ardyantt
TS
ardyantt
BIOLOGI LINGKUNGAN-KESEHATAN: BAHAYA PESTISIDA DAN GEJALA KERACUNANNYA
Pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Hama yang dimaksudkan antara lain tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteri, dan virus, nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung, dan hewan lain yang dianggap merugikan (Zakaria, 1997).



Pestisida terdiri dari organoklorin, organofosfat, karbamat, dan peritroid. Jenis organoklorin merupakan yang paling persisten (tahan urai) di alam. Pestisida yang digunakan di bidang pertanian secara spesifik sering disebut perlindungan tanaman (corp protection products) untuk membedakannya dari produk-produk yang digunkan dalam bidang lain. Pengelolaan pestisida adalah kegiatan yang meliputi pembuatan, pengangkutan, penyimpanan, peragaan, penggunaan, dan pembuangan pestisida.

Asetilkolin merupakan susbtansi transmiter kimia yang penting dalam sistem saraf kebanyakan binatang. Jaringan saraf yang menghasilkannya yaitu sinapsis disebut sebagai saraf kolinergik. Tingkat kontraksi berhubungan langsung dengan konsentrasi asetilkolin yang digunakan. Asetilkolin dipecah dalam jaringan oleh kolinesterase termasuk juga asetilkolinesterase (Asyiah, 2011). Asetilkolin merupakan neurotransmiter penting pada saraf pusat atau perifer dengan penghambatan AChE. Pengaturan asetilkolin memainkan peran penting dalam sejumlah penyakit syaraf khususnya penyakit Alzheimer (AD), myastehia gravis, dan keracunan antikolinesterase (Wetwitayaklung et al., 2007).

Penghambatan asetilkolinesterase diakibatkan karena aktivitas senyawa organofosfat dan karbamat. Kedua senyawa tersebut berkompetisi dengan enzim asetilkolinesterase sehingga menghambat fungsi enzim yaitu menghidrolisis asetilkolin. Akibatnya asetilkolin terkumpul pada sinaps dan merangsang neuron postsinaps. Mekanisme secara reaksi molekuler terjadi ketika senyawa inhibitor melekat pada group hidroksil dari residu serin yang menyusun urutan sisi aktif enzim dan menghasilkan asetilkolinesterase terfosforilase atau berkonjugasi dengan karbamat (Zakaria, 1997). Mekanisme organofosfat menghambat asetilkolin, ketika masuk, organofosfat berikatan dengan enzim asetilkolinesterase dan menghambat enzim ini sehingga asetilkolin tidak dihidrolisis menjadi asetat dan kolin. Akibatnya asetilkolinesterase tidak berfungsi dan terjadi penumpukkan asetilkolin pada ujung syaraf, sehingga syaraf dalam tubuh terus menerus mengirim perintah kepada otot tertentu. Keadaan tersebut membuat otot-otot berkontraksi tanpa dapat dikendalikan (Handayani, 2009). Apabila aktivitas enzim kolinesterase atau asetilkolinesterase terhambat maka asetilkolin akan menumpuk dan menyebabkan kontraksi yang terus menerus kemudian terjadi depolarisasi (Asyiah, 2011). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Dere et al (2010), AChE terdiri dalam dua bentuk. Fungsi utamanya dalam darah dan jaringan syaraf, aktivitas pseudokolinesterase drah ditemukan pada hati, jantung, pankreas, dan otak. Peran kolinesterase adalah untuk menghidrolisis kolin dan asam asetat, yang merupakan komponen aktif dari asetilkolin.

Penghambatan kolinesterase menghambat akumulasi asetilkolin pada syaraf sinapsos dan neuramusker sehingga menghasilkan stimulus berlebihan pada reseptor asetilkolin. Hal tersebut dapat menyebabkan depolarisasi terus menerus dari kerangka otot, miasthenia, dan hipertensi.

Organofosfat masuk ke dalam tubuh melalui kulit, inhalasi, dan ingesti. Organofosfat dapat mempengaruhi asetilkolinesterase di sel darah merah, plasma darah, dan bagian tubuh yang lain. Organofosfat lebih berbahaya dibandingkan karbamat karena ikatan organofosfat dengan asetilkolinesterase lebih kuat dan lebih lama. Hal ini menyebabkan kadar asetilkolinesterase untuk kembali seperti semula perlu waktu yang relatif lama dibandingkan dengan karbamat (Priyanto, 2009). Menurut Zakaria (1997), beberapa jenis organofosfor dapat menyebabkan keracunan syaraf yang bersifat lambat yang disebabkan oleh degenerasi mielin dari axon. Peristiwa ini disebut esterase neurotoksik dan dapat menyebabkan kelumpuhan secara pelan-pelan. Tingkat keparahan dan kecepatan kelumpuhan ditentukan oleh dosis dan frekuensi pemaparan.

Waktu yang dibutuhkan untuk menghambat asetilkolinesterase oleh organofofsat berkisar 2-3 hari. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan organofosfat mulai timbul setelah 30 menit disertai oleh penurunan AChE. Keracunan yang diakibatkan oleh karbamat bersifat reversibel selama 30 menit. Gejala yang ditimbulkan akibat karbamat dan organofosfat adalah miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, diare, mual, banyak mengeluarkan air liur, berkeringat, edem paru, dan reaksi konvulsif (Zakaria, 1997).
Interaksi antara asetilkolinesterase dengan organofosfat merupakan interaksi tidak bolak-balik dalam penghambatan enzim melalui mekanisme yang disebut aging. Proses aging disebabkan oleh dealkilasi dari dialkylphosphorylated enzyme intermediates (Rustia, 2010). Golongan asam folat membentuk ikatan kovalen dengan asetilkolinesterase dan tepat pada tempat umumnya asetilkolin dihidrolisis pada permukaan enzim (pusat enzim). Asetilkolin mempunyai fungsi sebagai zat penghantar impuls saraf dari sel satu ke sel yang lain dan dari sel syaraf ke organ efekor. Eliminasi dari asetilkolinesterase yang dibebaskan selama menghantarkan impuls sangat penting agar sistem syaraf berfungsi dengan normal (Zakaria, 1997).

Sedangkan menurut Priyanto (2009), fungsi asetilkolinesterase untuk menguraikan asetilkolin (Ach) menjadi asetat dan kolin untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan degradasi Ach.
Menurut Rustia dkk, (2010) kolinesterase adalah enzim (suatu bentuk dari katalis bilogik) di dalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Aktivitas kolinesterase jaringan tubuh secara cepat sampai pada tingkat yang rendah, akan berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Petani dapat mengeluarkan air mata akibat mata yang teriritasi serta mengalami gerakan otot yang lebih lambat dan lemah. Wetwitayaklung et al., (2007) pengahambatan oleh kolinesterase dapat meningkatkan transmisi sinyal dalan syaraf sinaps dengan memperpanjang efek asetilkolin dan dapat bermanfaat dalam menyembuhkan penyakit degeratif sistem syaraf pusat.

Gejala klinik yang timbul akibat Ach yang berlebihan pada ujung syaraf berikatan dengan reseptornya. Efek pada saluran pencernaan adalah salivasi yang berlebihan, nyeri lambung, mual, dan diare. Efek muskariniknya berupa bronkokontriksi dan peningkatan sekresi broncus. Efek nikotiniknya menimbulkan gerakan yang tidak teratur, kontraksi otot (kejang), dan kelemahan pada oto-otot volunter. Munculnya tanda-tanda tersebut sangat dipengaruhi oleh berat ringannya efek toksik:
1. Kasus ringan (4-24 jam) : lelah, lemah, dizziness, mual, dan pandangan kabur.
2. Kasus moderat (4-24 jam) : sakit kepala, berkeringat, air mata berlinang, mual, dan pandangan terbatas.
3. Kasus berat (4-24 jam) : kram perut, berkemih, diare, tremor, sempoyongan, miosis, hipotensi berat, dan denyut jantung melambat (Priyanto, 2009).

Menurut Rustia (2010), penderita dengan keracunan ringan berdasarkan hasil uji kolinesterase sebaiknya menghentikan aktivitas menyemprot pestisida golongan organofosfat selama dua minggu. Penderita yang keracunan, jika tidak mengalami kontak keracunan selama lebih dari 2 minggu diperkirakan kadar kolinesterasenya (melalui pemeriksaan Tintometer Kit dengan perangkat uji Lovibond) telah kembali naik. Hal ini dilakukan agar memberikan kesempatan kepada tubuh untuk mengembalikan kadar kolinesterase kembali normal. Penderita dengan keracunan sedang sebaiknya menghentikan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan insektisida yang biasa dilakukan, dan jika timbul gejala keracunan segera lakukan pemeriksaan

Kadar normal AChE pada manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis kelamin, faktor genetik danhormonal, fungsi fisiologis jaringan, serta aktifitas. Kadar normal AChE pada laki-laki memiliki rentang 5100 ± 11700 U/L, sedangkan pada perempuan memiliki rentang 4000 ± 12600 U/L. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar AChE dalam tubuh juga mempengaruhi produksi Ach. Produksi ACh terletak pada neuron-neuron yang terdapat di sebagian besar daerah otak khususnya oleh sel-sel piramid besar korteks motorik di dalam ganglia basalis dan neuron preganglion sistem saraf otonom. Sebagai kompensasinya,tubuh harus memproduksi enzim AChE untuk memecah Ach (Campbell et al ., 2004).

Asetilkolintransferase berperan sebagai enzim yangm mempengaruhi sintesis Asetilkolin. Asetilkolin adalah molekul yang disintesis dari kolin dan KoA. Perannya dalam tubuh adalah sebagai neurotransmiter yang pada umumnya ditemukan pada organisme invertebrata maupun vertebrata. ACh terletak pada ujung-ujung saraf yang berakhir pada membran plasma. Berdasarkan dengan jenis reseptornya, ACh pada sistem saraf pusat, dapat berperan sebagai inhibitor atau eksitator (Campbell et al., 2004).

sumber: Laporan Praktikum toksikologi lingkungan ( PEMERIKSAAN ENZIM ASETIL CHOLIN ESTERASE (AChE))
Diubah oleh ardyantt 10-02-2013 10:23
0
12K
9
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan