Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

l4d13putAvatar border
TS
l4d13put
Fakta Mengenai Angka Pembantaian Pasca G30S
Fakta Mengenai Angka Pembantaian Pasca G30S



Quote:


Quote:


Quote:


Diskusi bertajuk "G-30-S/PKI Jalan Buntu Rekonsiliasi" ini menghadirkan narasumber Ilham Aidit, anak Ketua CC PKI DN Aidit, Mayjen (Purn) Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Kostrad, Rusdi Husein, sejarawan dari Yayasan Bung Karno, dan Prof. Hermawan Sulistyo.

Penulis berpendapat yang menjadi bintang dalam diskusi Dua Sisi itu adalah Prof Hermawan Sulistyo. Sebab, dia membuka beberapa informasi yang selama ini belum pernah dibuka. Terutama soal Cornell Paper.

Cornell Paper adalah sebuah kumpulan makalah tentang peristiwa G-30-S/PKI yang ditulis oleh para peneliti dari Cornell University, Benedict R O’G Anderson dan Ruth McVey, serta dibantu oleh Frederick Bunnel. Kumpulan makalah berjudul The Coup of October 1 1965 itu diterbitkan setahun setelah peristiwa G-30-S/PKI.

Kesimpulan dari Cornell Paper adalah peristiwa G-30-S/PKI merupakan sebuah persoalan internal di kalangan TNI Angkatan Darat (TNI AD). Menurut mereka, ada sejumlah kolonel pembangkang yang frustrasi dari Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, yang memberontak terhadap para Jenderal Angkatan Darat yang bergelimang kemewahan di Jakarta. Namun pada saat-saat terakhir ada pihak yang memancing supaya PKI terseret.

Masih menurut mereka, PKI tidak punya motif untuk terlibat dalam upaya kudeta. Sebab, PKI mendapat keuntungan besar di bawah sistem politik Presiden Soekarno yang condong ke kiri. Jadi, strategi terbaik bagi mereka adalah mempertahankan status quo, dari pada merusaknya dengan mendukung kudeta. Karena itu, menurut Cornell Paper, keterlibatan PKI hanya kebetulan belaka.

Quote:


Analisa Cornell Paper hampir sama dengan penjelasan versi PKI, dan agak sejalan dengan suara-suara dari kelompok-kelompok kiri di Eropa. Kemiripan versi itu dapat dimaklumi karena baik Anderson maupun McVey memang dekat dengan kalangan kiri. Ruth McVey bahkan sempat mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham milik PKI di Jakarta. Dalam Kata Pengantar untuk buku Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, John O. Sutter menceritakan tentang pertemuannya dengan Ruth T. Mc.Vey di Manila sebelum peristiwa G 30 S. Saat itu, McVey menceritakan kegembiraannya mengajar di Akademi Ilmu Sosial Ali Archam milik PKI di Jakarta, di mana kadernya sedang dilatih dalam administrasi pemerintahan sebagai persiapan untuk menjalankan pemerintahan setelah PKI merebut kekuasaan.

Salim Said dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi", juga mengatakan bahwa Ben Anderson punya hubungan baik dengan sejumlah tokoh Pemuda Rakyat dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), dua organisasi pemuda dan mahasiswa onderbouw PKI. Hubungan mereka terbina ketika Ben Anderson mulai menyusun disertasi dan meneliti gerakan pemuda Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.

Kehadiran di Indonesia serta penelitiannya itu membawa Anderson pada kesimpulan tentang adanya kesamaan aktivitas para pemuda komunis pada masa itu dengan kegiatan pemuda kiri pada masa Revolusi. Kesimpulannya itulah yang mendorong Ben Anderson bersimpati kepada para pemuda Komunis di masa Demokrasi Terpimpin, sebagaimana dia bersimpati kepada para pemuda kiri di masa Revolusi. Ben Anderson pun mengaku sedih atas terbantainya banyak temannya di kalangan muda PKI pada masa pasca Gestapu.

Tapi entah mengapa, Cornell Paper ini kemudian seolah menjadi sebuah dokumen rahasia milik pemerintah Amerika Serikat. Kumpulan makalah itu kemudian mendapat stempel Strictly Confidential. Masing-masing copy hanya untuk dibaca oleh para penerima yang telah dipilih secara teliti, dengan memberikan nomor kode tersendiri. Tapi anehnya –tapi sekaligus juga sangat menarik— pada awalnya para penulis Cornell Paper mendorong para pembaca untuk menggunakan informasi yang mereka muat di dalam paper itu seluas-luasnya, tapi juga memperingatkan para pembaca untuk tidak mengutip sumber atau merujuk alam bentuk apapaun juga kepada paper itu.

Bagi orang awam (termasuk para pakar) yang tidak mempelajari masalah G30S secara mendalam, namun mungkin perlu memberikan kuliah atau menulis tentang masalah-masalah Indonesia, maka sebuah versi yang lebih pendek dari Cornell Paper kemudian diterbitkan. Banyak orang mengira bahwa makalah versi pendek berjudul A Preliminary Analysis of the September Movement adalah versi awal dari buku The Coup of October 1, 1965. Namun, menurut John O. Sutter, pada kenyataannya versi yang lebih pendek ini berfungsi lebih jauh untuk mengaburkan fakta bahwa PKI-lah yang telah menjadi dalang percobaan kudeta 1 Oktober 1965 itu.

Secara berangsur-angsur keberadaan Cornell Paper mulai bocor. Pada tahun 1967, Profesor George McTurnan Kahin datang ke Indonesia dan menemui Nugroho Notosusanto yang pernah menyebut bahwa Cornell Paper telah didanai Modern Indonesia Project kepunyaan Kahin. Namun, Kahin mengatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan buku itu. Sambil tertawa-tawa Kahin mengatakan kepada Nugroho Notosusanto bahwa hal itu hanyalah sebuah kinderachtigheid (kekanak-kanakan atau sophomoric). Meskipun demikian, Kahin menolak permintaan Nugroho untuk membuat sebuah pernyataan pers guna mengklarifikasi masalah itu.

Prof Hermawan Sulistyo yang akrab disapa Kikiek bercerita, bahwa Ben Anderson pernah mengatakan kepada Nugroho Notosusanto bahwa ia akan mengubah kesimpulan Cornell Paper jika ada data yang dapat meyakinkan dia. Maka, pasca Mahmillub terhadap para tokoh PKI, sekitar tahun 1970-an awal, Nugroho Notosususnto, Ali Moertopo dan LB Moerdani kemudian membawa empat koper besar berisi dokumen, bahan-bahan interograsi, risalah sidang Mahmillub dan pengakuan para tokoh PKI ke Cornell untuk dibaca dan diteliti Ben Anderson dan kawan-kawan.

Selanjutnya, dari korespondensi dengan Ben Anderson, terungkap bahwa setelah membaca semua data yang detail dan terbuka itu, Ben mengakui bahwa kesimpulan awal Cornell Paper bahwa G-30-S/PKI adalah persoalan internal TNI AD adalah salah. Dia akhirnya bisa menyimpulkan bahwa PKI memang benar-benar terlibat dan memakai Biro khusus yang telah membina para perwira revolusioner untuk melancarkan G-30-S/PKI.

Namun, kata Kikiek, setelah membaca semua data dan mendapatkan kesimpulan baru itu, Ben dan kawan-kawan justru menutup semua data itu dan tak pernah merevisi Cornell Paper dengan data baru itu. Dialah (Kikiek) orang pertama yang membaca kembali data-data itu di Universitas Cornell.

Kikiek memang melakukan riset di universitas itu. Tadinya, ia akan mencantumkan korespondensinya dengan Ben Anderson di buku hasil disertasinya "Palu Arit di ladang Tebu" tapi dilarang Ben. Nah pada diskusi Dua Sisis, Kikiek membongkar cerita ini dan membolehkan penulis mengutipnya, karena menurut dia "Sekarang kan Ben sudah meninggal."


Soal versi Sejarawan Asvi Warman Adam

Menurut Kikiek, sebenarnya bahan-bahan yang selalu diungkap oleh koleganya di LIPI itu berasal dari dia. Malah menurutnya, Asvi pernah dua kali memplagiasi tulisan dia. "Suruh dia datang ke sini, kita buka-bukaan," ujarnya ketika saya tanya untuk memastikannya. Tapi mengapa kesimpulan mas Kikiek dan Asvi bisa berbeda, "Ya begitulah, kalau kepingin populer ya tinggal pilih mau pro versi PKI, atau anti. Kalau jadi peneliti yang netral dan mengungkap apa adanya kayak saya gini kan harus siap nggak populer. Sama yang pro PKI saya dimusuhi, sama yang anti PKI saya juga dimusuhi," ujarnya.

Pembunuhan masal pasca G30S

Kikiek mengatakan, angka-angka yang muncul, termasuk angka paling kecil, 78 ribu orang terbunuh adalah angka-angka yang dibesar-besarkan. Sempat dibantah Ilham Aidit, Kikik berkata, "coba mana buktinya, paling dari Robert Cribb. Saya 20 tahun meneliti soal PKI ini, sampai saya bosen sebenarnya, nggak pernah ada data yang sebanyak itu, itu dibesar-besarkan sama komandan Banser Ansor Jawa Timur (dia menyebutkan nama tapi penulis lupa, kayaknya ada di buku Mas Kikiek)."

Menurut Kikiek, pembunuhan massal di Jawa Timur dan Bali lebih pada konflik horisontal antara orang-orang PKI dan simpatisannya dengan masyarakat, terutama Anshor, PNI, yang sebelumnya terus diteror PKI. "Ini semua aksi saling balas. Langkah TNI AD/RPKAD terhenti sampai di Ngawi. Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Barat, ia mengakui bahwa peran TNI cukup besar untuk memberangus PKI. Kan di Jawa Tengah ada operasi militer," ujarnya. Tapi sekali lagi menurut dia angka pembunuhan besar-besaran yang biasanya mengacu Fact Finding Menteri Oey Tjoe Tat juga sudah dilebih-lebihkan. "Kata Si Komandan Ansor itu seolah-olah kalau nggak dibesar-besarkan, kurang hebat kurang pahlawan," kata Kikiek.

Kikiek juga mengaku ketika menyusun disertasinya itu John Rossa menelpon dan marah-marah. Padahal dirinya tak pernah mengenal dan bertemu sama sekali. Rupanya John Rossa sedang menulis disertasinya "Pretext of the Mass Murder". Jhon tahu, Kikiek sedang menulis Thesis juga dengan data yang pasti akan mementahkan disertasinya itu.

Yang menarik lainnya, dalam diskuti tersebut Ilham Aidit mau mengakui secara terbuka bahwa dalam hal tertentu PKI memang terlibat. Ini untuk pertama kalinya. Akhirnya Ilham dan Kivlan pun bersalaman gaya Komando dengan Mayjen Kivlan Zein.

Semuanya sepakat tentang perlunya rekonsiliasi, namun sejarah tidak bisa dilupakan. "Forgiven, But Not Forgetten."

Fakta Pembantaian Anggota/Simpatisan PKI

Sumber: https://www.suara.com/wawancara/2016...markas-tentara

Babak baru cerita gerakan 30 September 1965 saat ini adalah tututan untuk pengungkapan kasus tersebut lewat rekonsiliasi. Bukan lagi fokus mengungkap pihak di belakang pembunuhan 6 jenderal.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Hermawan Sulistyo menjelaskan pengungkapan peristiwa itu hampir tidak ada yang baru. Sebab sudah banyak pihak yang mengungkap peristiwa itu lewat berbagaicara. Namun berbeda dengan cara yang dilakukan Kikiek, sapaan akrab Hermawan.

Penulis ‘Palu Arit di Ladang Tebu’ itu selama 20 tahun menelusuri cerita di balik gerakan yang menjadi masa kelam Indonesia itu. Dia menulis untuk studi doktor ilmu sejarah dengan mewawancara pelaku atau orang pertama dalam peristiwa itu.

Banyak hal yang diungkap Kikiek. Mulai dari alasan gerakan itu terjadi sampai menjawab berbagai analisa yang selama ini beredar soal gerakan itu.

Apakah pembunuhan 6 jenderal itu menjadi bagian dari kudeta Soeharto? Atau dalangnya memang PKI? Selain itu ada yang mengatakan di balik gerakan itu ada andil Soekarno, dan keterlibatan inteligen Asing. Mana yang benar?

Dalam wawancara dengan suara.com di kantornya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kikiek juga banyak bercerita soal asal usul jumlah korban pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan dan pengurus PKI.

Selama yang beredar jumlahnya sampai 3 juta, namun data resmi pemerintah hanya 78 ribu orang. Dia mengungkap asal usul jumlah itu.

Menurut Kikiek, G30S akan menjadi cerita yang tidak akan selesai. Sampai sekarang berbagai pihak saling menarik dan tidak ingin dikatakan sebagai kelompok yang salah. Bahkan rekonsiliasi lewat simposium bukan hal baru. Pascareformasi 1998, rekonsiliasi sudah digelar antara korban dan pelaku. Tapi gagal.

“Masing-masing ngotot dan tidak terima,” kata Kikiek.

Simak wawancara lengkap suara.com dengan Kikiek soal misteri di balik G30S berikut ini:

Sampai saat ini, apa yang masih mengganjal dari peristiwa Gerakan 30 September 1965?

Selama 20 tahun saya meneliti tentang peristiwa itu. Saya menelusuri dokumen, koran-koran selama 10 tahun dari 1957 sampai 1971. Kalau buat saya, peristiwa itu sangat jelas, tapi kadang detil dan ‘printilan’ peristiwa itu ada yang baru. Tapi kalau kita bicara soal peta makro nasional, nggak ada yang baru sama sekali.

Saya orang orang ketiga yang mengungkap secara serius masalah itu bukan dari tangan kedua dan tangan ketiga. Sebelum saya ada Iwan Gardono Sujatmiko dari Harvard University dan Jeff Robinson dari Cornell University. Saat itu saya membuat disertasi di Arizona State University.

Jarak waktu kami hampir bersamaan. Sehingga kita bisa menemukan banyak hal yang dalam studi sebelumnya tidak ada. Sebab datanya sampai 4 koper yang berisi dokumen.

Apa yang sangat jelas?

Semua gamlang, semua dokumen peristiwa itu ada. Misalnya, dokumen pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) persidangan PKI. Jika merujuk pada Cornell Paper, analisa itu dibuat saat Mahmilub belum dilakukan. Di Mahmilub ada pengacara Yap Thiam Hien yang tidak bisa ‘dibeli’.

Sidang itu dilakukan secara terbuka, semua tungguin nonton. Bahkan risalahnya itu dimuat di Publikasi Angkatan Darat tanpa diedit sampai menjelang 1971. Di pengantarnya disebutkan, ini tidak diedit untuk menunjukan untuk generasi berikutnya. Bahkan sampai coretan-coretan dokumen itu masih ada.

Kemudian menjelang pemilu 1971 ketika Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan melalui kekuasaan dan orde baru mulai mapan, dokumen itu mulai disensor.

Jika melihat dokumen Mahmilub itu dan menelitinya selama 20 tahun, sampai pada kesimpulan Cornell Paper itu salah. Sebab Cornell Paper melihat peristiwa itu ‘hitam-putih’.

Kedua, Cornell Paper ditulis ketika proses kejadian 1965 masih terjadi, termasuk masih terjadi pembunuhan dan pergolakan politik. Ketiga, tidak ada akses ke sumber utama yang cukup konprehensif. Saat itu dokumen belum ada dan mengandalkan pernyataan “katanya… katanya”.

Temuan saya itu langsung didiskusikan langsung dengan penulis Cornell Paper, Benedict Anderson. Dia mengakui analisanya salah, lalu saya kutip di draf disertasi saya. Tapi oleh pembimbing saya disuruh tanya ke Ben, boleh nggak dikutip? Sebab di Amerika, untuk mengutip itu harus melalui izin tertulis.

Akhirnya saya minta izin tertulis, Ben Anderson menolaknya. Karena dia membangun reputasi saat itu dari Cornell Paper. Kalau dizinkan ditulis, akan menjatuhkan dia. Saya bisa bertanggungjawabkan hasil riset saya itu.

Hal lain menyangkut pembunuhan di daerah-daerah, selain Jakarta. Saya menulis, ini bukan hitam-putih PKI lawan tentara. Kenapa? Karena tentara banyak juga yang PKI.

Tentara juga banyak yang PKI, maksud Anda?

Pada Pemilu sela tahun 1957, tentara ikut memilih. Banyak temuan saya, di markas tentara yang menang adalah PKI. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Catatan saya, Batalyon Rampal Jawa Timur dan Batalyon 501 Madiun, di sana yang menang PKI.

Saat itu PKI partai resmi dan partai besar. PKI menjadi nomor 4 terbesar di pemilu tahun 1955. Bahkan perkembangan PKI pasca 1955 sangat pesat. Perkiraan saya, jika 1965 diadakan pemilu, PKI akan menang menjadi partai nomor 1. Saat itu tentara boleh berpolitik, dan tentara boleh memilih.

Selain itu di Jakarta, sangat jelas tidak ada pelakunya hanya PKI. Yang menculik para jenderal, tentara semua, Cakrabirawa. Sehingga tidak bisa dibilang, “tentara tidak terlibat”. Faktanya banyak pelakunya adalah tentara. Tapi tidak juga bisa dibilang, “PKI tidak terlibat”. Sebab di Mahmilub, Sudisman dan Njoto menjelaskan PKI terlibat.

Dalam kesaksian mereka mengatakan, “kami terlibat, tapi jangan dihukum partainya. Hukum mati saja kami. Tapi partai jangan dimatikan.” Hal tersebut merujuk pada peristiwa Partai Sosialis Indonesia tahun 1963. Saat itu PSI boleh terus hidup, tapi Sutan Syahrir (pendiri PSI).

Sehingga peristiwa pemberontakan 30 September 1965, ini pertarungan politik biasa di tingkat pusat. Tapi yang menjadi persoalan, jargon-jargon kekerasan di tingkat pusat hanya menjadi retorika. Namun di tingkat daerah bukan retorika. Teriakan “ganyang PKI” berarti harus membunuh orang-orang PKI.

Dalam studi, saya tidak tertarik dengan operasi militer. Ngapain diteliti? Sudah jelas kok. Operasi militer itu dilakukan di Jawa Tengah untuk mencari PKI. Tapi di Jawa Timur, ada konflik sosial. Padahal jumlah korban terbesar ada di situ.

Tidak ada pola atau peta nasional tentang pemberontakan itu, pembantaian manusia di kala itu tidak sistematik. Sehingga istilah genosida, saya menyebut 1.000 persen itu salah.

Tapi para aktivis HAM mendesak negara minta maaf. Mereka juga menyebut tentara terlibat…

Saya mengikuti kemarin, ada tuntutan di pengadilan rakyat di Belanda. Salah satu rujukan utamanya dari film ‘Jagal’. Kenapa film itu diterima sebagai kebenaran, tanpa diterima secara kritis? Saya nggak percaya film itu, itu omong kosong semua dan fiktif.

Apa yang aneh dalam film tersebut?

Alasannya, Anwar Kongo itu siapa? Jarak waktu itu sampai saat ini sudah 50 tahun lebih. Kalau dia menjadi pembunuh, usianya saat itu siapa? Sebab usia para pelaku kini sudah di atas 75 tahun semua. Tampang Anwar Kongo, saya tidak yakin usianya 70 tahun. Mungkin hanya 50 atau 60. Kalau usianya 60 tahun, berti saat tahun 1965, usianya baru sekitar 10 tahun. Apa mungkin dia membantai?

Selain itu tidak ada laporan dan catatan ada pembunuhan masal di Sumatera Utara.

Ketiga, Anwar Kongo bilang, pembunuh itu sambil menari-nari saat membunuh. Membunuh pakai kawat dengan cara dijerat. Dalam penelitian saya, tidak ada teknik membunuh seperti itu saat itu. Semua dipotong pakai pedang cara membunuhnya.

Kenapa tidak ada teknik membunuh seperti itu?

Kawat dari mana? Cara itu tidak lazim.

Yang paling parah, Anwar Kongo mengaku mendapat inspirasi membantai dari Marlon Brando di film The Godfather. Film itu dibuat tahun 1972, bagaimana mungkin memberi inspirasi di tahun 1965.

Kemudian, dia juga bercerita mereka membunuh PKI sambil minum-minum whiskey Johnnie Walker. Tahun segitu, siapa yang bisa beli? Barangnya mahal dan sulit didapatkan. Hanya kelas elit di Jakarta yang dapat. Sementara para jagal ini di Medan, jadi nggak masuk akal. Kok film itu menjadi rujukan sidang IPT di Belanda dan para sejarahwan? Ini sangat blunder.
Diubah oleh l4d13put 07-02-2018 03:09
0
8.7K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan