karmilaAvatar border
TS
karmila
Hati2 Bencana Kekeringan: Krisis Pangan bisa Memicu Munculnya Kerusuhan Plus Revolusi


Kekeringan Terkait Cadangan Pangan
03-09-2012 00:00

Kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia, selain mengakibatkan defisit/krisis air bersih bagi penduduk, juga menyebabkan sawah dan ladang yang tak dapat diairi sehingga bisa tidak menghasilkan produksi padi seperti yang diharapkan. Kekeringan telah melanda sejumlah wilayah Indonesia. Pada periode Januari hingga Juli 2012, luas kekeringan lahan sawah telah mencapai 53.320 hektare, dengan angka gagal panen atau puso sebesar 1.358 hektare.

Menurut Direktur Perindungan Tanaman Pangan Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Erman Budiyanto, kontribusi kekeringan terluas tahun ini berasal dari Jawa Barat seluas 18.619 hektare dengan puso 111 hektare, diikuti Jawa Timur seluas 11.155 hektare dengan puso 996 hektare.

Data Ditjen Tanaman Pangan menunjukkan, kekeringan lahan terjadi hampir di seluruh Pulau Jawa. Selain di Jawa Barat dan Jawa Timur, di Jawa Tengah tingkat kekeringanya mencapai 7.568 hektare dengan tingkat puso seluas 23 hektare. Sementara di Luar Jawa, kekeringan melanda Sulawesi Selatan seluas 8.887 hektare, Sumatra Utara seluas 3.833 hektare, dan Aceh seluas 1.636 hektare.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, menyebutkan, jika dilihat dari kondisi riil di lapangan, tingkat kekeringan tahun ini lebih parah dibandingkan periode tahun lalu. Jika ditelusuri hingga tingkat kecamatan, rata- rata kekeringan sudah mencapai 50 persen. "Prediksi saya, kekeringan lebih berat tahun ini, hasil laporan dari petani di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat bahkan mencapai 50 persen. Di Indramayu dengan luas lahan sekitar 120 ribu hektare, tingkat kekeringannya sudah 60 hektare, itu terjadi karena air semakin berkurang," katanya.

Sementara itu, beberapa daerah di Jawa Barat yang bergantung dari pasokan air dari Waduk Jatiluhur masih bisa menunggu giliran irigasi, sedangkan daerah yang tidak terjangkau pasokan air dari waduk itu tinggal menunggu giliran kekeringan. Pada Agustus ini, tingkat kekeringan bakal meningkat karena sudah tidak ada hujan dan waduk skala di bawah 25 miliar kubik, seperti setu, debitnya sudah menyusut drastis dan cenderung kering. Dengan kondisi tersebut, Winarno memprediksi luas kekeringan bakal lebih luas dari data yang di paparkan Kementerian Pertanian, dan itu juga berdampak pada meningkatnya luas puso.

Dinas Pertanian Jabar menuruit Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Unef Primadi, menyiapkan 6 strategi khusus untuk mengantisipasi dampak kekeringan tahun ini. Pertama, melakukan rapat koordinasi di empat wilayah di Provinsi Jabar, kedua, pemantauan secara intensif oleh petugas lapangan Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT). Langkah ketiga, gerakan percepatan tanam oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), keempat, pengairan sistem gilir giring dan membuat sumur pantek. Kelima, pada lokasi puso diusulkan bantuan benih dari cadangan benih nasional dan terakhir, dengan hibah melalui perbaikan irigasi di tingkat desa.

Secara keseluruhan, petani memang bisa menanam padi setidaknya dua kali dalam setahun. Dampaknya, panen padi pada tahun ini diperkirakan lebih tinggi dibanding tahun lalu. Laporan dari Badan Pusat Statistik berdasarkan angka ramalan I menunjukkan peningkatan produksi padi tahun ini sebesar 4,31 persen dibanding tahun lalu menjadi 68,59 juta ton gabah kering giling. Awal Juni, pengadaan beras oleh Perum Bulog juga menunjukkan peningkatan yang lebih baik dibanding tahun lalu. Bulan lalu pengadaan telah mencapai 2,1 juta ton. Tahun lalu pengadaan beras oleh Perum Bulog jauh lebih rendah dibanding angka itu.

Dengan demikian impor beras yang dilakukan oleh Perum Bulog tahun ini diperkirakan lebih rendah dibanding tahun lalu. Bahkan, Perum Bulog menyebutkan, tahun ini tidak diperlukan tambahan impor beras. Tetapi, ini barulah prediksi. Antisipasi pemerintah Sementara itu Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyebutkan, saat musim kemarau, defisit air terjadi selama tujuh bulan. Surplus air berlangsung lima bulan saat penghujan. Diproyeksikan tahun 2020 potensi air yang ada hanya 35 persen yang layak dikelola yaitu 400 m3 per kapita per tahun.

Angka tersebut, katanya, jauh dari standar minimum dunia 1.100 m3 per apita per tahun. Sejak tahun 2003 terdapat 77 persen kabupaten/kota di Jawa yang mengalami defisit air selama 1-8 bulan dalam setahun. Bahkan sebanyak di 36 kabupaten/kota defisit air mencapai 5-8 bulan dalam setahun. "Jadi bukan hal yang aneh jika saat ini terjadi dampak kekeringan, khususnya di Jawa. Distribusi air, hujan buatan, pemboran sumur adalah solusi singkat yang belum mengatasi masalah ini secara tuntas," ujarnya.

Dia menyebutkan perlunya upaya penyediaan air secara besar-besaran. Pembangunan waduk, bendung, embung, dan pengelolaan DAS dapat mengatasi masalah yang ada. Namun ini perlu dukungan politik, dana, dan partisipasi masyarakat yang besar. Pembangunan waduk besar saat ini sulit dilakukan di Jawa. Kemarau panjang tahun ini misalnya, telah membuat beberapa daerah di Sumenep kering kerontang, bahkan Pulau Talango dan Pulau Giligenting kini dilanda krisis air bersih dan terpaksa dipasok air bersih oleh Pemkab Sumenep melalui Perusahaan Daerah Air Minum.

Moh Ramsi Kholil (41), tokoh Desa Cabbiye, Kecamatan Talango menyebutkan, sejak dua pekan ini warga di sana sulit mencari air bersih. Semua sumber air termasuk sumur rakyat yang tadinya menjadi tempat mengambil air bersih, kini sudah kering kerontang. Jangankan untuk mengairi sawah, buat kebutuhan mandi dan mencuci saat ini, warga menggunakan air sungai. Sedangkan air minum dan memasak terpaksa membeli di Kecamatan Kalianget, Sumenep. "Harganya cukup mahal, untuk satu jerigen ukuran 20 liter Rp25 ribu, masih ditambah ongkos sampan Rp3.000," katanya.

Pemerintah memang telah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi menghadapi kemungkinan terjadinya kemarau panjang yang dapat mengganggu produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri antara lain menambah infrastruktur pertanian terkait irigasi, memastikan ketersediaan dan terkelolanya embung atau cekungan penampungan air serta pompanisasi di daerah tertentu yang kesulitan air saat kemarau panjang.

Dari sisi ketersediaan bahan pangan, pemerintah menyiapkan rencana bila terjadi gagal panen, sehingga tidak sampai memengaruhi ketersediaan bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. "Kita mulai pikirkan dari mana menutupnya. Kita antisipasi tapi juga bekerja," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat koordinasi bidang pangan dan pertanian di Kantor Kementerian Pertanian, awal Agustus lalu.

Itu sebabnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan Rencana Aksi Terpadu dalam menghadapi kekeringan tahun 2012. Badan ini bakal memprioritaskan penanganan kekeringan di 9 provinsi, yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat. Langkah pertama yang bakal dilakukan adalah mendistribusikan air bersih ke sembilan provinsi itu melalui tangki, penyediaan pompa air, pembuatan sumur pantek atau sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung atau reservoir, dan pengaturan pemberian air untuk pertanian dengan sistem gilir giring.
http://media.hariantabengan.com/inde...atext/id/28734


---------------

Dampak kekeringan yang bisa berakibat buruk untuk produksi padi nasional, jelas sudah di depan mata. Kalau kemarau sampai Januari 2013, pasti akan banyak sekali wilayah penghasil beras dan pangan lainnya di seluruh tanah air, akan mengalami gagal panen. Dan itu artinya ada ancaman terhadap keamanan pangan nasional bila stock beras yang bisa di simpan oleh BULOG sangat tipis dan sedikit. Mudah-mudan Pemerintah dan Elit Nasional tak mengabaikan fenomena ini hanya akibat semakin dekatnya masa Pemilu 2014 kelak, sehingga semua urusan hanya di fokuskan kesana.

Harap diketahui saja, kekurangan stock pangan atau langkanya pangan (terutama beras) sehingga berdampak pada harga beras/pangan yang menjadi melambung sehingga tak terjangkau lagi oleh rakyat kebanyakan (apalagi kalau stocknya pun terbatas), bisa berakibat buruk bagi stabilitas keamanan nasional. Orang bisa saja memberontak karena beras mahal dan tak terbeli lagi atau langka. Kalau rakyat lapar dan marah, hanya soal waktu saja terjadi pergolakan akibat kelaparan seperti itu. Sebuah revolusi sosial akan sangat mungkin terjadi (coba baca artikel ini). Dalam sejaran nasional kita, peristiwa revolusi 1945, peritiwa 1965, dan Reformasi 1997 lalu ... semua di awali dengan krisis yang menyebabkan pangan (khususnya beras) menjadi mahal, tak terbeli dan langka, sehingga rakyat pun memberontak. Kasus terakhir itu, Revolusi Mesir tahun lalu, yang terjadi akibat harga roti dan daging di negeri bekas Fir'aun itu, tak lagi bisa dijangkau rakyat kecil. Juga yang terjadi di Aljazair. Apa kita mau mengulangi pula? Kalau semua masa bodoh, bisa jadi pesta demokrasi 2014 kelak akan gagal total, sebab rakyat keburu merevolusi Pemerintahannya akibat krisis pangandi negeri ini telah menyadari akan hal ini? Wallahu'alam bi syawab.
0
2.3K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan