- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tempo Melintir Berita "Barter Ahok dengan Podomoro"?
TS
nawakamala
Tempo Melintir Berita "Barter Ahok dengan Podomoro"?
Gan, ini menarik nih buat diikuti.
Quote:
Mempertanyakan Istilah "Barter" TEMPO untuk Ahok
Grup Media Tempo menggunakan istilah "barter" untuk kontribusi tambahan yang menjadi kewajiban tambahan bagi Para Pengembang Reklamasi yang ingin memperoleh izin pelaksanaan dari Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Koran Tempo, 11 Mei 2016, yang kemudian dimuat di web tempo.co menurunkan berita "Podomoro Klaim Biaya Penggusuran Kalijodo Barter Reklamasi"
https://m.tempo.co/read/news/2016/05...rter-reklamasi
Istilah "barter" dari Tempo, karena dalam kutipan wawancara dengan Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, tersangka kasus suap Raperda Reklamasi dan sumber utama berita ini, Ariesman menggunakan istilah "kewajiban tambahan" tidak ada istilah "barter".
(“Proyek-proyek itu merupakan kewajiban tambahan yang diminta pemerintah Jakarta atau Gubernur Basuki Tjahaja Purnama,” kata Ariesman, tersangka suap reklamasi.)
"BARTER" Istilah yang Buruk dan Menyudutkan
Istilah "barter" adalah isilah yang berasal dari dunia perdagangan, dalam konteks ini, "barter" adalah istilah yang netral, namun istilah "barter" akan memberikan kesan yang buruk dan menyudutkan bila dipakai dalam konteks kebijakan politik.
Arti "barter" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "perdagangan dengan saling bertukar barang". Berarti Tempo telah menuduh Ahok melakukan "politik dagang" dengan cara tukar-menukar. “Politik barter” adalah politik transaksional, politik dagang sapi yang merupakan sistem pemerintahan yang rusak dan korup.
Tempo telah menyudutkan dan telah melakukan stigma buruk terhadap kebijakan yang dikeluarkan Ahok dengan istilah “barter” itu.
Sedangkan istilah yang dipakai oleh Ahok dalam Keputusan Gubernur untuk izin pelaksanaan adalah kontribusi. Dalam KBBI kontribusi berarti (1) uang iuran (kepada perkumpulan dan sebagainya); (2) sumbangan. Tapi dalam pelaksanaan Keputusan Gubernur ini kontribusi tidak dalam pembayaran uang, tapi langsung dalam bentuk fisik, misalnya, Pembangunan Rusun sebagai kontribusi izin pelaksanaan reklamasi.
Apakah kata "barter" bisa menggantikan kata "kontribusi"? Tidak bisa. Dalam sinonim kata "barter" memiliki padanan: tukar barang, tukar guling, tukar lalu.
Dalam kontribusi tidak ada barter, karena kontribusi merupakan pemberian dari sepihak, bila wajib disebut iuran, bila sukarela disebut sumbangan. Sedangkan dalam “barter” kedua belah pihak harus menerima sebagai pertukaran barang setelah proses tawar menawar.
Dalam konteks Surat Keputusan Gubernur DKI, kontribusi itu bisa disebut kewajiban tambahan, artinya kalau mau memperoleh izin pelaksanaan reklamasi, pengembang wajib melaksanakan kontribusi sebagai kewajiban tambahan. Kontribusi itu berupa pengerukan sedimentasi sungai di daratan, pembangunan rusun, penataan dan revitalisasi Pantura Jakarta, pembangunan infrastruktur banjir: pembangunan rumah dan pompa, waduk dan lain-lainnya.
Artinya kontribusi tambahan ini merupakan kewajiban. Karena wajib maka tidak boleh ada tawar menawar. Sering pula kontribusi tambahan ini disebut: kompensasi. Dalam KBBI "kompensasi" disebut (1) ganti rugi; (2) pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya.
Maka kontribusi ini bisa disebut kewajiban tambahan, bisa disebut pula sebagai kompensasi karena bersifat wajib dan bersifat perintah serta ada sanksi kalau tidak ditunaikan. Ini berbeda dari istilah "barter" yang merupakan istilah perdagangan untuk tukar menukar barang dengan tawar menawar dan secara sukarela.
Kebijakan kontribusi Ahok ini jelas-jelas untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadinya. Pembangun rusun, pengerukan waduk, normalisasi sungai, pembangunan taman-taman dan fasilitas-fasilitas publik lainnya berasal dari kebijakan kontribusi ini.
AHOK TIDAK LAKUKAN "BARTER"
Karena Tempo sudah terlanjur menyudutkan Ahok dengan istilah "barter", lantas apa yang dibarter itu? Kata Tempo: (Kata "barter" merujuk pada kebijakan Ahok yang meminta pengerjaan 13 proyek ditukar dengan rencana penghapusan atau penurunan kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi.)
https://nasional.tempo.co/read/news/...er-proyek-rekl
Ini tuduhan serius dari Tempo. Faktanya, alih-alih Ahok menghapus atau menurunkan kontribusi tambahan dalam Raperda Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara, Ahok malah MENAMBAHKAN poin baru! Yakni: kontribusi 15% dari NJOP yang tidak ada dalam Keputusan Gubernur dalam izin pelaksanaan reklamasi.
Dalam draft Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara yang berasal dari Pemprov DKI disebutkan:
Pasal 116
Ayat 10
Tambahan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c diberikan dalam rangka:
a. revitalisasi kawasan Utara Jakarta; dan
b. revitalisasi daratan Jakarta secara keseluruhan.
Ayat 11
Tambahan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dihitung sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.
Ayat 10 dari Pasal 116 itu sudah disebutkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta, sedangkan ayat 11 adalah tambahan baru! Ayat 11 inilah yang menyeret Sanusi dan Ariesman Widjaja karena melakukan politik dagang, Sanusi mau membarter hilangnya ayat 11 itu dengan sejumlah uang sogokan!
Kalau Tempo gunakan istilah “barter” untuk tindakan Sanusi dan Ariesman, maka tepatlah adanya, namun bila digunakan untuk kebijakan kontribusi yang diputuskan Ahok, penggunaan istilah “barter” merupakan penyalahgunaan istilah yang disengaja dengan tujuan menyudutkan yang ujung-ujunhnya adalah melakukan tuduhan, bahwa Ahok telah melakukan “barter” (tukar menekar kebijakan melalui proses tawar-menawar). Padahal, dari fakta di lapangan, justeru Ahok MENAMBAHKAN kontribusi tambahan 15 % dari NJOP.
Ironisnya, istilah “barter” dari Tempo ini mulai dipakai oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dalam Majalah Tempo edisi 23-29 Mei 2016. ("Sedang kami selidiki dasar hukum barter itu"). Iya, media memang mampu membentuk opini publik, kesalahan Tempo memakai kata “barter” kini dipakai orang sekelas Ketua KPK. Di sinilah bahayanya. Kalau saja dari awal sudah salah memahami kasus dan masalah, apakah dijamin tidak adanya kesalahan-kesalahan selanjutnya?
Semoga Tempo dan Ketua KPK menyadari kesalahan ini sebelum melanjutkan dengan kesalahan-kesalahan baru.
SUMUR: https://www.facebook.com/nmahmada/po...08456056613090
Grup Media Tempo menggunakan istilah "barter" untuk kontribusi tambahan yang menjadi kewajiban tambahan bagi Para Pengembang Reklamasi yang ingin memperoleh izin pelaksanaan dari Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Koran Tempo, 11 Mei 2016, yang kemudian dimuat di web tempo.co menurunkan berita "Podomoro Klaim Biaya Penggusuran Kalijodo Barter Reklamasi"
https://m.tempo.co/read/news/2016/05...rter-reklamasi
Istilah "barter" dari Tempo, karena dalam kutipan wawancara dengan Ariesman Widjaja, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, tersangka kasus suap Raperda Reklamasi dan sumber utama berita ini, Ariesman menggunakan istilah "kewajiban tambahan" tidak ada istilah "barter".
(“Proyek-proyek itu merupakan kewajiban tambahan yang diminta pemerintah Jakarta atau Gubernur Basuki Tjahaja Purnama,” kata Ariesman, tersangka suap reklamasi.)
"BARTER" Istilah yang Buruk dan Menyudutkan
Istilah "barter" adalah isilah yang berasal dari dunia perdagangan, dalam konteks ini, "barter" adalah istilah yang netral, namun istilah "barter" akan memberikan kesan yang buruk dan menyudutkan bila dipakai dalam konteks kebijakan politik.
Arti "barter" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "perdagangan dengan saling bertukar barang". Berarti Tempo telah menuduh Ahok melakukan "politik dagang" dengan cara tukar-menukar. “Politik barter” adalah politik transaksional, politik dagang sapi yang merupakan sistem pemerintahan yang rusak dan korup.
Tempo telah menyudutkan dan telah melakukan stigma buruk terhadap kebijakan yang dikeluarkan Ahok dengan istilah “barter” itu.
Sedangkan istilah yang dipakai oleh Ahok dalam Keputusan Gubernur untuk izin pelaksanaan adalah kontribusi. Dalam KBBI kontribusi berarti (1) uang iuran (kepada perkumpulan dan sebagainya); (2) sumbangan. Tapi dalam pelaksanaan Keputusan Gubernur ini kontribusi tidak dalam pembayaran uang, tapi langsung dalam bentuk fisik, misalnya, Pembangunan Rusun sebagai kontribusi izin pelaksanaan reklamasi.
Apakah kata "barter" bisa menggantikan kata "kontribusi"? Tidak bisa. Dalam sinonim kata "barter" memiliki padanan: tukar barang, tukar guling, tukar lalu.
Dalam kontribusi tidak ada barter, karena kontribusi merupakan pemberian dari sepihak, bila wajib disebut iuran, bila sukarela disebut sumbangan. Sedangkan dalam “barter” kedua belah pihak harus menerima sebagai pertukaran barang setelah proses tawar menawar.
Dalam konteks Surat Keputusan Gubernur DKI, kontribusi itu bisa disebut kewajiban tambahan, artinya kalau mau memperoleh izin pelaksanaan reklamasi, pengembang wajib melaksanakan kontribusi sebagai kewajiban tambahan. Kontribusi itu berupa pengerukan sedimentasi sungai di daratan, pembangunan rusun, penataan dan revitalisasi Pantura Jakarta, pembangunan infrastruktur banjir: pembangunan rumah dan pompa, waduk dan lain-lainnya.
Artinya kontribusi tambahan ini merupakan kewajiban. Karena wajib maka tidak boleh ada tawar menawar. Sering pula kontribusi tambahan ini disebut: kompensasi. Dalam KBBI "kompensasi" disebut (1) ganti rugi; (2) pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya.
Maka kontribusi ini bisa disebut kewajiban tambahan, bisa disebut pula sebagai kompensasi karena bersifat wajib dan bersifat perintah serta ada sanksi kalau tidak ditunaikan. Ini berbeda dari istilah "barter" yang merupakan istilah perdagangan untuk tukar menukar barang dengan tawar menawar dan secara sukarela.
Kebijakan kontribusi Ahok ini jelas-jelas untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadinya. Pembangun rusun, pengerukan waduk, normalisasi sungai, pembangunan taman-taman dan fasilitas-fasilitas publik lainnya berasal dari kebijakan kontribusi ini.
AHOK TIDAK LAKUKAN "BARTER"
Karena Tempo sudah terlanjur menyudutkan Ahok dengan istilah "barter", lantas apa yang dibarter itu? Kata Tempo: (Kata "barter" merujuk pada kebijakan Ahok yang meminta pengerjaan 13 proyek ditukar dengan rencana penghapusan atau penurunan kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi.)
https://nasional.tempo.co/read/news/...er-proyek-rekl
Ini tuduhan serius dari Tempo. Faktanya, alih-alih Ahok menghapus atau menurunkan kontribusi tambahan dalam Raperda Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara, Ahok malah MENAMBAHKAN poin baru! Yakni: kontribusi 15% dari NJOP yang tidak ada dalam Keputusan Gubernur dalam izin pelaksanaan reklamasi.
Dalam draft Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara yang berasal dari Pemprov DKI disebutkan:
Pasal 116
Ayat 10
Tambahan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c diberikan dalam rangka:
a. revitalisasi kawasan Utara Jakarta; dan
b. revitalisasi daratan Jakarta secara keseluruhan.
Ayat 11
Tambahan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dihitung sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.
Ayat 10 dari Pasal 116 itu sudah disebutkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta, sedangkan ayat 11 adalah tambahan baru! Ayat 11 inilah yang menyeret Sanusi dan Ariesman Widjaja karena melakukan politik dagang, Sanusi mau membarter hilangnya ayat 11 itu dengan sejumlah uang sogokan!
Kalau Tempo gunakan istilah “barter” untuk tindakan Sanusi dan Ariesman, maka tepatlah adanya, namun bila digunakan untuk kebijakan kontribusi yang diputuskan Ahok, penggunaan istilah “barter” merupakan penyalahgunaan istilah yang disengaja dengan tujuan menyudutkan yang ujung-ujunhnya adalah melakukan tuduhan, bahwa Ahok telah melakukan “barter” (tukar menekar kebijakan melalui proses tawar-menawar). Padahal, dari fakta di lapangan, justeru Ahok MENAMBAHKAN kontribusi tambahan 15 % dari NJOP.
Ironisnya, istilah “barter” dari Tempo ini mulai dipakai oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dalam Majalah Tempo edisi 23-29 Mei 2016. ("Sedang kami selidiki dasar hukum barter itu"). Iya, media memang mampu membentuk opini publik, kesalahan Tempo memakai kata “barter” kini dipakai orang sekelas Ketua KPK. Di sinilah bahayanya. Kalau saja dari awal sudah salah memahami kasus dan masalah, apakah dijamin tidak adanya kesalahan-kesalahan selanjutnya?
Semoga Tempo dan Ketua KPK menyadari kesalahan ini sebelum melanjutkan dengan kesalahan-kesalahan baru.
SUMUR: https://www.facebook.com/nmahmada/po...08456056613090
Gimana menurut agan sekalian? Ane nyimak nih. Kalo ternyata melintir kebangetan amat?!
0
4.6K
Kutip
21
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan