kabutpekatAvatar border
TS
kabutpekat
Maksa Banget Sih Setarakan Rokok sama Narkotika


DPR dan Pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, kembali bikin ribut. Mereka lagi nyiapin RUU Kesehatan, tapi kok bisa kepikiran ya kalo rokok disamakan dengan narkotika?

Ini jelas-jelas sesat pikir luar biasa! Secara hukum yang udah ada aja, itu dua barang yang 180 derajat berbeda dan gak perlu pake neko-neko dipikirin, narkotika itu barang ilegal, sedangkan rokok komoditi legal yang bisa dijual-belikan di Indonesia dan berbagai negara di seluruh dunia.

Bahkan, pemerintah cq Kementrian Keuangan, mewajibkan pelaku usahanya bayar cukai, yang duitnya ngalir ke biaya pembangunan, termasuk biaya kesehatan. Nah, kalau nggak dibilang sesat pikir, terus apa namanya?

Entah apa maksudnya para anggota DPR masukin rokok setara dengan narkotika. Sengaja ane spill anggota DPR soalnya kalau dari yang ane baca di berita-berita online, rancangan undang-undang memang inisiatif DPR yang sekarang lagi dibahas sama pemerintah.

Woi... bapak ibu anggota dewan benci amat sama rokok ya sampai-sampai dibikin cara supaya kesannya rokok kaya narkotika. Pura-pura nggak tahu apa memang sengaja mau matikan rokok? Please deh, nggak usah sok pahlawan mau ikut-ikutan arus global yang mau matikan industri tembakau.

Kita itu negara produsen rokok, mungkin yang terbesar di dunia. Rokok sudah jadi budaya sekaligus juga sumber ekonomi masyarakat. Ada banyak ribuan petani yang hidup dari tembakau. Emang sih pejabat asbun dan aktivis yang antirokok sering bilang kan bisa ganti tanaman atau tembakau dipakai buat selain rokok. Emang bisa? Sori ya gak gampang cuy. Jadi petani tembakau dulu baru ngomong jangan cuma teori ndakik-ndakik. Nggak paham tembakau. Ke lapangan juga nggak pernah.

Belum lagi berapa juta UMKM yang setiap hari hidup dari jualan rokok. Mau diganti dengan produk lain yang hasil penjualannya setara. Sok mana barang apa? Bisa dibilang rokok sudah menjadi komoditi yang menghidupkan ekonomi domestik. Belum termasuk impor ya. Gak perlu banyak kita bahas lah karena negara-negara lain iri sama kekuatan rokok kita sampai-sampai bikin standar rokok yang kita susah ikutin jadinya gak bisa diekspor.

Bagaimana bapak ibu anggota dewan yang terhormat? Kalian juga makan dari hasil tembakau. APBN kita nih setiap tahun juga dibiayai dari cukai rokok sampai Rp200 triliun lebih. Buat apa hasil cukai rokok? Ya buat bangun jalan, sekolah, gaji PNS termasuk anggota DPR, dan lain-lain. Mau bantah ya gak bisa wong semua pendapatan negara masuk pool APBN baru dibagi-bagi penggunaannya.

Harusnya nih ya karena sadar tembakau itu komoditi andalan Indonesia, anggota DPR dan pemerintah kalau bikin aturan untuk melindungi ekosistem tembakau biar tetap menghasilkan manfaat ekonomi maksimal buat negara dan masyarakat. Bukan malah benci mau matikan industri hasil tembakau. Tapi sering ane denger, pejabat-pejabat kita memang sengaja bikin aturan buat matikan industri tembakau. Mustinya aturan yang dibikin itu semangatnya melindungi tembakau bukan malah menghambat. Kalau soal pengendalian silakan saja dan harus jadi bagian pengelolaan agar baik buat masyarakat.

Trus harusnya nih, mungkin malah lebih penting RUU Kesehatan antisipasi legalisasi ganja ketimbang sibuk menyingkirkan rokok. Okelah ganja sampai sekarang masih ilegal di Indonesia. Tapi ya kan siapa tahu beberapa tahun lagi ganja boleh diedarkan seperti di Belanda, Amerika Serikat, atau Thailand. Apalagi PBB sudah tidak memasukkan ganja ke dalam narkotika golongan I. Artinya tinggal tunggu waktu saja kan. Saya denger sih sudah dibahas di DPR juga masalah legalisasi ganja ini.

Balik lagi ke RUU Kesehatan, menempatkan rokok dan narkoba setara bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Yang legal dan ilegal dicampuradukkan. Ujung-ujungnya juga akan merugikan industri hasil tembakau. Perokok pun dicap seperti pengguna narkoba. Jahat banget ya? Para pembuat aturan itu cinta tanah air nggak sih?

Ayolah nggak usah coba menyelundupkan pasal-pasal buat mematikan rokok. Udah pasti itu pasal pesanan buat pihak-pihak yang nggak suka Indonesia masih jadi surganya tembakau termasuk kapital global. Fokuslah RUU Kesehatan buat mengatur omnibus law pengelolaan kesehatan yang penting. Soal tembakau sudah cukup kita punya PP 109/2012 yang lengkap cara pengendaliannya.

RUU Kesehatan kan tujuan utamanya buat menyederhanakan banyak aturan yang tumpeng tindih. Sebelumnya kita sudah UU Cipta Kerja sebagai omnibus law bidang ketenagakerjaan. Presiden Jokowi bilang omnibus law akan membuat ketentuan hukum di Indonesia menjadi lebih sederhana karena bisa mencabut, mengubah, dan menggantikan banyak produk hukum dalam waktu yang bersamaan.

PR-nya lebih gede nih dari sekadar buat menyingkirkan rokok. RUU Kesehatan nantinya bakal mencabut dan mengubah sembilan undang-undang,  yaitu UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan. Omnibus Law Kesehatan ini juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.

Ini urusan besar lho musti fokus dan serius. Tapi sayangnya ane denger penyusunan RUU Kesehatan ini memang banyak kontroversial dari awal. Misalnya pas Rapat Dengar Pendapat (RDP) RUU Kesehatan ternyata tanpa adanya draft resmi dan Naskah Akademik sebagai dasar kajian. Yang menarik, beredar Naskah Akademik dan draft yang dibantah oleh DPR RI maupun Kementerian Kesehatan. Tapi, kemudian Baleg DPR mengeluarkan draft RUU Kesehatan yang mirip  dengan draft yang beredar di masyarakat, di mana seharusnya ini dilakukan oleh Komisi IX sebagai mitra Kementerian Kesehatan. Kelihatan akal-akalan dan ada skenario menyembunyikan sesuatu.

Kontroversi soal rokok yang disejejarkan dengan narkotika ada dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) yang berbunyi “zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.” Jelas gamblang dan sesat pikir yang luar biasa karena bagaimana mungkin barang ilegal dan barang legal disetarakan dalam satu rumusan pasal.

Secara definisi saja rokok dan narkotika sudah jelas berbeda. Berdasarkan PP 109/2012 Produk Tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah. Sedangkan Menurut UU 35/2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Rokok yang berbahan baku tembakau, secara empiris tidak menimbulkan efek yang setara dimaksudkan dalam penjelasan terkait narkotika. Tembakau juga tidak menimbulkan efek ketergantungan, buktinya mayoritas perokok yang berpuasa misalnya dapat berhenti merokok selama berpuasa dan tidak menimbulkan gangguan fisik seperti orang yang kecanduan narkoba.

Pasal yang kontroversial itu dapat sorotan pakar ukum juga lho. Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif.

"Jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda," kata Sunny, Selasa (4/4/2023).

Ketentuan ini jelas bermasalah karena dengan rumusan pasal demikian, konsekuensinya adalah narkoba dan produk hasil tembakau harus diperlakukan sama sesuai dengan asas kepastian hukum dan equality before the law. Ketentuan ini akan menjadi loophole yang di masa depan akan menimbulkan masalah akibat narkoba dan tembakau kedudukannya setara.

Dengan perlakuan yang sama akibat kedudukan setara ini, banyak konsekuensinya.

Pertama, pemerintah wajib mengenakan bea cukai kepada narkoba agar sama dengan tembakau atau mencabut cukai rokok agar perlakuannya sama dengan narkoba. Kedua, pemerintah harus menangkap penjual rokok atau membebaskan pengedar narkoba agar perlakuannya sama.

Selain itu apabila RUU ini diundangkan maka akan ada tumpang tindih hukum dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Penjelasan di atas menunjukkan betapa fatalnya ketentuan pasal 154 RUU Kesehatan. Niat awal omnibus law untuk menjadikan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih sederhana dan tidak tumpang tindih jelas tidak kelihatan di dalam RUU ini.

Harus ada kajian lebih mendalam terkait hal ini, jangan sampai DPR dan Pemerintah terkesan sangat serius untuk membunuh petani tembakau di Indonesia, setelah cukai rokok dinaikkan berkali-kali lipat, sekarang seolah-olah menyetarakan petani tembakau dengan petani koka dan mariyuana.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai penyetaraan tembakau, yang merupakan produk legal, dengan narkoba yang jelas ilegal, hanya akan berujung untuk mematikan Industri Hasil Tembakau yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara.

“Dampaknya terhadap Industri Hasil Tembakau ini pasti mati. Orang akan dilarang dan ditangkap polisi. Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan" ujar Hikmahanto, Selasa (11/4/2023).

Menurut Hikmahanto nih, aturan soal tembakau telah diatur secara komprehensif di regulasi yang berlaku saat ini, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Menurutnya, Pemerintah cukup mengacu pada aturan yang sudah ada saat ini.

Upaya mensejajarkan tembakau dengan produk ilegal, seperti narkoba, justru akan memberikan peluang masuknya produk tembakau dari luar secara diam-diam. Hal ini karena masih banyak masyarakat Indonesia yang merokok, sehingga ketika tembakau dalam negeri dipersulit karena disejajarkan dengan narkoba, maka penyelundupan tembakau ilegal tidak terelakkan. Hal ini secara praktis akan mengancam pendapatan negara dari cukai hasil tembakau.

Tidak hanya terkait tembakau, RUU Kesehatan juga dinilai memiliki beberapa kontroversi terkait profesi kedokteran. Pertama Pasal 296 Ayat 2 menyebutkan, setiap jenis tenaga kesehatan (nakes) hanya bisa membentuk satu organisasi profesi, sedangkan Pasal 184 ayat (1) mengelompokkan nakes ke dalam 12 jenis, jenis nakes ini dibagi lagi atas beberapa kelompok sehingga jumlah akhirnya 48 kelompok. Lalu mana yang benar satu organisasi profesi untuk setiap jenis nakes atau untuk setiap kelompok nakes? Opsi manapun yang dipilih pasti akan memecah organisasi profesi yang sudah ada.

Kedua, Kementerian Kesehatan menjadi lembaga yang superpower karena dapat menentukan kebijakan hulu ke hilir. Pasal 235 menyebutkan, standar pendidikan kesehatan disusun oleh Menteri Kesehatan, peran organisasi profesi praktis hilang. Padahal, dalam UU No 29/2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh asosiasi institusi pendidikan, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Kemendikbud, dan organisasi profesi. Menteri juga dapat menentukan standar kompetensi berdasarkan Pasal 197 ayat (3) RUU Kesehatan di mana seharusnya kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada organisasi profesi. Di negara-negara lain, wewenang penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dilakukan organisasi profesi atau provider; bukan pemerintah.

Kemudian pada Pasal 239 RUU ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab pada Menteri Kesehatan. Padahal saat ini KKI adalah badan independen, dan bertanggung jawab langsung ke Presiden. Penempatan menteri sebagai atasan KKI membuat lembaga penting ini jadi kurang independen dan posisinya melemah.

Jadi nih ya, selesaikan dulu PR-nya. Jangan sampai kontroversi yang ada di RUU Kesehatan bikin masalah kemudian hari. Pemerintah dan DPR harus serius fokus mengatur omnibus law kesehatan karena menyangkut harkat hidup orang banyak. Jangan sampai terburu-buru sehingga pembahasan tidak melibatkan partisipasi publik yang layak. Karena jika kontroversi-kontroversi di atas tidak diselesaikan, maka akan jadi kontra produktif ketika saat baru disahkan langsung diajukan untuk judicial review ke dan bukan tidak mungkin umur UU Kesehatan menjadi pendek karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Diubah oleh kabutpekat 15-04-2023 05:01
mbahgugelAvatar border
damski.idAvatar border
damski.id dan mbahgugel memberi reputasi
2
1.5K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan