Tidak dapat dipungkiri, menjadi male porn star / aktor film AV adalah impian bagi banyak pria di planet ini , terlepas dari apapun motif mereka untuk terjun ke dunia AV, tidak picik dan munafik kenyataannya memang demikian. Berdasarkan Nikkan Gendai (edisi Februari), Jepang hanya memiliki sekitar 70 aktor dalam industri AV nya yg sudah mendunia itu. Ibarat piramida terbalik, jika dibandingkan dengan jumlahh aktris AV yg mencapai jumlah ribuan. Tahun lalu telah dirilis sebuah film dokumenter berjudul “The Other Side of The Sex”, sebuah dokumenter yg didalamnya terdapat 20 aktor AV jepang termasuk sang dewa gold finger Taka Kato, dan beberapa aktor lain seperti Tatsuro Hibino, Ryuji Yamamoto yg membicarakan tentang wanita, sex dan banyak hal lainnya yg sulit untuk dibicarakan secara umum. Kalo di film NUDE kita bisa melihat visi / pandangan dari Mihiro terhadap dunia AV yg membesarkan namanya, maka di film ini kita bisa mengetahui pandangan, opini dari aktor sekaligus director2 nya



“Mereka sering membanggakan tentang mendapatkan / melakukan aktivitas seksual dengan 100 wanita”, kata asisten sutradara Hidekazu Takahara. “tetapi mereka juga harus bisa melakukan hal yg sama dihadapan aktris2 yg tidak mereka sukai.” Profesi ini sudah lebih dari sekedar jenis kelamin dan seksualitas : “disinilah dimana seseorang bisa menemukan apa yg asli dan palsu tentang fantasi dan wanita.”



Film dengan durasi 86 menit ini muncul 3 dekade setelah lahirnya film AV, yg pertama kali muncul pada era 1980’an merambah pasaran untuk “pink film” dan roman porn Nikkatsu. Pada saat ini, industri AV ini dilaporkan memiliki sekitar 10.000 aktris dan merilis 4.500 judul film tiap bulan nya dan menghasilkan 55 Milyar Yen pada tiap penjualannya.

Takahara bagaimanapun juga tetap melihat ke belakang lebih lanjut pada waktu perilisan “In the Realm of Senses”, sebuah drama erotis tahun 1976 yg disutradarai oleh Nagisa Oshimayg merupakan cikal bakal nya JAV (The Origin of JAV). Oshima yg meninggal pada Januari, bersikeras bahwa film dengan adegan sex pura2 (simulated sex) pada film itu sebenarnya hanya pandangan fiktif dari sebuah insiden yg terjadi pada tahun 1936 dimana seorang mantan pramuria yg memotong penis dan testikel kekasihnya.



“Film tersebut menyebabkan kegemparan”, dan juga ketakutan yg tak masuk akal kata Takahara yg memulai debutnya pada pembuatan pink film. “Saat ini, melakukan adegan sex sesungguhnya sebenarnya normal saja, tidak ada masalah”. Hahaha mungkin kalo di hollywood, ini semacam JAWS nya dunia JAV yak .



Aktor-aktor AV saat ini, menjadi terlalu mudah bekerja melalui “Real Sex”, “kami pernah melakukan dari 3 syuting dalam 2 hari lalu sampai 4 bahkan 5 kali syuting hanya dalam 1 hari”, kata Yujiro Enoki, yang sudah 20 tahun di industri ini dan memiliki lebih dari 2000 judul film yg tercatat. “Seorang aktor harus bisa meningkatkan “kesempatan” mereka sebanyak 7 kali dalam 1 hari, dan untuk setiap waktu itu tentu saja untuk aktris yg berbeda pula” . wah ini bagian tersulitnya, harus bisa "ON" sebanyak 7x daman 1 hari untuk aktris2 yg berbeda2 . benar2 tidak mudah, selain kesehatan, kebugaran juga pengendalian mood sangat vital disini



Lebih jauh lagi, telanjang didepan kamera mengharuskan bahwa seseorang harus tetap pada kondisi yg fit. “Jika tubuh seorang aktor menjadi lembek, maka tak akan berhasil”. “Kebanyakan dari mereka berlatih di gym”. Dan itu masih belum cukup, kata Takahara.



Aktor2 itu harus memotong bersih dan rapi semua kuku pada jari2 nya dan harus menjaga agar mereka tidak memiliki bau mulut. Mungkin kita pernah mendengar bahwa ada beberapa pria yg mengkonsumsi suplemen semacam zinc untuk membuat semen mereka tampak putih. Itu salah satu dari sekian banyak cara yg mereka lakukan agar tetap pada kondisi bugar.

Untuk para aktris juga, waktu dan era juga telah berubah. Para penggemar bisa mengungkapkan pendapat mereka melalui internet, dimana mereka menginginkan performa oleh aktris yg lebih “mature” (atau Jukujo)dan perwujudan penampilan yg lemah lembut terhadap beberapa subyek misal prostitusi remaja.



Takahara juga menambahkan, bahwa sebelumnya dia menghadapi masalah yg cukup rumit, adalah bekerja satu bulan penuh, menghabiskan waktu 2 bulan diluar negeri dan kembali ke jepang tanpa membawa uang. Tetapi pada saat ini semuanya sudah berubah, sudah ada kemajuan pada kompetisi dan pada penjualan.

Sama halnya seperti aktor dan aktris yg tidak serta merta mengalami popularitas yg instan pada industri ini, hal yg jauh lebih berat juga dialami para director2 ini, dimana level kesulitan dan pressure yg mereka alami tak kalah besar juga dengan aktris dan aktornya. Pandangan demi pandangan yg mereka tuangkan dalam otobiografi atau bahkan pada film dokumenter menunjukkan bahwa AV bukan semata2 menyoroti sisi seksualitas, atau bahkan mengeksploitasi aktrisnya semata, semuanya memang tampak mudah bagi outsider (seperti kita) yg melihatnya tapi nyatanya bukan sesuatu yg mudah dilakukan, bahkan bagi sang sutradara berpengalaman sekalipun yg notabene memiliki peran besar dalam menentukan kualitas film yg dihasilkan, dan disinilah pandangan / visi para director itu sangat berperan penting.