HALO AGAN-AGAN
Ngobrolin cewek sama artinya ngobrolin perempuan. Setuju ya? Nah ngobrolin perempuan, so sama artinya kita obrolin tentang mereka yang sudah menjadi ibu kita, tentang mereka yang kelak jadi istri kita, mereka yang jadi ibu untuk anak-anak kita.
Jadi, bicara CEWEK itu obrolan sangat serius brooooo. Setuju lagi tidak?
So, dunia cewek gak melulu soal siapa dari mereka tercantik di dunia atau siapa yang paling populer di dunia. Meski mereka tidak cantik, atau tidak populer, tapi mereka bisa membawa dampak besar dalam status mereka sebagai cewek.
Ini salah satu ceritanya bro yang ane KUTIP dari SINI:
Menghabiskan masa remaja di kota kecil sekelas kabupaten, ada banyak potret kekerasan terekam di kepala saya. Tentang para suami yang menjadikan istri sebagai sasaran tinju dan tendangan, tak terkecuali anak yang menjadi pelampiasan kemarahan ayah dan ibunya sendiri. Itulah yang menjadi bagian pemandangan yang saya saksikan dari lingkungan yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Di antaranya, maaf, memang dari kalangan berekonomi menengah ke bawah, dan dari sisi pendidikan lebih banyak berlatar belakang sekolah dasar, dengan S1 hingga S3 di era itu masih dapat dihitung dengan jari.
KASUS I
Spoiler for :
Sebut saja Mak Din. Maklum di Aceh, seorang ibu akan dipanggil berdasarkan siapa nama anak sulungnya---jika Samsudin, misalnya, maka ibunya bisa dipanggil Mak Din. Mak Din bersuamikan seorang lelaki yang sejak remaja terkenal badung. Sudah mencicipi penjara sejak berusia belasan tahun, akrab dengan judi dari masih baru akil baligh, dan rajin "jajan" justru setelah nikah.
Seringnya, suami Mak Din tidak berada di rumah. Jika bukan karena menghabiskan waktu di tempat judi, tertidur di pos ronda sampai pagi karena menenggak tuak atau minuman keras lainnya, atau jika tidak sedang di penjara.
Ya, suaminya seorang residivis. Jika bukan karena kasus perkelahian, karena penjualan barang terlarang, atau jika tidak, karena pencurian. Bahkan dia akhirnya sempat terkenal sebagai pencuri yang termahir dan termasuk paling disegani, karena dianggap sakti.
Jika biasanya pencuri diremehkan atau dipandang sebelah mata, suami Mak Din memang mengalami itu dari orang-orang jika di belakangnya. Tapi jika sudah berhadapan dengannya, mereka yang biasanya mencibirnya bisa menunduk-nunduk di depannya. Tak terkecuai Mak Din sendiri, tak peduli tetangganya menyuruhnya untuk bercerai atau melarikan diri dari suaminya, dia tetap memilih bertahan.
Bahkan, selain menikah dengannya, suami Mak Din tersebut juga menikah dengan beberapa perempuan lain. Tapi Mak Din tetap selalu membuka pintu untuk suaminya itu saat pulang---walaupun dia tetap masih bisa tegas, tak mengizinkan istri muda suaminya dibawa ke rumah tersebut.
Di sisi ini, suaminya tampaknya mengalah, dan kerap meminjam rumah saudara-saudaranya saja untuk dapat menginapkan istri-istri mudanya. Menarik, meski mengetahui suaminya telah beristri muda, Mak Din akan tetap menyambutnya seperti tak ada yang salah. Dia akan bersikap selayaknya istri, tetap melayani, dan tak ada yang berubah. Maka itu, sesangar apa pun suaminya terkenal di daerah itu, Mak Din tak pernah jadi sasaran kekerasan fisik, walaupun tertekan secara psikis.
KASUS II
Spoiler for :
Namanya R, perempuan yang menikah dengan salah satu pemuda yang terkenal sebagai keturunan keluarga terpandang. Bukan sebagai istri pertama, melainkan istri kedua. Dia sama sekali tidak diberikan rumah oleh suami yang menikahinya, tidak juga nafkah secara rutin---lahir atau batin. Untuk tempat tinggal, R hanya tinggal di rumah milik orangtuanya sendiri.
Di sana dia hidup bersama adik-adiknya yang mulai beranjak remaja dan mandiri, meski beberapa dari mereka bekerja sebagai buruh serabutan. Tak terkecuali R, meski tidak diberikan rumah dan nafkah dari suami yang berasal dari keluarga terpandang, tapi ada "buah tangan" berupa dua anak. Nafkah untuk kedua anak itupun datang sesekali.
Sering kali, R sendiri yang harus mengaisnya sendiri. Terkadang dia melakoni peran sebagai buruh cuci, terkadang sebagai tukang pembuat kue pesanan, dan sering juga tak mendapatkan pekerjaan apa-apa. R sama sekali tidak menggugat apa-apa ke suaminya. Alasan terkuat berdasarkan cerita yang berkembang, karena R sendiri memang teramat mencintai suaminya. Maka itu, beban dua anak, tidak mendapatkan nafkah rutin, tanpa rumah, tak dipersoalkan olehnya. Sekitar 12 tahun dia melakoni itu.
Beruntung, setelahnya anak-anak dari istri pertama suaminya berbaik hati, mau mengakui anak R sebagai adik kandungnya meski beda ibu, dan membantu anak-anak ini untuk melanjutkan sekolah hingga kuliah. Tapi, saat anak-anak dari istri pertama suaminya masih remaja dan belum bekerja, R harus melakoni semuanya sendiri saja.
Banyak tetangganya tak habis pikir, kokbisa dia menjalani peran seperti itu? Karena R sendiri tidak memiliki ambisi besar, dia lebih banyak terlihat tenang saja. "Sudah begini garis hidup, ya terima sajalah. Dipikirkan terlalu keras juga, yang ada cuma bikin gila," katanya sekali waktu. Sekali lagi, dia baru merasakan hidupnya lebih lega, setelah suaminya meninggal dunia.
Terutama karena anak dari istri pertama sang suami, membuka hati untuk menerimanya sebagai ibu. Bebannya terkurangi, dan anak tirinya yang memang hidup mapan bersedia memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
KASUS III
Spoiler for :
Sebut saja namanya Ning. Ia harus berhenti sekolah sejak kelas tiga SD---jika saya tak salah ingat. Sejak usia itu dia harus mulai bekerja, membantu-bantu para penjual kue yang ada di pasar yang kebetulan dekat dengan rumahnya.
Upah sehari-hari tidaklah terlalu besar, hanya berkisar Rp 500---agak sulit saya nilai dengan nominal sekarang. Tapi itupun harus dibagi dengan adik-adiknya yang masih bersekolah, dan terkadang diambil lagi oleh kakak-kakaknya yang tak memiliki pekerjaan tetap. Seperti halnya dia sendiri, kakak-kakaknya pun bermasalah dengan pendidikan.
Enggan bersekolah, karena tak ingin membuat ayah dan ibu mereka terbeban. Hanya karena alasan itu, sehingga mereka kakak-beradik rata-rata hanya bersekolah hingga kelas tiga-empat Sekolah Dasar. Ning sendiri, harus menikah dalam usia 15 tahun dengan seorang kondektur angkutan umum. Lagi-lagi, yang dialaminya, harus memenuhi tuntutan kebutuhan suaminya sebagai "lelaki" normalnya, namun tak dapat menuntut untuk dinafkahi.
Acap kali, kebutuhan rokok suaminya pun harus dipenuhinya. Jika tidak, suara bak bukakan menjadi irama khas yang terdengar dari rumahnya. Apa yang dilakukannya, lagi-lagi harus bekerja serabutan, dan kerap membawa anaknya yang masih balita ke tempat dia bekerja. Uang dari sana kerap kali dia tabung. Selebihnya, ia belanjakan hanya untuk kebutuhan dapur seperlunya. Untuk sayur dan ikan, dia kerap memilih memancing ke desa yang dekat dengan kota kabupaten tersebut---berjalan kaki berkilo-kilometer dengan anak di gendongan.
CATATAN
Itu hanya pengamatan dari lingkungan terdekat yang saya simak, setidaknya hingga masa-masa awal kuliah. Acap kali yang menjadi alasan kekerasan itu terjadi, dari kalangan lelaki karena mereka berpandangan, bahwa mereka adalah kepala rumah tangga di mana kekuasaan tertinggi berada di tangannya sendiri. Kemudian perempuan diposisikan sebagai sasaran perintah, tak memiliki hak untuk memerintah seperti halnya suami. Di sini kerap kali terjadi, istri pun tak merasa tak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya.
Diperparah lagi karena persoalan pendidikan pun tidak mendukung, sehingga mereka hanya dapat mengikuti apa yang didiktekan oleh lingkungan. Kurangnya kepedulian pun tampaknya berpengaruh. Meski hanya di kota kecil, banyak yang terlihat berprinsip, beban mereka bukan beban kita.
Jadi tak ada cerita, akan ada yang turun tangan sekadar menanyakan, bagaimana keadaan mereka sebenarnya, apa masalah yang dihadapi, atau minimal; hari ini masih punya beras atau tidak? Selain itu, tak ada pihak yang dapat turun tangan merangkul mereka, setidaknya mengorganisasikannya untuk dapat memberikan suatu pendidikan kekeluargaan atau berwirausaha.
Akhirnya mereka hanya dapat hidup dengan insting. Di situ acap saya amati, kelelahan seorang ibu acap berujung pukulan kepada anak mereka sendiri, meski mungkin di hati terkecil mereka tak tega melakukannya. Selain juga dalam berbagi peran, keengganan sebagian suami dalam berbagi peran pun berdampak serius. Alhasil para suami kerap merasa superior dan berhak atas segalanya, sedangkan istri harus menanggung beban berat dan tak tahu harus dengan siapa dapat berbagi. Persoalan psikologis pun muncul. Dari sana, berbagai cerita demi cerita yang bisa lebih tragis dari drama thriller pun dapat terjadi. Mudah-mudahan, cerita itu bukanlah cerita kita, dan tidak terjadi dalam keluarga kita, dan tak pernah lagi terjadi pada keluarga siapa pun.