Quote:
Atas permintaan dari Rob, pada siang itu kak Sherly memutuskan untuk mengajak gue dan Mozza ke salah satu restoran cepat saji dekat rumah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Restoran cepat saji ini menyediakan mini wahana bermain anak serta memiliki ciri khusus, yaitu maskot badut seram berwarna kuning yang di populerkan oleh Willard Scott. Honestly, gue benci banget harus pergi ke tempat ini karena terlalu riuh ramai serta menu makanannya yang membosankan. Namun apa daya, tempat ini adalah rekomendasi dari Mozza karena tempat ini merupakan favorit Mozza sewaktu kecil. Terekam jelas dalam benak ingatan gue, kalau waktu itu gue ngambek dan ngga mau makan semua makanan yang sudah di pesan. Rob yang sedari tadi memperhatikan wajah cemberut gue, dia pun mulai penasaran dan bertanya ke gue. Kala itu Rob mencoba berbahasa Indonesia, namun logat dan pengucapannya yang begitu absurd menjadi terdengar fatal di telinga gue. Mendengar ocehan Rob, kak Sherly, gue dan Mozza pun mendadak bengong seraya saling lirik antara satu sama lain. Ya, kami bertiga mulai berpikir keras guna menelaah maksud dari perkataan Rob. "Error 404, File Not Found!"Kurang lebih begitulah kalimat yang terlintas di benak pikiran gue. Rob yang kala itu mendapati kami bertiga tengah terdiam, dia pun mencoba untuk memperjelas seraya mengulangi perkataannya tadi dan masih dalam berbahasa Indonesia.
Lagi, gue mulai mengetikan satu-persatu setiap kata yang di ucapkan Rob dalam address bar otak gue. Namun jawaban yang gue terima masih sama, "Error 404 File Not Found!" dengan sebuah kolom bar di bawahnya yang bertuliskan "Try Again!". Karena masih sangat penasaran gue pun mulai memerintahkan otak gue kembali guna menekan tombol menu F5, namun hasil yang gue dapat masih sama dan nihil. Sial, ngomong apaan sih nih gorila? Gue pun memulai kembali percobaan yang ketiga dan kali ini gue mendapatkan sebuah titik terang dengan hasil yang berbeda. But wait, apa itu tulisannya kecil banget? Gue pun mulai melakukan zoom in pada monitor screen otak gue. Semakin dekat, semakin mendekat, mulai terlihat dan WooHoo! Sekarang bisa gue baca dengan jelas, "Go hell out dude! And then check it behind your ass!" Dan dengan sebuah pesan di bawahnya yang bertuliskan, "Mission Failed! Sorry noob, better luck next time!" Ah brengsek! Ternyata otak gue masih terlalu payah untuk menerjemahkan kalimat acak yang mirip permainan scrabble tersebut. Hingga pada akhirnya, gue mengibarkan bendera putih sebagai pertanda sebuah kekalahan di medan perang. Gue yang sedari tadi berpikir keras seraya tertunduk sunyi bak sedang mengheningkan cipta, kini gue mulai mengalihkan pandangan gue ke arah kak Sherly dengan maksud hati ingin bertanya tentang apa maksud dari perkataan Rob.
Mozza dan kak Sherly masih bengong seperti masih berpikir keras, entah apa jawaban yang mereka dapat gue juga ngga tau. Perlahan gue menyikut lengan kak Sherly seraya bertanya apa maksud dari perkataan Rob. Dan kala itu kami bertiga saling bertatap muka sambil diam sejenak. Beberapa detik kemudian gelak tawa kami pun terpecah akibat bahasa alien Rob. Benar, mereka berdua pun sama-sama tidak mengerti bahasa alien tersebut. Kala itu Rob hanya terdiam termangu tatkala dia seperti menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Untung saja ada kak Sherly sebagai interpreter kami yang tengah berusaha menyampaikan kepada Rob, bahwa kami memang benar-benar tidak mengerti akan kicauannya itu. Ternyata maksud Rob adalah ingin menanyakan kenapa gue diam saja dan dia bermaksud untuk mengajak gue bermain di wahana tersebut. Gue yang iba melihat Rob akhirnya menyetujui permintaannya, namun dengan syarat gue hanya mau bermain tanpa ada Mozza, bisik gue kala itu ke kak Sherly. Gue juga menambahkan kepada kak Sherly kalau Mozza itu adalah anak yang nakal dan suka membawa petaka, itu sebabnya gue akan menolak kalau nantinya Mozza ikut bermain. Dengan terpaksa kak Sherly pun menyampaikan pesan gue kepada Rob dan kami berdua mulai melantunkan langkah kami ke area wahana bermain, sedangkan kak Sherly dan Mozza tetap mengobrol santai di meja.
Belum sampai sepuluh menit gue bermain mandi bola dengan Rob, kala itu gue mencium aroma busuk yang sangat menyengat. Ternyata bau tersebut asalnya dari arah meja kami, bau yang sangat khas di hidung gue. Bau busuk yang gue maksud adalah Mozza yang tengah berjalan perlahan menghampiri kami seraya tersenyum penuh arti, senyum yang terlihat seperti kabar buruk buat gue. Ya, gue hafal betul akan segala senyuman Mozza. Gue bisa membedakan seperti apa senyum manisnya Mozza di kala dia gembira dan seperti apa senyum busuknya Mozza di kala dia ingin berencana jahat. Dan benar saja dugaan gue, senyum busuk Mozza pun berbuah petaka. Bukan sebuah petaka yang menimpa diri gue, namun justru petaka bagi Rob. Mozza yang kala itu mengantongi sebuah mainan laba-laba karet (sebesar tarantula) berwarna hitam di saku belakang celananya, dengan sembarang dia melemparkan laba-laba tersebut ke arah gue. Actually, Theo kecil memang paling takut dengan sosok serangga yang satu ini. Namun pada kenyataannya, masih ada yang jauh lebih pecundang dibandingkan dengan Theo kecil. That's right, he's Rob! Mozza yang kala itu lemparannya meleset, ternyata laba-laba tersebut justru mengenai dada Rob dan menempel erat. Secara sekitika wajah Rob mulai putih memucat seraya menjerit ketakutan. Rob yang kala itu terkejut mendapati se ekor laba-laba hitam menempel di dadanya, dia pun berlari ketakutan dan menabrak sebuah papan seluncuran yang melintang di hadapannya.
Bagai sebuah ledakan hypernova dengan kekuatan berjuta gigaton, suara benturan tersebut terdengar begitu keras hingga membuat seisi restoran tersebut menjadi sangat bising. Kala itu semua mata tertuju pada kami dan tak seorang pun yang tidak memandang ke arah kami tanpa terkecuali, termasuk empat orang security yang berjaga di luar restoran. Sulit untuk dibayangkan bagaimana perasaan Rob saat itu, dia hanya tertegun dengan ekspresi wajahnya yang flat. Rasa sakit yang di derita Rob memang tidak seberapa, namun perasaan malu yang dia tanggung sungguh berdampak luar biasa. Terlihat jelas kalau mata Rob tengah berkaca-kaca, dia berusaha menahan perasaan malunya dan meredam emosinya. Saat itu gue melihat kalau kak Sherly pergi meninggalkan ruangan restoran, entah apa yang dilakukannya kami bertiga tidak tau. Dengan tatapan kosong Rob mengganti rugi sebuah papan seluncuran yang hancur akibat terjangannya kepada salah seorang karyawan berkemeja rapi. Selesai membayar, Rob langsung menggandeng tangan gue dan Mozza seraya keluar ruangan. Gue yang saat itu berjalan persis di samping kiri Rob, rasanya gue seperti sedang melihat tubuh yang berjalan tanpa roh tatkala gue terus memandangi wajah Rob. Tatapan mata Rob begitu kosong, dia nampak tidak peduli dengan pandangan orang-orang seisi ruangan terhadap dirinya. Sedangkan si iblis kecil Mozza, tanpa ada rasa bersalah dia hanya bersenandung ria seperti tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.
Di luar ruangan kami bertiga mendapati kak Sherly tengah tertawa terbahak-bahak. Rupanya dia pengkhianat karena tidak mau ikut menanggung malu bersama dengan suaminya. Bujuk dan rayuan maut kak Sherly berbuah manis tatkala dia berusaha menghibur hati Rob yang luluh lantak. Setelah beberapa saat Rob mulai tersenyum kembali seraya mencandai Mozza dan menggendongnya erat. Tak selang berapa lama akhirnya ada sebuah taksi yang melintas dan kami semua memutuskan untuk pulang ke rumah. Rob yang kala itu memilih kursi duduk bagian depan, dia meminta Mozza untuk duduk di pangkuannya guna menemani. Entah apa alasan Rob meminta Mozza untuk duduk bersamanya, yang jelas saat itu mereka berdua sangat akrab bercanda tawa di dalam taksi. Pada kursi bagian belakang gue dan kak Sherly saling berbisik, kala itu kak Sherly bertanya apa yang terjadi pada diri Rob dan gue menjawabnya panjang lebar secara mendetail. Lagi, kak Sherly tertawa terpingkal mendengar penuturan gue tersebut. Kak Sherly seperti masih belum percaya akan sifat Mozza yang berbanding terbalik dengan wajah lugunya. Namun kak Sherly adalah satu-satunya manusia pertama yang percaya akan kesaksian gue tentang Mozza, dia percaya karena ini adalah kali kedua dia menyaksikan Mozza berbuat demikian. Saat itu kak Sherly bertanya kepada gue dan Mozza tentang liburan kami. Saat itu Mozza menjawab bahwa sedari dulu kami sekeluarga memang tidak pernah pergi berlibur. Sekalipun kami sekeluarga pergi di hari libur, paling juga hanya mengunjungi rumah paman dan bibi (ayah kak Sherly) atau pergi ke pesta keluarga (arisan, nikahan, etc).
Ternyata maksud dan tujuan kak Sherly menanyakan liburan kami adalah dia ingin mengajak kami pergi berlibur ke Belanda. Ide brilliant tersebut adalah milik Rob yang menginginkan kami berdua untuk ikut terbang ke sana. Ya, sewaktu kami menunggu taksi tadi ternyata Rob menanyakan hal ini kepada kak Sherly dan Rob meminta kak Sherly untuk berusaha membujuk rayu kedua orang tua kami supaya mendapat izin. Di sepanjang perjalanan gue pun mendadak rewel menanyakan hal ini dan itu kepada kak Sherly. Yang gue ingat adalah kalau keberangkatan kami nanti menggunakan jasa pesawat terbang dan gue sangat berharap untuk bisa mencicipi bagaimana rasanya duduk di kursi pesawat terbang. Terlebih lagi gue bisa melihat bulan dan bintang secara lebih dekat, pikir gue bodoh kala itu. Yang terus melintas berkeliling di otak hanyalah sebuah pertanyaan bodoh tentang seperti apa bentuk langit dari dekat, bukan seperti apa negeri kincir angin itu. Saat itu gue benar-benar sangat berharap jika nantinya di beri izin pergi karena akhirnya gue bisa naik pesawat terbang, sesuatu yang sangat luar biasa buat gue kala itu. Karena selama ini gue hanya bisa memandangi benda terbang tersebut dari jendela kamar gue serta berandai-andai dengan beberapa koleksi miniatur gue. Namun meskipun begitu, masih ada hal kecil yang mengganjal di relung hati gue terdalam seraya bertanya-tanya. "Mengapa si monster Rob masih belum kapok juga bermain dengan Mozza?" Sebuah pertanyaan yang akhirnya gue lontarkan kepada kak Sherly.
Setibanya kami di rumah, gue pun mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada kak Sherly tentang mengapa Rob masih belum kapok juga bermain dengan Mozza. Kala itu kak Sherly menjawab secara bijak dan diplomatis kalau cepat atau lambat, keluarga bahagia mereka pasti akan kedatangan anggota baru. Dan itu artinya mereka berdua harus sudah bersiap untuk mengalami kekacuan besar di dalam mengasuh seorang anak, terutama jika memiliki sifat brutal seperti Mozza. Itu sebabnya mengapa Rob sama sekali tidak menaruh perasaan dendam terhadap Mozza, semakin Mozza menggila maka akan semakin erat Rob merangkulnya. Dari situ otak gue mulai terbuka tentang bagaimana sikap gue dan Mozza yang selalu membebani orang tua. Meskipun kami masih kecil dan bahkan belum masuk sekolah, tapi bukan berarti kami serta-merta tidak harus peduli akan hal ini. Pikiran gue bisa terbuka karena nasehat dari kak Sherly yang kala itu gue simak dengan seksama. Akan tetapi lain hari akan lain pula ceritanya, hari ini gue bisa berpikiran seperti ini namun di hari esok tidak ada jaminan. Anak kecil tetaplah anak kecil, mereka selalu lupa dan tidak pernah fokus akan hal yang seperti ini karena memang belum waktunya. Benar, tugas anak-anak adalah bermain dan belajar. Sedangkan beban adalah sebuah resiko yang harus di tanggung orang tua, jadi jangan pernah berharap ingin memiliki momongan jika tidak ingin terbebani.