kabutpekatAvatar border
TS
kabutpekat
Mempertanyakan Regulasi Pemerintah yang Lebih Banyak Ikut Campur ketimbang Mengatur

Halo gan. Udah lama gak nulis di mari sekarang ane kembali turun gunung karena gatel mengeluarkan uneg-uneg juga nih. Terutama lihat situasi beberapa tahun terakhir ini kok banyak aturan-aturan baru yang offside. Nggak ngerti kenapa pemerintah kepo banget sampai ngurusin hal-hal yang harusnya gak perlu diatur. Bukannya bikin bagus seringnya malah bikin kacau. Maunya bikin solusi tapi kok (bukan hanya) ga solutif, ehh malah nambah masalah

Okelah, negara Indonesia adalah negara hukum, begitulah bunyi dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu konsekuensi sebagai negara hukum adalah Pemerintah harus menjamin kepastian hukum di semua aspek hidup masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan regulasi yang bentuknya beragam dengan harapan bisa menciptakan tertib hukum dan membawa manfaat bagi seluruh golongan masyarakat. Tapi, kalau aturan yang keluar gak bener, jatuhnya malah ngerepotin semua orang dan gak bawa manfaat apa-apa buat negara.

Pertanyaannya apakah benar semua hal harus diatur? Apakah semua aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah memberikan manfaat atau malah lebih banyak mudaratnya?

Nah ini ane cerita perbandingan ya gan. Kalau di negara komunis sih iya ibaratnya telor dadar dibagi empat buat makan siang bareng sampai diatur. Atau di negara kapitalis yang bebasin persaingan sebesar-besarnya. Ntar ane buatin tret khusus deh soal perbandingan sistem ekonomi komunis, sosialis, sampai kapitalis lebih mendalem. Cocok?

Bagaimana dengan Indonesia? Paling anget nih ya gan, Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk mengatur ulang Net Interest Margin (NIM). Alasannya karena NIM Indonesia per Desember 2022 mencapai 4,71% dan ini adalah angka tertinggi se ASEAN. 

Ini ane jelasin dikit gan agan, biar agak clear. Maap yak kalo blibet wkwkw.. NIM ini tuh alat ukur tingkat profitabilitas berupa perbandingan pendapatan bunga bersih yang diterima bank dari produk kredit, dengan bunga yang dibayarkan ke pemberi pinjaman. NAAAAHHH seharusnya Pemerintah ga perlu mengatur hal ini karena ya NIM ini kaitannya efisiensi bank tersebut.

Bagi bank yang likuiditasnya sangat baik bisa ngejaga biaya dana (cost of fund) yang mereka dapat pake selisih dari bunga kredit yang diberikan, maka NIM nya akan tinggi. Malahan kalau NIM suatu bank rendah, bisa diartikan bank tersebut ga efisien ngatur cost of fund dengan biaya untuk pinjaman yang dikeluarkan. Inovasi-inovasi yang dikeluarkan bank untuk kemudian meningkatkan efisiensi seharusnya dianggap baik oleh Pemerintah dan didukung bukan malah diatur dan dibatasi.
Nah ini ane kasi analogi ya, ada sekolah nih, pas bagi-bagi rapot nilainya jelek semua. Berarti kan yang bener harusnya guru-guru bisa berinovasi gitu gan biar pelajaran ga ngebosenin, kreatif lah, nah ini malah kepsek bikin aturan supaya guru dilarang kreatif, bikin aturan supaya gurunya nurunin threshold buat dapat nilai bagus. Kan aneh yak. Kepseknya kudu sekolah lagi ini mah.


Nah asal agan-agan tau Ini bukan kali pertama Pemerintah mengatur hal yang sebenarnya tidak perlu diatur. Dalam beberapa kasus tidak jarang langkah Pemerintah untuk mengatur tersebut berakibat fatal, berikut beberapa contohnya:

Penetapan HET Minyak Goreng

Pada akhir tahun 2021 sampai dengan awal tahun 2022 silam terjadi kenaikan harga minyak goreng di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hal ini wajar karena disebabkan oleh naiknya harga bahan baku, perang antara Ukraina dan Rusia yang mengakibatkan pasokan minyak biji bunga matahari menipis sehingga permintaan terhadap minyak kelapa sawit meningkat.

Kenaikan harga ini bisa dibilang rutin setiap akhir tahun menjelang nataru dan akan kembali normal dengan sesuai dengan mekanisme pasar. Tapi Pemerintah menyikapi masalah ini dengan kurang tepat, Pada tanggal 1 Februari Menteri Perdagangan saat itu, M. Luthfi mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 yang kemudian dicabut dengan Permendag Nomor 11 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah.

Permendag ini membuat banyak produsen dan petani sawit meradang karena HET tersebut menyebabkan kerugian kepada produsen. Akibatnya terjadi kelangkaan minyak goreng di seluruh wilayah Indonesia yang disebabkan karena banyak produsen yang menahan stok minyak gorengnya. Selain produsen, banyak sekali distributor-distributor di daerah yang nakal sehingga pasokan minyak goreng terganggu. Di beberapa daerah Indonesia bahkan harga minyak goreng mencapai 4 kali lipat dari harga normal dan antrian pembeli minyak goreng mengular di mana-mana bahkan sampai menelan korban jiwa.

Selain itu salah satu Dirjen di Kementerian Perdagangan bersama dengan tiga orang pengusaha ditangkap karena dugaan korupsi terkait minyak goreng. Akibat dari kegagalan menjaga harga dan stok minyak goreng tersebut Menteri Luthfi digantikan oleh Menteri Zulkifli Hasan yang tidak otomatis menyelesaikan masalah harga minyak goreng. Kelangkaan dan harga minyak goreng mulai teratasi beberapa bulan setelah pelantikan Menteri baru tapi bisa dikatakan hal ini diselesaikan oleh mekanisme pasar.

Penetapan HET Beras

Dengan alasan untuk mempertahankan daya beli masyarakat, menjaga persaingan usaha yang sehat dan mengendalikan tingkat inflasi, Pemerintah melalui Menteri Perdagangan menetapkan HET untuk komoditas beras kualitas medium dan premium, yang akan berlaku mulai 1 September 2017 silam. HET ditetapkan untuk jenis beras medium dan premium. Penetapan HET beras kualitas medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi sebesar Rp9.450 per kilogram, dan Rp12.800 untuk jenis premium.


Penetapan HET ini tidak butuh waktu lama untuk memakan korban, adalah PT Tiga Pilar Sejahtera (PT TPS) yang dirugikan akibat kebijakan ini. PT TPS merupakan induk perusahaan dari PT Indo Beras Unggul (PT IBU) yang saat itu menjual harga beras dengan harga terjangkau sehingga dituding oleh beberapa pesaing usaha telah melakukan monopoli. HET yang ditetapkan oleh Pemerintah ini telah menekan performa bisnis PT TPS dan beberapa anak perusahaan lainnya yang bergerak di bisnis beras.

Akibatnya pada tahun 2019, anak perusahaan PT TPS yang bergerak di bisnis beras, PT Dunia Pangan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang bersama dengan tiga anak perusahaan lainnya yaitu PT Jatisari Srirejeki, PT IBU, dan PT Sukses Abadi Karya Inti. Empat perusahaan tersebut dinyatakan pailit karena tak mampu membayarkan pinjamannya ke sejumlah kreditor. Diperkirakan utang tersebut nilainya mencapai Rp 3,8 triliun, senilai Rp 1,4 triliun merupakan utang kepada kreditor separatis dan Rp 2,5 triliun utang kepada kreditor konkuren.

Penetapan Komisi Ojek Online

Peranan ojek online sudah menjadi bagian yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun beberapa tahun belakangan banyak pengemudi ojol dan pelaku UMKM yang mengeluhkan komisi dari pemilik aplikasi atau aplikator. Selain itu kenaikan BBM dikhawatirkan berdampak pada berkurangnya pendapatan para pengemudi ojol. Dengan pendekatan yang sama, “peraturan adalah koentji” Pemerintah kemudian mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan No.667 Tahun 2022 yang mengatur tarif ojek online sesudah ada kenaikan BBM. 

Keputusan Menteri tersebut juga mengatur biaya sewa aplikasi, atau yang biasa disebut komisi, dengan menurunkan komisi menjadi 15 persen dari sebelumnya 20 persen. Ibarat jauh panggang dari api, alih-alih meningkatkan pendapatan pengemudi ojol, Keputusan Menteri ini malah merugikan tidak hanya pengemudi ojol tapi juga pelaku usaha dan masyarakat sebagai pengguna. 

Berbagai inovasi dan program promo yang dilakukan oleh aplikator dilakukan dengan menggunakan komisi, dengan berkurangnya komisi maka inovasi menjadi berkurang, demikian pula dengan kualitas layanan. Layaknya efek domino, hal ini menyebabkan kurangnya minat masyarakat untuk menggunakan aplikasi karena kenaikan harga dan berkurangnya promo, pengemudi ojol dan pelaku umkm makanan menjadi pihak yang terdampak langsung karena kurangnya pendapatan.

Pembatasan komisi oleh Pemerintah merupakan hal yang berlebihan karena masalah ini seharusnya diserahkan pada mekanisme pasar. Penyedia aplikasi tentu tidak akan menentukan komisi yang tinggi apabila hal ini menyebabkan biaya layanan menjadi mahal dan pengguna lebih memilih pesaingnya.

Dalam hal ini, sebaiknya peran pemerintah untuk mendukung terciptanya mekanisme pasar yang baik adalah melalui kebijakan persaingan usaha. Menjaga persaingan usaha yang sehat terkadang lebih efektif dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di dalam pasar dibandingkan pengaturan mengenai komisi perusahaan aplikasi yang sampai saat ini kebanyakan masih dalam tahap “bakar uang”.

Pengaturan Ranah Privat dalam KUHP

Pada Tanggal 6 Desember tahun 2022 Pemerintah bersama dengan DPR RI mengesahkan RKUHP menjadi KUHP. KUHP yang baru dianggap lebih progresif dan lebih baik daripada KUHP yang selama ini digunakan di Indonesia. Namun untuk sebuah produk hukum yang digadang-gadang lebih baik, KUHP memiliki sangat banyak pasal kontroversial yang menjadi perdebatan di tengah masyarakat, salah satunya adalah menarik urusan korporasi yang seharusnya privat ke dalam urusan pidana.

Pasal 45 KUHP baru menyebutkan korporasi merupakan subjek Tindak Pidana. Pasal ini meletakkan korporasi sebagai subjek hukum sehingga bisa dikenakan ketentuan pidana. Padahal korporasi harusnya berada di ranah Privat. Hal ini akan memberikan image yang buruk bagi iklim berusaha di Indonesia, ketika di negara-negara maju perjanjian antar perusahaan bahkan bisa menjadi sumber hukum sendiri dan tidak boleh diganggu oleh negara, di Indonesia malah ranah privat ditarik ke ranah publik.

Jika KUHP digadang-gadang mengusung semangat restorative justice, seharusnya ketika ada tindak pidana yang dilakukan seseorang di sebuah korporasi, orang tersebut dikejar dengan hukum pidana dan penyelesaian korporasi tetap di ranah perdata, karena apabila dengan ketentuan ini korporasi bisa “babak belur” akibat kesalahan oknum. Pertama oknumnya kena sanksi pidana, korporasinya juga kena pidana tambahan dan pidana pokok.

Selain itu di dalam KUHP baru diatur juga perluasan pertanggungjawaban pidana sampai kepada semua orang yang menerima manfaat (Ultimate Beneficial Owner), yang artinya pemilik perusahaan dan investor yang tidak ikut campur dalam pengambilan keputusan perusahaan juga bisa dipidana, ini bertentangan dengan UU PT yang membatasi pertanggungjawaban hanya sampai direksi dan komisaris.

Pada kondisi ini akan sangat mudah terjadi kriminalisasi pada pelaku usaha dan investor. Kondisi ini akan berpengaruh pada faktor risiko berusaha yang menjadi tidak dapat terprediksi. Risiko ketidakpastian tersebut akan menyebabkan rendahnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. 

Pun, akan berdampak pada banyak hal secara komersial, misalnya persepsi kreditur pada konteks pemberian pinjaman, persepsi konsumen, maupun terkait persepsi publik pada perusahaan terbuka yang menghimpun dana dari masyarakat

Beberapa kasus di atas adalah sedikit contoh dari bagaimana pendekatan yang diambil Pemerintah kita adalah mengeluarkan aturan dengan dalih demi kepentingan masyarakat tanpa menimbang dengan cermat apakah peraturan itu akan menjadi solusi atau malah memperburuk situasi. Pemerintah hanya ingin hadir dalam masalah yang dihadapi masyarakat tapi tidak menjadi bagian dari penyelesaian tersebut, akibatnya pemerintah kita seringkali mengatur hal yang seharusnya tidak perlu diatur.

Pertanyaannya kemudian apakah hal yang seharusnya diatur di Indonesia sudah selesai semua sehingga Pemerintah mengatur hal yang tidak perlu diatur? Jawabannya jelas tidak. 

Pertama, produk crossborder tanpa persyaratan dan standarisasi yang jelas masih bebas masuk ke Indonesia lewat platform eS E N S O Rmerce.

Kedua, banyak orang yang berjualan di media sosial tapi sampai sekarang belum jelas peraturannya sehingga tidak ada perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, salah satu contoh kasus adalah uang hasil jualan lewat tiktok shop para pedagang ditahan hingga ratusan juta.

Ketiga, impor baju bekas yang terus naik dari tahun ke tahun, menurut data yang dikutip dari Katadata, nilai impor baju bekas meroket 607,6% pada kuartal III 2022, fakta ini jelas mengancam industri tekstil Indonesia yang sedang berusaha bangkit pasca pandemi.

Kita dapat melihat semakin banyak toko thrift yang buka secara terang-terangan baik dengan toko fisik maupun di media sosial dan eS E N S O Rmerce. Padahal larangan impor baju bekas tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Dari tiga contoh di atas terlihat bahwa masih banyak permasalahan di Indonesia yang seharusnya diatur oleh Pemerintah untuk melindungi hajat orang banyak tapi malah tidak diatur dan Pemerintah masih lemah dalam pengimplementasian serta penegakan peraturan yang sudah ada. Ke depannya, Pemerintah harus mulai menggunakan skala prioritas dalam mengeluarkan peraturan, mana isu yang memang harus diatur agar selesai, mana yang harus diserahkan ke mekanisme pasar dan kepada Yang Maha Esa agar berjalan dan selesai dengan sendirinya.


Diubah oleh kabutpekat 11-02-2023 02:55
sekutstaffelAvatar border
gepasssAvatar border
erwalesteAvatar border
erwaleste dan 48 lainnya memberi reputasi
49
8.6K
99
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan