Bumi ini dibuat sedemikian rupa agar segala hal berjalan secara seimbang termasuk dalam penyediaan sumber daya (SDA)  dan kebutuhan akan SDA. SDA yang tersedia di bumi ini sangatlah berlimpah, tetapi ada batasnya. Sedangkan kebutuhan akan SDA tergantung pada jumlah penduduk dunia. Menurut U.N, populasi global akan mencapai 10,6 milyar pada tahun 2100. Pertambahan populasi ini terus menurus terjadi dari orang pertama sampai mencapai 1 milyar populasi pada tahun 1804 dan hanya perlu 207 tahun kemudian untuk mencapai jumlah populasi sebesar 7 milyar.

SDA yang terus dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dapat memberikan dampak negatif untuk manusia itu sendiri. Contohnya dalam pengekploitasian hutan untuk lahan permukiman dan industri. Menurut  Badan Planologi Departemen Kehutanan Indonesia  mengatakan bahwa luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa pada tahun 1999/2000 hanya tinggal 4 persen saja. Akibat dari kejadian ini bukan saja hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia  dalam berbagai aspek seperti kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan kayu dan non kayu), penyerapan karbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan, tetai juga hilanglah biodiversity generasi mendatang. Padahal tujuan awal pengeksploitasian hutan adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat, tetapi malah berakibat hilangnya sumber untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut.

Semakin SDA digunakan terus-menerus tanpa batas, semakin menimbulkan dampak negative pada manusia itu sendiri. Isu global yang sekarang kita alami adalah “global warming” akibat penipisan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon ini dapat terjadi karena semakin meningkatnya polusi udara. Penyebab polusi udara semakin meningkat  adalah semakin tingginya penggunaan kendaran bermotor dan semakin berkurangnya kawasan hutan. Dengan kata lain, peningkatan kebutuhan manusia akan berdampak sangat buruk pada kehidupan jika peningkatan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan pengeksploitasian SDA.

Di sisi lain, peningkatan jumlah penduduk juga menimbulkan tingginya angka kemiskinan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut Philip Hauser, kemiskinan tercipta dari tidak optimalnya tenaga kerja dalam berkerja dikarenakan adanya ketidak cocokan antar pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni, hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk yang masuk ke pasar kerja sehingga memaksa pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan secepat-cepatnya walaupun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya akibat ketatnya persaingan dalam mencari kerja.

Tingginya angka kemiskinan dapat menimbulkan angka kriminalitas juga meningkat. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan uang, uang didapatkan dari bekerja, jika tidak bekerja, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk itu manusia yang tidak mempunyai pekerjaan mengusahakan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan melakukan tindakan kriminal (mencuri, merampok, menipu, dll).

Tingginya angka kemiskinan juga dapat menimbulkan penurunan angka kesehatan masyarakat. Penduduk dengan penghasilan rendah tentu asupan nutrisinya kurang baik dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk membeli bahan pangan yang baik. Asupan nutrisi yang kurang baik dapat menimbulkan tingginya resiko terkena penyakit. Jika mereka sakit, tentu mereka tidak dapat berobat dengan baik karena alasan biaya sehingga penyakit yang mereka derita dibiarkan saja terjadi. Apabila penyakit mereka adaah penyakit menular dapat menimbulkan terjadinya “outbreak” di daerah sekitar mereka tinggal.

Sungguh banyak akibat yang bisa ditimbulkan jika terjadi ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dan penyedia kebutuhan manusia. Upaya pemerintah khususnya Indonesia dalam menekan jumlah penduduk yang secara tidak langsung dapat menekan peningkatan kebutuhan manusia akan SDA terus menerus dilakukan, antara lain :

1. Menggalakkan program KB atau Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga secara umum dan masal, sehingga akan mengurangi jumlah angka kelahiran.
   
2. Menunda masa perkimpoian agar dapat mengurangi jumlah angka kelahiran yang tinggi.
   

Namun upaya tersebut seperti kurang maksimal dilakukan karena dalam media cetak menyebutkan, “Jumlah bayi yang lahir setiap tahun sekitar 4,5 juta yang setara denga jumlah penduduk Singapura, atau lebih dari empat kali jumlah penduduk Timor Leste”.

Untuk itu, dibawah ini terdapat beberapa cara dalam mengimbangi jumlah pertambahan penduduk yaitu :

1. Penambahan dan penciptaan lapangan kerja dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat maka diharapkan hilangnya kepercayaan banyak anak banyak rejeki. Di samping itu pula diharapkan akan meningkatkan tingkat pendidikan yang akan merubah pola pikir dalam bidang kependudukan.
   
2. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan. Dengan semakin sadar akan dampak dan efek dari laju pertumbuhan yang tidak terkontrol, maka diharapkan masyarakat umum secara sukarela turut mensukseskan gerakan keluarga berencana.
   
3. Mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi. Dengan menyebar penduduk pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah diharapkan mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadan antara jumlah penduduk dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia.
   
4. Meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan. Hal ini untuk mengimbangi jangan sampai persediaan bahan pangan tidak diikuti dengan laju pertumbuhan. Setiap daerah diharapkan mengusahakan swasembada pangan agar tidak ketergantungan dengan daerah lainnya.
   

Juga kita sebagai generasi penerus bangsa, dapat melakukan hal-hal seperti memanfaatkan barang bekas pakai (daur ulang), mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, sebisa mungkin tidak menggunakan barang-barang sekali pakai, menggunakan barang-barang yang mudah terdegradasi oleh tanah, menanam pohon dan dirawat, dll.