namakuhirokoAvatar border
TS
namakuhiroko
Demi Bisa Sekolah, Pelajar Harus Bertaruh Nyawa
PESISIR SELATAN, KOMPAS.com - Puluhan pelajar dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang tinggal di Jorong Lambung Bukik, Nagari Koto Nan Tigo Utara Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terpaksa menyeberangi sungai setiap hari.

Hal itu mereka lakukan karena ketiadaan infrastruktur jembatan sebagai sarana untuk menyeberang secara aman dan cepat. Sementara lebar Batang (Sungai) Surantih mencapai lebih dari 20 meter dengan arus yang relatif deras meskipun kedalaman sungai rata- rata 50 sentimeter jika tidak terjadi banjir.

Jika hujan deras dan permukaan Batang Surantih meninggi, para pelajar itu terpaksa membatalkan keinginan untuk bersekolah. Sebaliknya, jika saat pulang sekolah air sungai itu meninggi, para pelajar terpaksa menunggu di Nagari Kayu Gadang yang berada di seberang Jorong Lambung Bukik dan terpisah oleh aliran deras Batang Surantih.

Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit, yang dikonfirmasi Kompas, Senin (12/11), mengakui bahwa pihaknya belum mengetahui di mana lokasi Jorong berada. ”(Dinas) Pekerjaan Umum nanti akan saya suruh lihat. Jika memungkinkan, akan kita mulai pembangunan jembatan pada tahun 2013,” katanya.

Kondisi serupa terjadi di Sungai Cipatujah di Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Setiap hari anak-anak menyeberangi sungai yang lebarnya mencapai 32 meter.

sumber


--------------------------------------------------

Masuk Sungai, ke Sekolah Nyaris Roboh

Setiap hari mereka harus menyeberangi Sungai Cipatujah selebar 32 meter, meniti jalan setapak di tengah rimbun belukar sejauh hampir 4 kilometer, sebelum tiba di sekolah yang nyaris roboh.

Itulah rutinitas harian anak-anak Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Belasan anak usia SD dan SMP berkerumun di tepian Sungai Cipatujah, Jumat (17/2). Para siswa itu mencari-cari bagian sungai yang tidak terlalu dalam untuk diseberangi menuju sekolah mereka di Kampung Cicadas, Batuhideung.

Anak-anak perempuan kemudian melepaskan rok seragam pramuka yang mereka kenakan dan lekas-lekas membelitkan kain sebagai penggantinya. Mereka lalu memanggul rok seragam berikut tas sekolah dan sepatu di atas bahu agar tidak basah oleh air sungai.

Perlahan mereka berjalan beriringan sambil menjejakkan kaki mencari pijakan batu di dasar sungai. Mereka harus perlahan meniti karena dasar sungai tidak terlihat. Meski sudah memilih jalur, tetap saja air sungai membasahi sebagian tubuh para murid itu. Ada yang basah sampai sepinggang, ada juga yang hingga dada bagi siswa-siswi berpostur mungil.

”Kalau air sungai sedang naik, kami terpaksa libur. Takut menyeberanginya,” kata Een, seorang siswi yang ditemui sesampainya di seberang sungai.

Sejenak para siswi berhenti di bawah pohon tangkil (melinjo) untuk menyampirkan kain di ranting dan mengenakan lagi rok seragam mereka. Kain itu mereka tinggalkan tersampir di ranting untuk mereka pakai lagi siang nanti saat menyeberangi sungai sepulang sekolah menuju rumah.

Sejurus kemudian mereka kembali berjalan beriringan menyusuri jalan setapak selebar 1 meter dan mendaki tebing yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Kerap kali mereka sampai di bagian terjal. Ditambah kondisi licin karena lumpur yang menempel di batu padas sehabis hujan semalam, makin lengkaplah kesusahan mereka.

Jaka, seorang siswa SMP, terlihat membantu Kaci, teman perempuannya, menaiki tebing. Belum ada setengah perjalanan menuju sekolah, para siswa itu sudah bercucuran keringat dengan napas tersengal-sengal.

Setelah melewati sekian tanjakan licin, menyusuri jalan tanah dengan kondisi berkubang di sana-sini yang menembus Kampung Pematang Kalong dan Kampung Cicadas di seberang Sungai Cipatujah, sampailah mereka ke sekolah.

Bagi anak-anak SDN Batuhideung 04, perjalanan pagi mereka itu pun berakhir di sebuah gedung sekolah tua yang empat ruangannya reyot. Atap ruang kelas I-IV di sekolah itu tersusun dari berbagai bahan, mulai dari asbes usang, seng berkarat, hingga anyaman dedaunan yang sudah menghitam warnanya.

Tidak ada eternit di ruang-ruang kelas tempat mereka belajar. Jendela yang berjajar di tembok pun tidak semuanya berlapis kaca. Bahkan banyak yang tinggal ambang belaka, tanpa daun jendela. Beberapa di antaranya ditutup bilah-bilah bambu dan keping kayu lapuk, mirip jeruji kandang ayam.

Sejak dibangun tahun 1982, empat ruang kelas yang dihuni 116 siswa itu sama sekali belum tersentuh perbaikan. Sekitar setahun lalu atap ruang kelas disangga batang kayu mahoni agar tidak runtuh. ”Tiap ada angin kencang, saya suruh anak-anak keluar. Takut atapnya roboh,” kata Abili, guru kelas I.

Wanto, Wakil Kepala Sekolah SDN Batuhideung 04, mengatakan, sejak tahun 2010, pihaknya sudah mengajukan perbaikan ruangan kelas, tetapi hingga kini mereka belum mendapatkan kabar kapan rehabilitasi ruang kelas itu akan berjalan.

Kepedulian publik

Beruntung di tengah kondisi mengenaskan yang dihadapi warga pelosok Batuhideung, muncul berbagai gerakan yang digagas para donatur dan relawan untuk membangun jembatan di atas Sungai Cipatujah. ”Sampai saat ini sudah terkumpul Rp 29,15 juta, dari total perkiraan Rp 60-an juta,” kata Arif Kirdiat, seorang relawan.

Arif menuturkan, dukungan untuk membangun jembatan itu berasal dari berbagai sumbangan, seperti dari seorang ibu asal Yogyakarta, serta sokongan dana dari jaringan teman-teman dan relasi, termasuk yang berada di sejumlah negara, antara lain Qatar, Singapura, Malaysia, dan Jepang.

Saat ini warga mulai bergotong royong menggali lubang fondasi jembatan di kedua sisi sungai, sembari berharap terus ada sumbangan dari donatur untuk menutup kekurangan. Besar harapan warga agar jembatan Cipatujah segera terbangun. Ketiadaan jembatan dan buruknya akses jalan di pelosok juga mengakibatkan rendahnya harga jual hasil bumi warga.

”Di sini satu tandan pisang isi 6-7 sisir hanya dihargai Rp 4.000 oleh pengumpul, padahal kalau di pasar harganya bisa sampai empat kali lipat,” kata Kasan, Ketua RT 01 Kadu Handap.

Sebutir kelapa dihargai Rp 400, sesampainya di Pasar Cibaliung menjadi Rp 800 per butir. Jatuhnya harga ini disebabkan mereka harus membayar ongkos pikul dan biaya angkut kelapa dari kampung-kampung hingga pasar sebesar Rp 400 per butir.

Akibat tidak tersedianya usaha menjanjikan di desa, tak ayal banyak anak Batuhideung yang selepas SMP bekerja sebagai pembantu dan pekerja serabutan di kota. Mirisnya, buah itu mereka nikmati justru setelah bertahun-tahun menimba pengetahuan melalui perjuangan yang tidak ringan.

Ironisnya lagi, Banten adalah provinsi yang dipenuhi dengan industri petrodollar. Miris rasanya jika provinsi dengan berbagai megaproyek petrokimia, baja, dan manufaktur ini ternyata masih menyisakan cerita soal kegetiran bagi warganya.

sumber



---------------------------------

Miris gan emoticon-Berduka (S)
Tapi perjuangan adik-adik untuk sekolah ini semoga membentuk mental kuat.
Pemerintahnya lokalnya gimana sih? emoticon-Mad:
0
2.2K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan