705513Avatar border
TS
705513
[ANEH] Dulu PON untuk lawan Belanda, sekarang dana PON dikorupsi
Hari ini, PON XVIII Riau akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pesta pembukaan yang dirancang meriah di Stadion Utama Pekanbaru. Di tengah segala keterbatasan venue, PON XVIII akhirnya dibuka.

Gelaran PON tahun ini memang ironis. Dibandingkan soal prestasi lapangan, lebih ribut lagi soal penanganan korupsi dana PON. Berdasarkan data yang dihimpun, masalah stadion utama PON Riau 2012 muncul setelah Dinas Pemuda dan Olahraga Riau lalai mengawal proses administrasi hukum.

Awalnya, untuk membangun stadion dianggarkan dana Rp 900 miliar yang dikawal Perda No 5 tahun 2008 lewat pembangunan tahun jamak sampai Desember 2011. Setelah tenggang waktu terlewati, ternyata anggaran terpakai sudah mencapai Rp 1,18 triliun atau membengkak Rp 218 miliar.

Padahal, revisi Perda No 5/2008 tak pernah dilakukan. Kekurangan dana Rp 218 miliar itu masih belum mencukupi karena untuk menyelesaikan stadion butuh tambahan Rp 130 miliar.

Semula Pemprov Riau mengusulkan revisi Perda No 5/2008 bersamaan dengan revisi Perda No 6/2010 tentang Pembangunan Arena Menembak.

KPK menangkap dua anggota DPRD Riau, Muhammad Faisal Aswan dan Muhammad Dunir, dalam kasus suap revisi Perda No 6/2010 pada awal April 2012. Situasi langsung berbalik dan DPRD Riau menegaskan tak akan membahas revisi Perda No 5/2008 lagi.

KPK telah menetapkan empat tersangka. Kini, keempatnya sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Riau. Penahanan tersebut dilakukan guna pengembangan kasus suap di DPRD Riau ini.

Empat tersangka yang ditahan itu adalah M Faisal Aswan anggota DPRD dari Golkar, Muhammad Dunir dari PKB. Dua lainnya adalah Eka Dharma Putra (Kepala Seksi Pengembangan Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Riau) dan Rahmat Syahputra (karyawan PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero).

Tak hanya itu, KPK juga berhasil mengamankan alat bukti berupa uang senilai Rp 900 juta. Uang tersebut terbagi dalam tiga tempat. Uang Rp 500 juta di tas warna hitam. Rp 250 juta di tas kertas coklat, dan Rp 150 juta di tas plastik hijau.

Sebelumnya, dalam persidangan kasus dugaan suap revisi Perda no 6/2010 tentang venue menembak PON Riau terungkap bahwa ada keterlibatan pejabat daerah dan sejumlah anggota DPR. Mereka disebut-sebut ikut kecipratan duit terkait kasus tersebut.

Hal tersebut terungkap melalui mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora) Lukman Abbas yang juga tersangka kasus ini saat bersaksi untuk terdakwa Eka Dharma Putra dan Rahmat Syahputra di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Riau, Kamis, 2 Agustus 2011 lalu.

Saksi Lukman Abbas, mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora), menyebutkan, dia menyerahkan uang USD 1.050 ribu (sekitar Rp 9 miliar) kepada anggota DPR. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN Rp 290 miliar.

Penuh Perjuangan

Situasi 2012 berbeda dengan gelaran PON I di Solo pada 1948. Saat itu, Belanda masih ingin berkuasa. PON menjadi pertemuan para atlet untuk membulatkan tekad, menggalang solidaritas dalam semangat menggempur Belanda agar meninggalkan bumi Indonesia. Menurut Maulwi Saelan, dalam bukunya "Kesaksikan Wakil Komandan Tjakrabirawa", pada PON I para atlet mengokohkan tekadnya sebagai patriot bangsa yang siap bertempur membela dan mempertahankan kemerdekaan.

Cerita sebelum PON digelar penuh dengan perjuangan. Pada Januari 1947, di Solo digelar Kongres Olahraga I. Kongres bukan hanya menggelar program meningkatkan prestasi atlet, tetapi juga berjuang menembus blokade Belanda dengan berusaha ambil bagian dalam Olimpiade 1948 London.

Permintaan ikut Olimpiade diajukan ke London dan segera dijawab. Namun, jawaban jatuh ke tangan Belanda di Batavia dan tidak diteruskan kepada Komite Olimpiade RI di Solo. Saat itu, Ibukota RI ada di Yogyakarta karena Jakarta diduduki Belanda.

Dalam jawaban, RI belum bisa diterima sebagai anggota penuh organisasi Olimpiade karena belum menjadi anggota PBB. Meskipun demikian, RI diundang sebagai peninjau.

Ibukota RI di Yogyakarta membentuk delegasi untuk menjadi peninjau. Di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Letkol Aziz Saleh dan Maladi sebagai menteri olahraga.

Delegasi tidak jadi berangkat karena diminta menggunakan paspor Belanda. Keharusan paspor Belanda ini adalah rekayasa Belanda untuk menunjukkan kepada dunia mereka masih berdaulat di Indonesia. Menjawab blokade Belanda ini, digelarlah PON I di Solo dengan megah. Sungguh tragis kalau PON yang dulu alat perjuangan bangsa, kini jadi proyek mengeruk uang rakyat.

http://www.merdeka.com/peristiwa/dul...dikorupsi.html

sekarang bukan lagi pesta olahraga, tapi pesta hura2 para koruptor emoticon-Ngakak
0
1.7K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan