negara anggotanya, yang pada tahun 2012 terbukti cukup sulit, hingga akhirnya menyepakati 54 produk EG List.
Pemerintah sendiri terkesan masih malu-malu kucing berhadapan dengan Amerika dalam urusan sawit dan karet. Iman Subagyo menyebutkan bahwa penolakan-penolakan Amerika terhadap masuknya karet dan CPO dalam produk ramah lingkungan lebih karena masalah prosedur.
Namun, Iman menambahkan, penolakan ini tampaknya juga terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan proses kajian yang dilakukan EPA. EPA masih mempelajari pengelolaan lahan sawit di Indonesia, apakah telah memenuhi komitmen pencapaian ambang batas pengurangan emisi gas buang.
Karena itulah dalam SOM-3 di Medan, Indonesia mengganti strategi. Indonesia mengusulkan diadakannya kajian mendalam dan menggelar dialog kebijakan perdagangan dalam rangka mempromosikan produk-produk yang berkonstribusi pada masalah lingkungan dan energi terbarukan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. "Tentu termasuk di dalamnya produk CPO dan karet," katanya.
Strategi itu dinilai akan lebih berkelanjutan daripada sekadar menambahkan dua hingga tiga produk ke dalam EG List. "Sejumlah ekonomi APEC secara tentatif menyatakan dapat mendukung proposal Indonesia ini," kata Iman.
sumur
***
Perang dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda. Medan pertempuran terbaru ada di pertemuan Senior Officials Meeting ketiga, Asia Pacific Economic Cooperation (SOM, APEC), di Medan, Sumatera Utara, yang berakhir pada Ahad lalu. Indonesia berhadap-hadapan dengan Amerika untuk urusan minyak sawit, karet, dan pulp and paper.
Pada pertemuan itu, Indonesia menambahkan usulan produk yang masuk dalam APEC Environmental Goods (EG List) atau daftar produk ramah lingkungan. Mereka adalah sawit, karet, serta pulp and paper. Di dua SOM sebelumnya, yakni di Jakarta dan Surabaya, hanya minyak sawit dan karet yang diajukan. Selama ini AS selalu berdiri paling depan untuk mengganjalnya.
Indonesia berkepentingan untuk memasukkan sawit, karet, dan pulp and paper sebagai "produk hijau" agar bisa menikmati insentif berupa bea masuk ke negara pembeli maksimal 5% mulai 2015 mendatang. Saat ini, bea masuk ke mereka lebih dari 5%.
Hasil pertemuan SOM itu masih akan dibahas lagi dalam pertemuan puncak pemimpin APEC di Bali pada 1-8 Oktober mendatang. Di Pulau Dewata inilah nantinya akan diputuskan apakah tiga komoditas unggulan Indonesia itu masuk dalam produk ramah lingkungan.
Minyak sawit atau crude palm oil (CPO), karet, dan pulp and paper adalah andalan utama ekspor non-migas Indonesia. Untuk CPO. misalnya, tahun lalu dari produksi CPO 26,5 juta ton, sebesar 18 juta ton diekspor, yang menghasilkan devisa US$ 21 milyar atau sekitar Rp 205 trilyun.
Ini setara dengan 13,7% dari ekspor non-migas Indonesia, yang besarnya US$ 153 milyar. Indonesia adalah penghasil utama sawit dunia bersama Malaysia. Dua negara ini menyumbang 90% produksi dunia.
Adapun untuk karet, dari produksi 3,04 juta ton, sebesar 2.444 juta ton diekspor yang menghasilkan devisa US$ 7,86 milyar atau sekitar Rp 77 trilyun. Indonesia dan Malaysia adalah penghasil utama karet di dunia. Kedua negara ini menyumbang 60% produksi dunia.
Sedangkan industri pulp and paper menghasilkan 8 juta ton pulp dan 13 juta ton kertas. Tahun lalu, ekspor pulp and paper sebesar 6,2 juta ton, menghasilkan devisa US$ 4,2 milyar atau sekitar Rp 41,2 trilyun.
Bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, produktivitas sawit jauh lebih unggul. Satu hektare kebun sawit sanggup menghasilkan tujuh ton minyak, sedangkan 1 hektare kebun kedelai hanya menghasilkan 0,45 ton minyak. Bila dibandingkan dengan kanola dan bunga matahari, produktivitas sawit 10 kali lipat.
Perkembangan industri sawit, yang kini menjadi primadona, bakal mengancam negara penghasil minyak nabati lainnya. Amerika Serikat, misalnya, adalah produsen utama kedelai dan jagung di dunia. Negara adidaya itu juga menghasilkan bunga matahari dan kanola, namun tak sebesar negara-negara di Eropa.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk menghadang laju sawit itu. Mulai hadangan non-tarif hingga tekanan dari lembaga swadaya masyarakat internasional yang diduga berada di balik kepentingan petani AS dan Eropa. Adalah isu lingkungan yang kemudian diusung Washington untuk "memberangus" sawit. Awal tahun lalu, misalnya, Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA) memasukkan sawit dalam daftar hitam mereka.
Menurut EPA, minyak sawit tidak masuk dalam daftar sumber energi hijau terbarukan. Adapun yang masuk daftar hijau adalah kedelai, bunga matahari, jagung, dan kanola. EPA memang tak menyarankan pelarangan impor sawit dari Indonesia dan Malaysia. Namun, temuan EPA itu jelas-jelas merupakan bentuk boikot atas sawit Indonesia yang berlaku bagi pelaku bisnis energi terbarukan di Amerika.
AS sebenarnya bukan pasar utama ekspor minyak sawit Indonesia. Jumlah ekspor CPO ke sana tergolong kecil. Besarnya di kisaran 62.000 ton atau 0,34% ekspor CPO Indonesia. "Namun jangan hanya dilihat angka itu. Suara Amerika bisa berdampak luas ke seluruh dunia," kata Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Indonesia, kata Joko, sudah mengajukan sanggahan. EPA juga sudah datang ke Riau untuk melihat langsung pengelolaan sawit. "Hasilnya EPA menetapkan sawit Indonesia ramah lingkungan," kata Joko. Toh, keputusan EPA ini bukanlah suara Washington.
"EPA itu kayak Kementerian Lingkungan Hidup, putusan Amerika soal sawit tergantung Presiden Amerika," ia menambahkan. Gedung Putih, kata Joko, akan semaksimal mungkin untuk melindungi petani kedelai dan jagung mereka. "Isu lingkungan yang mengada-ada, atau isu lainnya yang mengada-ada juga, akan selalu dijadikan senjata untuk pertempuran," katanya.
Dari sisi lingkungan, sawit sebenarnya lebih ramah lingkungan dibandingkan pesaingnya. Tanaman biji-bijian penghasil minyak lebih boros lahan dan tidak banyak menghasilkan oksigen. Sawit hanya menggunakan lahan 5%, tapi menyumbang produksi dunia 32%. Kedelai menggunakan lahan 42%, tapi hanya menyumbang produksi dunia 25%. Daur hidup sawit juga lebih panjang dibandingan biji-bijian penghasil minyak, sehingga lebih sedikit meninggalkan jejak karbon dari pengolahan.
Untuk menggenjot produksinya, ekspansi lahan kedelai di AS, kata Joko, mencapai 1 juta hektare per tahun. "Sedangkan pertambahan lahan sawit kita lambat," katanya. Apalagi dengan adanya moratorium konversi hutan menjadi lahan sawit di Indonesia hingga 2014, sebagaimana isi Kesepakatan Oslo antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia.
Negara Skandinavia ini berkomitmen mengucurkan hibah US$ 1 milyar untuk Pemerintah Indonesia dalam program itu. "Kesepakatan itu sebenarnya jelas merugikan kita dan sebaiknya tidak terjadi lagi," Joko menambahkan.
Karet Indonesia juga menjadi ancaman bagi AS, yang sedang mengembangkan karet alam dari tanaman asli Amerika bernama guayule. "Tanaman ini sedang dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan Amerika terhadap karet alami yang berasal dari negara-negara tropis," kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Daud Husni Bastari, kepada GATRA.
Produksi karet guayale ini mirip dengan produksi jagung. Caranya, karet dari guayale dipanen, bekas tananam dibabat, lahan diolah kemudian ditanam bibit baru. Ini berbeda dengan karet Indonesia. Pohon yang sudah berproduksi bisa dipanen untuk 25 tahun selanjutnya. "Jadi Amerika menolak karet masuk produk ramah lingkungan untuk menjaga kepentingan mereka," kata Husni.
Di Indonesia, karet lebih banyak dibudidayakan masyarakat. Dari lahan karet seluas 3,456 juta hektare, 85% adalah perkebunan rakyat. Sisanya, sebesar 7% kebun pemerintah dan 8% kebun swasta. Petani biasanya memiliki 2-5 hektar lahan, seperti halnya di Thailand, Malaysia, dan negara penghasil karet lainnya.
Forum APEC, kata Husni, memang tak melulu soal kerja sama seperti namanya. "Di APEC sendiri kompetisi cukup ketat, seperti di industri karet ada kompetisi karet alam dan sintetis," katanya. Karet alam berasal dari negara berkembang, adapun karet sintetis dari negara maju.
Husni menjelaskan bahwa karet termasuk tanaman hutan yang mampu mengurangi pemanasan global. Berdasarkan kriteria United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang termasuk sebagai tanaman hutan adalah tanaman hutan dengan ketinggian 2 meter hingga 5 meter, dengan kanopi 10%-30%. Luas area minimalnya 1 hektare agar dapat memiliki fungsi sebagai hutan.
Pohon karet juga meluruhkan daun tiap tahun sehingga biomassanya ada tiap tahun. Karakteristik pohon karet yang memiliki kanopi dapat menutupi tanah yang mampu menangkal air hujan langsung mengenai tanah. Sehingga dapat mencegah penggerusan tanah. Daya serap airnya pun tinggi.
Pohon karet juga mampu menyerap 31 ton-39 ton karbondioksida per hektare per tahun. Adapun oksigen yang dihasilkannya mencapai 25 ton. Dengan luas lahan sawit di Indonesia yang 3,456 juta hektare, "Jelas ramah lingkungan sekali," kata Husni. "Seharusnya negara maju berterima kasih kepada Indonesia atas oksigen yang dihasilkan pohon karet."
Yang mengherankan dari APEC terkait dengan produk yang ramah lingkungan adalah penentuan yang seenaknya. Sebagai perbandingan adalah masuknya bambu sebagai produk ramah lingkungan. Sebab, Amerika tak terganggu oleh komoditas ini.
***
Pulp and paper asal Indonesia juga menjadi momok bagi produsen di AS dan Eropa. Indonesia, sebagai negara tropis, memiliki keunggulan dalam penyediaan bahan baku. Pohon yang menjadi bahan baku pulp and paper di Indonesia berasal dari hutan tanaman industri yang bisa dipanen dalam waktu sekitar lima-tujuh tahun. Ini berbeda dengan bahan baku kayu di AS maupun Eropa yang baru bisa dipanen di kisaran 50 tahun.
AS, Jepang, dan Eropa pun menjadikan isu lingkungan sebagai senjata untuk menghantam industri pulp and paper Indonesia. Isu perusakan hutan, misalnya getol disuarakan LSM asing yang berkantor di sini. Mereka pura-pura tak sadar bahwa sejak ratusan lalu Amerika dan Eropa menggunduli hutannya untuk kepentingan industri mereka.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Iman Subagyo, menjelaskan bahwa berbagai upaya dilakukan untuk menggolkan masuknya CPO, karet, dan pulp and paper. Misalnya, pendekatan bilateral dan melalui forum terkait seperti Market Access Group, Committee on Trade and Investment, Senior Official Meeting 1 hingga 3 dan Pertemuan APEC Ministers Responsible for Trade.
Ekonomi APEC, kata Iman, belum dapat menerima usulan Indonesia itu lebih karena masalah prosedur. "Bila EG List yang telah disepakati pada KTT APEC di Vladivostok, Rusia tahun lalu dibuka kembali untuk memasukkan CPO dan karet sebagaimana diminta Indonesia, maka ekonomi APEC lain pun harus mendapatkan kesempatan sama untuk menambahkan produk ke dalam EG List," kata Iman dalam jawaban tertulis kepada Michael Agustinus dari GATRA. Hal ini berarti APEC harus melakukan lagi negosiasi di antara sesama negara anggotanya, yang pada tahun 2012 terbukti cukup sulit, hingga akhirnya menyepakati 54 produk EG List.
Pemerintah sendiri terkesan masih malu-malu kucing berhadapan dengan Amerika dalam urusan sawit dan karet. Iman Subagyo menyebutkan bahwa penolakan-penolakan Amerika terhadap masuknya karet dan CPO dalam produk ramah lingkungan lebih karena masalah prosedur.
Namun, Iman menambahkan, penolakan ini tampaknya juga terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan proses kajian yang dilakukan EPA. EPA masih mempelajari pengelolaan lahan sawit di Indonesia, apakah telah memenuhi komitmen pencapaian ambang batas pengurangan emisi gas buang.
Karena itulah dalam SOM-3 di Medan, Indonesia mengganti strategi. Indonesia mengusulkan diadakannya kajian mendalam dan menggelar dialog kebijakan perdagangan dalam rangka mempromosikan produk-produk yang berkonstribusi pada masalah lingkungan dan energi terbarukan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. "Tentu termasuk di dalamnya produk CPO dan karet," katanya.
Strategi itu dinilai akan lebih berkelanjutan daripada sekadar menambahkan dua hingga tiga produk ke dalam EG List. "Sejumlah ekonomi APEC secara tentatif menyatakan dapat mendukung proposal Indonesia ini," kata Iman.
sumur
segitu aja gan nanti kalo ane nemu yang aneh2 lagi ane share yaa
0
2.4K
Kutip
28
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan