JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak pemerintah menghentikan diskriminasi bagi penyandang difabel untuk memperoleh hak pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagaimana persyaratan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014.
Sekretaris Jenderal FSGI, Retno Listyarti mengatakan, persyaratan SNMPTN telah melanggar hak konstitusional difabel.
Dalam website resmi yang dikelola Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia( https://web.snmptn.ac.id /ptn/36),
dinyatakan seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.
"Bagi kami persyaratan yang dikeluarkan oleh Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor PTN itu merupakan bentuk diskriminasi hak atas pendidikan. Ini pelanggaran atas konstitusi," ujar Retno Listyarti, di kantor LBH Jakarta, Senin (10/3).
Dikatakan, pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan telah dengan sengaja mengkhianati amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa difabel karena gangguan fisik yang mereka miliki.
Senada, Presidium FSGI, Guntur Ismail menegaskan persyaratan masuk PTN itu menandakan pemerintah tidak mampu mengakomodasi kebutuhan kaum difable dan dengan sengaja berlaku diskriminatif serta melukai konsep diri dan harga diri mereka sebagai anak manusia.
Karena itu FSGI mendesak pemerintah bertanggungjawab untuk membuka pemerataan pelayanan pendidikan yang adil bagi segenap warga negara dalam memperoleh pelayanan pendidikan.(fat/jpnn)
Difabel
Quote:
Penyandang Difabel Didiskriminasi Sejak Pendidikan Dasar
JAKARTA - Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan diskriminasi yang dialami penyandang difabel bukan saja ketika mereka masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah sejak mereka masuk pendidikan Sekolah Dasar.
"Para penyandang difabel sudah didiskriminasi sejak saat mereka memasuki pendidikan dasar. Sistem Pendidikan Nasional kita membagi dua jenis anak Indonesia, yaitu, mereka yang difabel dan non-difabel," kata Doni di Jakarta, Senin (10/3).
Menurut pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting ini, adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Pendidikan Inklusi yang sekadar tempelan membuktikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sungguh melecehkan kemartabatan manusia.
Pemerintah seharusnya memandang warga negara, siapapun mereka, sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat luhur.
"Penyandang difabel tidak pernah boleh dipandang sebagai penghambat pendidikan. Mereka adalah manusia yang memiliki hak memperoleh pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi,” lanjut Doni.
Karena itu Doni mengusulkan agar pemerintah mereformasi kebijakan pendidikan nasional secara keseluruhan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara mengenyam pendidikan yang layak, adil dan tanpa diskriminasi.
“Mempertahankan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, terutama bagi penyandang disabilitas, menunjukkan bahwa pengambil kebijakan pendidikan telah kehilangan nurani. Sikap tidak bermoral seperti ini tidak pantas dimiliki para pemimpin pendidikan.” tandasnya.(fat/jpnn)
Difabel
Quote:
Tak Perlu Dibatasi Aturan, Kaum Difabel Sudah Tahu Diri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, syarat SNMPTN yang diskriminatif, membatasi anak-anak tuna netra, tuna rungu, dan buta warna untuk mendapatkan akses pendidikan itu berbahaya.
"Ini berbahaya karena jika aturan ini dibiarkan lama-lama SD, SMP, SMA juga membuat aturan yang mendiskriminasi difabel. Makanya aturan semacam itu harus dicabut sekarang," kata Retno di Jakarta, Senin, (10/3).
Sebenarnya, ujar Retno, aturan diskriminatif semacam itu tidak perlu dicantumkan. Misalnya saja jurusan yang membutuhkan kemampuan melihat, anak-anak tuna netra sudah pasti tidak akan memilih jurusan tersebut.
"Dengan adanya aturan yang melarang tuna netra, tuna rungu masuk jurusan tertentu itu melukai. Sebelum mendaftar saja sudah dicegah, padahal mereka juga tidak akan mendaftar jurusan yang mereka kesulitan," kata Retno.
Difabel
kami tau keterbatasan kami,
jangan kami batasi dg peraturan yg gak penting