holyman86Avatar border
TS
holyman86
Andre Graff Si Penggali Sumur Untuk Warga Sumba
Silakan gan dibaca sedikit inspirasi dari sosok orang asing yang rela berkorban untuk kehidupan orang Indonesia di daerah Sumba emoticon-Matabelo.


Setelah Ratusan Tahun, Kini Air Tidak Sulit Lagi

Oleh karena kepeduliaan Andre Graff pada kesulitan hidup masyarakat Laboya di Sumba, NTT, kini masyarakat boleh menikmati air bersih yang melimpah…. Andre yang bekerja, pemerintah meresmikan….. !



Jam baru menunjukkan pukul 09.10 WIB namun sinar matahari sudah terasa terik. Paulina B. Kaka (30) lengkap dengan peralatan tenunnya sudah satu jam duduk di bawah pohon kosambi di depan rumahnya di kampung Lete Malouna, desa Pacala Bawah, Kecamatan Lamboya, kabupaten Sumba Barat, NTT untuk menenun. Untuk mencapai tempat ini orang harus menempuh 40 km dari Waikabubak, ibukota kabupaten Sumba Barat.

Sesekali ia memanggil anak bungsunya dan mengingatkan sang anak untuk tidak bermain di jalan raya karena takut ditabrak kendaraan. Paulina dengan lincah memasukkan gulungan benang di antara benang pada alat tenunnya. Hanya dalam hitungan 40 menit, satu jengkal kain telah ia hasilkan. Janda anak empat ini benar-benar menikmati pekerjaan yang telah ia tekuni sejak remaja itu.

Sesekali ia mengangkat wajah. Ketika ia mengarahkan wajahnya ke jalan. Paulina tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika penulis menanyakan berapa lembar kain tenun yang ia hasilkan dalam sebulan. “Sekarang ini bisa satu lembar dalam seminggu. Atau paling tidak tiga lembar dalam sebulan,” ungkap janda empat anak ini sambil mengulum senyum. Sebelum Agustus 2011 dia hanya bisa menghasilkan dua lembar dalam sebulan.

Ada apa dengan bulan Agustus 2011? Pada bulan itu, tepatnya tanggal 25 Agustus, bupati Sumba Barat Jubi Pandango meresmikan pengoperasian proyek air minum bernama Proyek Percontohan Waru Wora (PPWW) yang menggunakan tenaga surya. Ini adalah sumber air bersih yang melayani beberapa kampung di sekitar. Proyek ini adalah hasil kerja keras Andre Graff, warga negara Prancis yang sejak 2005 menetap di desa ini untuk menggali sumur bagi masyarakat. Untuk mengerjakan proyek ini Andre merogoh kantongnya dalam-dalam, mendapat bantuan dari Rotary Club di Belanda, perusahaan pompa air Shimizu, Palyja Jakarta dan kemudian Pemda Sumba Barat.

Saat ini air dari PPWW dinikmati oleh sekitar 600 penduduk dari tiga kampung, yakni kampung Waru Wora, kampung Kangali dan Letemalouna. Selain itu beberapa sekolah di wilayah itu mendapat pasokan air bersih dari sini. Saat ini Andre sedang mencari sponsor agar air ini melalui proses filtrasi sehingga langsung bisa diminum. “Masyarakat butuh sehat agar bisa bekerja, agar bisa mengurus anak. Semoga nanti ada yang mau donor alat filtrasi,” harap Andre.

Dengan PPWW ini masyarakat termasuk Paulina tidak perlu jauh-jauh lagi mencari dan menimba air. Air sudah langsung ada di samping rumah. Paulina pun bisa menghemat banyak waktunya. Sebelumnya, dalam sehari dia harus pergi menimba air sebanyak 3 kali dengan jarak tempuh 4 kilo meter PP. Untuk itu dia menghabiskan waktu minimal tiga jam. Itu baru untuk menimba air, belum lagi kalau dia harus mencuci dan mandi. Pasti lebih lama lagi.



Jalan yang ditempuh terjal berbatu, kerap kali kalau licin dia tergelincir sehingga air dalam ember pun tumpah. “Jadi saya hanya punya waktu dua jam untuk menenun. Saya juga kan harus kasih makan babi, ke sawah. Sekarang waktu saya jadi banyak. Untuk timba air, yang bungsu ini pun bisa,” ungkapnya menunjuk anaknya yang masih TK. “Mau bagaimana lagi, Pak. Hidup kami tergantung dari kain ini. Bapak (suami) terlalu cepat “pergi” meninggalkan empat anak pada saya, dan saya harus besarkan mereka,” jelasnya lagi.

Jika Paulina menghasilkan empat lembar kain tenun dalam sebulan, dia akan mendapatkan uang sebanyak Rp1.600.000 dalam sebulan setelah dipotong harga benang Rp800.000. Satu lembar kain Rp600.000. Jumlah sebesar ini relatif cukup untuk biaya hidupnya dan menyekolahkan keempat anaknya. “Hanya dari sinilah kami hidup dan menyekolahkan anak. Sawah sering tidak berhasil. Hanya sedikit sawah saya. Saya ingin menyekolahkan anak-anak agar nanti mereka mengubah kehidupan kami,” ungkapnya sambil tangannya tetap dengan lincah memasukkan benang.

Sekadar informasi, hampir setiap rumah di daerah ini remaja putri dan ibu-ibu pandai dan rajin menenun kain Sumba. Jika ada ibu-ibu atau remaja yang tidak bisa menenun bisa dianggap sebagai “manusia malas”.

Andre Graff sang Insiator

Ketersediaan air bersih telah menjadi masalah besar bagi masyarakat di tempat ini sejak dulu kala. Dari generasi ke generasi mereka menghadapi hal ini. Tidak ada yang berinisiati menggali sumur. Pun pemerintah. Rakyat berjuang sendiri. Untungkah Andre Graff “kesasar” ke tempat ini sebagai turis dan kemudian tertambat sebagai tukang sumur.



Suatu siang kemarau yang terik pada tahun 2004 Andre melihat tiga orang perempuan setengah baya dengan ember berisi air sekitar 10 liter di atas kepala, berjalan mendaki menuju Kampung Waru Wora. Napas mereka tersengal-sengal sebab jalan yang mereka lalui terjal berbatu lepas dengan kemiringan sekitar 45. Udara terasa panas. Keringat kembali mengucur membasahi badan mereka setelah sebelumnya mereka mandi di rawa. Jarak antara rawa dan kampung sekitar 2 km. Di rawa yang dihuni ikan karisa dan kodok itu, sebelumnya mereka mandi, mencuci pakaian lalu mengisi ember mereka untuk dibawa pulang. Kondisi airnya keruh!

Ya, Andre menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri aktifitas ketiga ibu itu. Dengan bahasa Indonesia seadanya, André berusaha menggali informasi seputar aktivitas mereka. Loru, salah satu dari antara mereka menjelaskan bahwa hampir tiap hari ia datang menimba air di tempat itu. Jika anaknya yang masih SD sempat, dialah yang menimba air sebelum berangkat ke sekolah.

Ketika izin plesirnya di Sumba pada Juli 2004 habis, André kembali ke negerinya, Prancis. Saat datang untuk kedua kalinya pada tahun 2005, André bertemu lagi dengan beberapa ibu di rawa yang sama. Di banyak wilayah kondisi yang hampir sama pun ia jumpai. “Tapi anehnya mereka masih tersenyum dan terus berjuang. Keadaan ini benar-benar menantang dan menggoda saya. Saya lalu bilang, sudah cukup saya senang-senang di negara kaya. Setelah tahu di tempat ini ada sumber air yang besar, saya katakan bahwa saya akan gali sumur di sini untuk mereka bila perlu saya sampai mati di sini,” ungkapnya sambil berdiri di tempat yang sekarang telah menjadi sumber utama air untuk PPWW.

Dia mengajak masyarakat belajar menggali sumur, membuat gorong-gorong. André pun “menggaji” Rp30.000/hari setiap orang yang membantunya. Sejak 2005 hingga hari ini, André telah berhasil menggali 27 buah sumur bagi masyarakat dengan biaya dari kantong pribadi dan bantuan beberapa temannya. Kalau dirata-rata, setiap sumur menghabiskan biaya Rp12-15 juta. Kedalaman sumur bervariasi antara 4 sampai 23 meter. Waktu pengerjaannya bervariasi antara satu minggu sampai dua bulan. Sangat tergantung dari kondisi tanahnya. Berbatuan keras atau tidak.



Sebelum ke Sumba, hingga tahun 2003, André adalah pilot balon udara panas, pelatih pilot, pimpinan sebuah perusahaan pariwisata. Ia berhenti dari pekerjaannya karena menderita Lymd atau boreliose, sakit yang terjadi akibat serangan virus yang berasal dari serangga yang masuk ke aliran darah. Virus ini bisa mematikan syaraf otak dan menyebabkan kematian. Karena penyakit tersebut, ia berhenti bekerja, dan pada tahun 2004 ia datang ke Indonesia lalu mengunjungi NTT, termasuk Sumba.

Kehidupan André jauh dari kesan mewah. Ia hidup menjelata bersama penduduk. Yang membedakannya dengan masyarakat dari sisi fasilitas hanyalah bahwa dia memiliki kompor gas, menggunakan listrik tenaga matahari (solar system) atau diesel, dan laptop untuk mengakses internet kalau kebetulan dapat sinyal. “Inilah hidup saya. Saya tidak pilih hidup di Sumba tapi sekarang saya tidak bisa lari dan tidak mau lari juga.

Dalam obrollan ringan dengannya, Andre tak lupa menyampaikan terima kasih khusus kepada perusahaan pompa air Shimizu yang membantunya dengan berbagai peralatan seperti torn penampung air, selang, mesin diesel, molen pencampur semen dan sejumlah uang untuk tukang dan membeli material. “Mereka membantu saya dengan senang hati. Uang saya sendiri sudah habis. Tapi tidak apa-apa. Saya tetap bahagia sebab orang-orang ini sudah nikmati air bersih,” ungkap Andre usai peresmian proyek air bersih Karewe oleh wakil bupati Sumba Barat Reko Deta dan Presiden Komisaris Shimizu Rachman Sastra beberapa waktu lalu. Proyek yang didukung penuh oleh pompa air Shimizu ini hanya dua kilo meter dari PPWW.

Di kampung-kampung di Lamboya, Andre telah dianggap sebagai keluarga sendiri. Dia bahkan mendapat nama kehormatan “Amae Nodu“ dari kepala adat setempat. Setiap kali ia lewat di jalan atau saat masuk ke kampung-kampung, anak-anak akan selalu memanggilnya “Amae Nodu…!” Andre pun dengan ramah menjawab mereka, “Apa kabar”. Kadang ia menggunakan bahasa Lamboya. Dengan begitu masyarakat benar-benar menerimanya. Terima kasih Andre!

Dikutip dari : sosbud.kompasiana.com

Spoiler for Foto Andre Graff:



Quote:
0
5.9K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan