idreamyAvatar border
TS
idreamy
Proyek Tanah Merah, Perkebunan Sawit di Papua Seluas 4x Jakarta?
Pemain Baru Mulai Babat Hutan Dalam Proyek Perkebunan Sawit Raksasa di Papua

Digoel Agri Group mulai beroperasi dalam mega proyek yang diperebutkan investor dari seluruh dunia

[img]https://miro.S E N S O Rmax/8000/1*QAsBIE9ro9iK2q760GwF1Q.jpeg[/img]
Pohon-pohon yang dibabat di konsesi yang dikendalikan Digoel Agri Group. Foto oleh Yayasan Pusaka, Januari 2020.

Kisah ini diterbitkan bersama dengan Mongabay.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki keluarga elit politik di Indonesia dan investor dari Selandia Baru mulai menebangi hutan di kawasan yang disebut-sebut akan jadi perkebunan terbesar di dunia.
Proyek perkebunan itu akan melanggengkan industri agrikultur untuk merangsek lebih jauh ke dalam hutan primer di Papua. Proyek ini diliputi berbagai dugaan terkait ilegalitas.
Kedatangan para investor baru jadi semacam permulaan untuk terlepas dari berbagai tuduhan hukum terkait proyek itu. Kegagalan pemerintah dalam menyelidiki perusahaan-perusahaan itu pun memberi konsekuensi buruk bagi kondisi masyarakat adat dan hutan Papua.


Perusahaan baru mulai membabat hutan dalam kawasan yang awalnya proyek perkebunan sawit skala besar di Tanah Merah, Papua. Proyek itu telah terbelit berbagai persoalan terkait dugaan pelanggaran hukum.

Dari hitung-hitungan, Proyek Tanah Merah diprediksi menghasilkan kayu-kayu senilai US$6 miliar atau setara Rp90 triliun. Cakupan lahan perkebunan itu diperkirakan lebih empat kali luasan Jakarta dan terletak di jantung Papua, merupakan hutan tersisa dan utuh di Asia-Pasifik.

Sejak Maret 2019, tampak dari citra satelit , Digoel Agri Group, membabat hutan seluas 170 hektar. Perusahaan ini, merupakan konsorsium yang didirikan keluarga Rumangkang dengan dukungan investor dari Selandia Baru, Neville Mahon.

Luasan hutan yang mengalami “pembersihan” itu bagian dari satu blok seluas 280.000 hektar untuk proyek perkebunan yang ada dalam kendali beberapa konglomerat. Cakupannya, sekitar 10% dari luasan Boven Digoel atau hampir setara separuh Pulau Bali.

Kondisi ini, bisa jadi sinyal kalau hutan-hutan itu bakal hilang setelah batal hancur oleh investor-investor lain sebelumnya.

Sejak pertama kali tersusun pada 2007, hak kelola proyek sudah beralih tangan berkali-kali. Ia melibatkan para investor yang penuh rahasia penyembunyikan ‘wajah’ mereka.


[img]https://miro.S E N S O Rmax/2118/1*f7LUqk0K2TqtLpZjMJYtMA.jpeg[/img]


Pembabatan hutan di konsesi Digoel Agri Group pada 27 November 2019. Sentinel.




Proses perizinan untuk proyek perkebunan itu pun terlilit berbagai penyimpangan dan kejanggalan. Investigasi bersama The Gecko Project, Mongabay, Malaysiakini, dan Tempo yang terbit November 2018, menyibak tirai izin-izin proyek itu.

Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo telah menandatangani izin-izin proyek Tanah Merah dari balik jeruji penjara. Sang bupati, selaku pertahana, sebelum memenangkan pilkada, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas korupsi anggaran daerah.

Penyelidikan lanjutan The Gecko Project dan Mongabay, mengungkapkan, para pejabat meyakini kalau izin-izin penting lain, baik itu perkebunan maupun pabrik pengolahan kayu (sawmill) raksasa, telah dipalsukan.

Dua perusahaan dengan mayoritas saham dimiliki perusahaan-perusahaan anonim yang terdaftar di Uni Emirat Arab (UEA), mulai operasi berdasarkan izin-izin itu, termasuk pada blok di sebelah utara konsesi yang kini dipegang Digoel Agri Group. Mereka membantah tuduhan kalau izin-izin itu telah dipalsukan ketika kami menanyakan secara tertulis.

Di atas kertas, keterlibatan Digoel Agri Group di dalam proyek ini tampak bersih dari berbagai tuduhan. Mereka muncul beberapa tahun setelah izin-izin bermasalah dari investor sebelumnya ini terbit. Digoel Agri Group mulai lagi proses perizinan dari awal.

Jackson Iqbal de Hesselle, pria berusia 33 tahun dari keluarga Rumangkang ada di belakang Digoel Agri Group, mengatakan, operasi perusahaan ini bersih. “Kita jalan sesuai aturan,” katanya dalam wawancara di kantornya di Jayapura, Papua.

Meski tidak terdapat keterhubungan jelas antara Digoel Agri Group dan investor terdahulu, namun kewenangan operasi perusahaan masih mengacu pada proses perizinan sebelumnya yang dicurigai melanggar peraturan.


[img]https://miro.S E N S O Rmax/4000/1*6fsIumxEkv_MweQbMajcmg.jpeg[/img]


Infrastruktur jalan pada konsesi Digoel Agri Group. Foto oleh Yayasan Pusaka, Januari 2020.




Legalitas perizinan Digoel Agri Group sebagian berdasarkan pada keputusan pelepasan kawasan hutan sebelumnya. Basis legal ini keluar oleh Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) antara 2011 dan 2013, setelah usulan investor sebelumnya. Dokumen-dokumen permohonan berdasarkan pada izin usaha perkebunan yang diduga dipalsukan.
Hingga akhir tahun lalu, sejumlah pejabat dari beberapa lembaga terkait, saat itu mengatakan, pihak berwenang sama sekali belum menyelidiki dugaan pemalsuan ini.
Berbagai organisasi masyarakat sipil yang mengkaji proyek perkebunan ini menegaskan, para pejabat terlalu terburu-buru mengalokasikan lahan kepada investor-investor baru tanpa mempertimbangkan seksama indikasi penyimpangan dalam proses perizinan dan dampak lingkungan serta sosial dari proyek perkebunan ini.
Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Proyek Tanah Merah sebagai “skandal publik.” Izin-izin yang mendasari proyek itu, kata Arie, seharusnya diperiksa dan dicabut.
“Masih ada peluang menyelamatkan wilayah ini, segera mengevaluasi perizinan dan mencabut izin-izin perusahaan itu atau tidak mengeluarkan izin baru.”
Mengenal keluarga Rumangkang
Merujuk data perseroan terbatas pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Kementerian Hukum dan HAM, Digoel Agri Group didirikan oleh beberapa orang keluarga Rumangkang. Kepala keluarga ini, almarhum Vence Rumangkang adalah politisi dan pengusaha kawakan asal Manado. Mantan Ketua Umum Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (FKPD-PD) itu meninggal dunia pada 24 Februari 2020 pada usia 74 tahun.
Partai Demokrat merupakan kendaraan politik yang berhasil membawa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi presiden dua periode, 2004–2014.
Di kantor mereka di Jayapura, kakak-beradik Jackson dan Jones Rumangkang mengatakan, mereka memutuskan investasi di Proyek Tanah Merah setelah diyakinkan para pejabat daerah di Boven Digoel soal lokasi perkebunan itu. Mereka lantas membentuk beberapa perusahaan di bawah payung Digoel Agri Group dan memperoleh izin-izin.
Keduanya mengungkapkan kalau mereka dibantu Fabianus Senfahagi, pimpinan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel. Sebelumnya, Fabianus memainkan peran penting dalam mempermulus fase awal proyek itu sekaligus yang mendampingi para surveyor lapangan pihak investor lama pada 2012.

[img]https://miro.S E N S O Rmax/952/1*gEnhkzWghXVTlJOmwF3mVA.png[/img]


Potret Fabianus Senfahagi.


Jejak rekam antara Fabianus dan para pejabat pemerintah, menunjukkan, dia memang mendorong agar izin-izin lama dicabut dan beralih kepada Digoel Agri Group.
Fabianus, melalui surat-surat ke pemerintah kabupaten pada 2014, menyatakan, Suku Auyu telah menanti-nanti kapan proyek perkebunan itu bisa mulai. Saat itu, konsesi yang akhirnya pindah ke keluarga Rumangkang, sebagian besar dimiliki Tadmax Resources, konglomerat kayu dan properti asal Malaysia.
Kepemilikan saham minoritas dipegang individu-individu terkait Menara Group. Perusahaan yang diliputi beragam teka-teki itu berbasis di Jakarta dan memainkan andil besar layaknya sosok yang menghidupkan Proyek Tanah Merah pada 2010.
Selama tiga tahun, izin-izin Tadmax dan Menara Group ditarik kembali oleh pemerintah kabupaten dan provinsi. Alasan pembatalan adalah kegagalan perusahaan-perusahaan itu memulai operasi. Sebetulnya, para pejabat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Papua juga memiliki kekhawatiran terkait sejumlah izin yang dipalsukan.
Tadmax dan Menara Group, tidak menanggapi permintaan kami untuk mengomentari masalah ini.
Pada 2017, konsesi-konsesi yang sebelumnya dipegang kedua perusahaan itu akhirnya beralih kep Digoel Agri Group.
Awal 2019, Tadmax dan Menara Group, sempat menentang keputusan ini. Para investor ini mengajukan keberatan kepada pejabat daerah yang dianggap mencabut izin-izin secara ilegal.
Tuduhan mereka layangkan kepada pemerintah pusat melalui sebuah surat dari sebuah firma hukum, Dr. Sadino & Partners. Mereka berpendapat, siapa pun yang kelak mendapatkan lahan di lokasi sama atas dasar izin-izin baru-termasuk yang jadi basis operasi dari Digoel Agri Group saat ini- telah melakukan suatu kejahatan.
Sementara, Jackson dan Jones Rumangkang, bersikeras, Digoel Agri Group sudah mematuhi aturan hukum dan memperoleh izin untuk mulai beroperasi itu dari pemerintah kabupaten dan provinsi.



[img]https://miro.S E N S O Rmax/4000/1*UZ3gsRO-Ki6p6DEimYazXA.jpeg[/img]


Hutan dan batas-batas area yang “dibersihkan” oleh Digoel Agri Group. Foto oleh Yayasan Pusaka, Januari 2020.



Sumber : [url]https://geckoproject.id/pemain-baru-mulai-babat-hutan-dalam-proyek-perkebunan-sawit-raksasa-di-papua-39c8f4886d27[/url]
0
630
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan