Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shzwAvatar border
TS
shzw
Is It OK To Be "Racist" ?
http://yinnihuarendexueleishi.blogsp...max-results=35

Dalam masalah penentangan asimilasi, ada satu tuduhan yang basa membuat orang takut yaitu "Rasis". Tapi apakah betul makna rasis itu buruk? Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa rasis itu tidaklah buruk. Dalam paper ini saya akan jelaskan argumen saya. Perlu dicatat, saya menggunakan argumen dalam tulisan ini dengan tujuan pragmatis dan apa yang saya amati di sekeliling saya, bukan baku terhadap teori ataupun pengutipan sumber yang dianggap "sah". Tulisan saya akan saya bagi dua, yakni, bagian pertama adalah tentang tionghoa, dan bagian kedua adalah masalah "rasis".

1. Apakah salah menjadi Tionghoa?
Masalah asimilasi, khususnya dalam konteks ini adalah "menentang asimilasi dengan ras lain oleh masyarakat/bangsa Tionghoa". Adat istiadat dan budaya yang turun temurun disampaikan para orang tua kita dan leluhur kita, mengatakan bahwa kita akan wajib melestarikan kebudayaan Tionghoa dan ras Tionghoa (mungkin dalam hal ini suku Han pada khususnya, tapi mungkin bisa lebih luas lagi, "kulit kuning").
Adat istiadat dan budaya sarat akan warisan yang sangat bijak. Kita bangga sebagai bangsa Tionghoa, kita memiliki warisan budaya dan ilmu pengetahuan Tionghoa yang tak ternilai harganya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga akan budayanya dan melestarikan budayanya, saya kira begitu bukan?

Saya kira, bangsa-bangsa lain pun berhak untuk bangga dan melestarikan budaya dan rasnya. Apakah menjadi Tionghoa sejati itu salah? Khususnya dalam konteks negara Indonesia, orang-orang Tionghoa akan dicap "rasis", "ekslusif", dan istilah-istilah lainnya yang cukup mengada-ada. Hal yang paling mudah yang saya ingin tanyakan pada kita semua adalah, coba kita balikan pertanyaan itu pada Fankui sendiri "apakah salah menjadi Jawa sejati?" Kita dengan mudah akan bisa menebak bahwa mereka tidak akan mempermasalahkan sama sekali. Tapi, mengapa masyarakat Tionghoa di Indonesia, bila ingin menjadi Tionghoa sejati, kita selalu dicibirkan, dimusuhi, bahkan dipaksa untuk asimilasi?
Apakah menjadi Tionghoa sejati harus berarti kita tidak bisa mentaati hukum? Apakah menjadi Tionghoa sejati itu berarti kita itu Fasis? Apakah dengan Tionghoa sejati itu kita selalu tidak berbaur, atau dalam kata lain, eksklusif?
Kita perlu tanyakan, apakah itu berbaur? sampai sejauh manakah mereka Fankui-Fankui ini mengharapkan kita berbaur? Kita mencari nafkah, berkomunikasi dan bekerja dengan Fankui-Fankui, kita mempunyai pekerja Fankui, kita memberikan lapangan kerja pada mereka, kita juga mempunyai tangga sebelah Fankui yang hidup rukun dengan kita. Apakah itu bukan berbaur. Jelas Fankui-Fankui ini tidak puas, mereka mengingingkan "asimilasi" alias "ka.win paksa". Jelas, ini melanggar HAM yang termasuk paling berat.
Jadi, jelas dengan tuduhan Fankui-Fankui tersebut pada kita, mereka menanamkan propaganda bahwa menjadi Tionghoa sejati adalah buruk. Tuduhan ini amat sangat tidak berdasar dan absurd. Sekali lagi, bila kita tanyakan pada mereka, kenapa orang Jawa, Batak, atau orang-orang dari agama Islam atau Kristen ingin menikah dengan orang satu suku atau satu agama, kenapa mereka tidak dicap rasis? Sama saja bukan?

2. Rasisme yang pragmatis
Rasisme, dalam kehidupan sehari-hari adalah stigma pada orang-rang / masyarakat yang ingin ekslusif, merasa ras nya paling tinggi, merendahkan ras lain, tidak mau berbaur, cenderung fasis, dan lain sebagainya. Mengapa "rasis" selalu mendapat stigma buruk? Saya kira tidak harus buruk. Coba renungkan ini:
Saya mau bertanya bagaimana dengan pelajaran di sekolah tentang budaya tentang suku-suku di Indonesia, atau budaya-budaya dan etnis-etnis negara lain? Apakah itu "rasis?" Apakah dalam pelajaran-pelajaran tersebut, mereka itu belajar membeda-bedakan satu etnis dengan etnis lainnya? Bagaimana dengan pelajaran antar budaya / antropologi di universitas? Apakah mereka tidak belajar mengeneralisasi dan stereotipe masing-masing etnis dan budaya? Tentu saja, karena itulah tujuannya cabang ilmu tersebut. Ini jg "rasis". Apakah universitas tersebut atau cabang ilmu tersebut akan menjadikan siswanya fasis, atau merendahkan etnis / bangsa lain? Tidak selalu bukan? Malahan dengan "rasis" positif seperti ini, kita semua menjadi ingin melestarikan budaya dan etnis bukan?
Saya kira, dengan melihat bisa meluasnya arti "rasis" itu sendiri, memang kita semua rasis. Kita semua harus akui, kita semua "rasis" . Kalau demikian, menjadi "rasis" itu sama sekali tidaklah buruk. Kita harus mengakui, budaya dan etnis itu nyata dalam hidup kita, kita itu semua berbeda, dan perlu perlakuan khusus dan studi khusus untuk itu. Sekali lagi, apakah rasis yang memiliki konteks seperti demikian itu buruk? Tidak, malah sebaliknya. Dengan menjadi "rasis", kita bisa menghargai pluralitas, dengan menjadi "rasis" kita dapat menghargai etnis dan budaya sendiri, dengan menjadi "rasis", kita dapat menaikan percaya diri kita dan harga diri kita. Kita pun bisa menjadi maklum bila orang-orang ingin menikah dengan sesama suku, sesama etnis, sesama agama, tanpa harus berpikiran buruk, dan hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
Diubah oleh shzw 14-07-2016 15:08
0
3.7K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan