Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shzwAvatar border
TS
shzw
Akulturasi Sebagai Tahapan Awal Pembunuhan Identitas Tionghoa Melalui Asimilasi
http://yinnihuarendeshehuigeming.blo...max-results=36

Bandung terkenal wisata kulinari nya. Tak jarang kota ini dikunjungi berbagai turis yang juga berasal dari mancanegara. Suatu hari di sebuah rumah makan mie di jalan Naripan, nampaklah dua orang turis berwajah oriental, entah meraka dari Tiongkok daratan, Taiwan, atau Hongkong. Mereka berumur 40-an. Mereka tertarik untuk memesan semangkuk yamien manis yang nampaknya lezat terpampang pada gambar poster. Akhirnya ia memesan dua mangkuk kepada pelayan rumah makan dgn bahasa isarat. Kemudian si pelayan balik bertanya, “Anda ingin kuah yang asin atau manis?”, sembari menunjuk pada dua buah kuali berisi kuah pada etalase. Kedua turis itupun bingung, mencoba menengok ke belakang. Mereka melihat ada seorang pemuda Tionghoa. Salah satunya menghampiri dan bertanya, “Xiǎo máohái, qǐngwèn nǎlǐ shì xiánwèi de ròuzhī ?” (Nak, permisi numpang tanya mana kuah yang rasa asin?), namun si pemuda Tionghoa tadi nampak kebingungan seperti melihat alien mengajak berkomunikasi dengannya. Beberapa temannya memandangi, sehingga ia malu dan berlagak seolah-olah mengerti. Ia pun langsung menunjuk salah satu kuali secara random. Dan akhirnya sang turis memesan apa yang ditunjuk pemuda tadi. Si pemuda tadi pun langsung menghampiri teman-temanya dan sambil tertawa-tawa berkata “bodoh anjing, aing teu ngarti basa setan. Ku aing dibohongan weh asal tembalan oge da moal nyahoeun !!!” (bodoh anjing, saya tidak mengerti bahasa setan. Saya tipu saja asal jawab juga tak bahal tahu.). Sambil bertindak urakan, ia merasa tindakannya itu kocak.

Cuplikan kejadian ini memang sering dinilai sebagian besar masyarakat sebagai sebuah proses akulturasi. Jikalau saya menghampiri si pelayan rumah makan tadi, kemudian menunjuk si pemuda tersebut dan bertanya “Dia orang apa??”, pastilah ia menjawab “orang Cina” atau “orang Tionghoa”. Memang benar. Tapi jawaban sang pelayan itu didasarkan pada wujud fisik si pemuda itu bukan karakternya.

Sebenarnya kalau kita bertanya “Apa sih orang Tionghoa itu??”... Misalkan apabila saya coba hilangkan semua kata-kata “Tionghoa” yang ada pada cuplikan di atas (Saya tak beri tahu jika pemuda itu seorang Tionghoa), apakah sang pembaca dapat mengetahui bahwa si pemuda itu seorang Tionghoa?? Nah coba bandingkan dengan persepsi pada cuplikan ini :
“Di dalam sebuah kelenteng terlihat seorang pemuda memegang beberapa batang dupa. Ia menghadap kepada patung Guan Gong, dan berkomat-kamit mulutnya mengucapkan doa dalam bahasa Hokkian.”

Jika saya tanya pada siapapun, orang apa pemuda tersebut, pastilah 99% menjawab orang Tionghoa / Chinese. Walaupun pada cuplikan saya tidak memasukkan kata “Tionghoa”. Ini berarti menandakan bahwa orang Tionghoa memiliki ciri karakteristik budaya yang kuat.

Akan tetapi sangat disayangkan dewasa ini masyarakat cenderung mendefinisikan sosok kedua pemuda baik pada cuplikan cerita pertama maupun kedua sebagai sosok Tionghoa yang asli. Ini semua karena mereka terlalu miskin dalam perbendaharaan kata istilah-istilah dalam Tionghoa. Kedua pemuda tersebut memang benar boleh dikategorikan sebagai Huayi (华裔, orang Chinese yang hidup di luar Tiongkok daratan dan Taiwan), namun istilah pemuda pada cuplikan cerita pertama lebih tepatnya dikenal sebagai Qiaosheng (侨生) atau Khio Seng dalam dialek Hokkien. Istilah Qiaosheng mungkin popular di kalangan Tionghoa Indonesia, di beberapa negara perantauan lain Qiaosheng dikenal juga sebagai “Banana Chinese”, sebuah simbolisasi Tionghoa yang berkulit kuning namun isinya berwarna putih (berkarakter seperti orang bule kulit putih). Kalau di Tiongkok, anak-anak Qiaosheng seperti ini sangat dipandang rendah, bahkan dianggap penghianat bangsanya sendiri. Sehingga di Tiongkok mereka disebut Qiaosheng Hanjian (侨生汉奸).

Jikalau kita kembali mengkaji makna Akulturasi, apakah mahluk bernama Qiaosheng itu boleh disebut sebagai wujud akulturasi di Indonesia?? Coba kita simak makna akulturasi berikut ini :
◆ Akulturasi pada dasarnya adalah proses dari suatu budaya yang “meminjam” gagasan-gagasan & materi-materi dari budaya lainnya. (Azimipour & Jones, 2003)
◆ Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. (Wikipedia)

Nah, jadi bisa kita simpulkan bahwa karakteristik orang Tionghoa berupa Qiaosheng sama sekali bukan merupakan produk akulturasi. Seperti yang dikatakan Azimipour dan Jones, proses akulturasi hanya “meminjam gagasan”, ataupun seperti pada wikipedia dikatakan “tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri”. Disini jelas terlihat bahwa pada sosok Qiaosheng sudah hampir sama sekali tidak ditemukan unsur karakteristik budaya Tionghoa. Dari segi bahasa, mereka tidak bisa berbicara bahasa Tionghoa (Mandarin, Hakka, Hokkien, Kanton, Tiociu, etc). Dari segi religi dan deity, mereka sudah bukan beragama original Tri-Dharma (Buddha, Tao, Konghucu), tetapi lebih tertarik pada agama-agama Samawi dan beranggapan bapak leluhur mereka adalah Abraham, yang identik dengan bangsa Yahudi (ras kulit putih). Padahal dalam mitologi Tionghoa sendiri diakui bahwa bapak leluhur mereka adalah kaisar Qinshi Huangdi (秦始皇帝), seorang kaisar agung dinasti Qin yang menyatukan negeri leluhur Tiongkok. Bahkan ironisnya, beberapa sudah tak merayakan Tahun Baru Imlek. Ini tentunya diakibatkan pengaruh pandangan kepercayaan mitos fiktif Yahudi yang merendahkan kepercayaan lain di luar Juruselamat pujaan mereka sebagai tradisi sesat berhala.

Seringkali saya selalu mendengar beberapa orang Qiaosheng beropini demikian, “Ya kita kan sudah berakulturasi dengan budaya setempat, buat apa mesti bangga sama budaya Cina?? Itu mah budaya totok. Saya bukan Cina, saya Indonesia. Yang disebut Cina itu kan RRC...”
Namun apakah pernah terpikir di benak mereka, apabila tidak pernah ada negeri Tongkok dan orang-orang Tiongkok daratan, pastilah mereka tidak akan pernah terlahir di dunia ini. Kalaulah mereka rendahkan budaya leluhur mereka sebagai kuno (totok), sama saja mengatakan bahwa mereka terlahir dari kaum hina yang kuno.

Perlu diketahui juga, istilah kata "Cina" dalam bahasa Indonesia bukan mencakup kawasan regional Republik Rakyat China (Tiongkok) saja. Tetapi mengenai suatu rumpun bangsa yang leluhurnya berasal dari etnik Han di Tiongkok, yang menetap di kawasan negara mana saja. Sehingga istilah orang China atau Tionghoa berarti juga menunjuk kepada orang China yang menetap di Indonesia.

Mungkin saat ini di benak para Qiaosheng terpikir apabila melunturkan identitas asalnya, maka akan diterima masyarakat pribumi. Tidak dipandang secara sentimen. Namun pernahkah mereka mengingat kembali tragedi berdarah Racism Riot pada Mei 1998 dimana memakan banyak orang Tionghoa sebagai korban. Apabila suatu saat kembali terjadi peristiwa berdarah semacam itu, apa mungkin orang pribumi yang menjadi perusuh sebelum mengganyang bertanya kepada calon korbannya, kamu Tionghoa original atau sudah Qiaosheng?? Ya walau si Qiaosheng yang sudah memplot dirinya cinta budaya pribumi lokal, tetap saja ia akan menjadi korban kebrutalan para perusuh.

Sebenarnya pembentukan spesies manusia baru bernama Qiaosheng ini merupakan keberhasilan pemerintah di jaman Orde Baru dalam menanamkan politik diskriminasi rasial di Indonesia. Warga negara keturunan Tionghoa berusaha dilenyapkan identitas asalnya, dan juga budayanya dimusnahkan. Mereka dilarang menggunakan nama Tionghoa, dilarang merayakan tahun baru Imlek, juga dilarang menggunakan bahasa Tionghoa, dan menutup sekolah-sekolah berbahasa Mandarin. Kemudian setiap harinya mereka disuntik dengan paham-paham Fascisme “Jawa Oriented”, diarahkan menjadi kaum nasionalis Indonesia yang fanatik. Fakta-fakta sejarah tentang tindakan pembantaian etnik Tionghoa berusaha ditutup-tutupi. 32 tahun merupakan waktu yang sangat panjang dan cukup untuk memformat otak-otak generasi Tionghoa menjadi kaum Qiaosheng. Nah, untuk menutup aksi diskriminatif-nya, pemerintah orba meminjam kata “Akulturasi” menjadi definisi dari tindakan mereka yang mematikan budaya Tionghoa. Sehingga proses pelunturan budaya Tionghoa di Indonesia yang dipaksakan terkesan sebagai suatu proses alamiah. Padahal semua kronologis pelunturan budaya Tionghoa ini telah terencana dengan rapi oleh oknum pribumi rasis di pemerintahan Orba, termasuk pembunuhan genetikal Tionghoa pada generasi berikutnya lewat desakan ka.win campur yang dipaksakan pada wanita muda Tionghoa. Mungkin definisi ASIMILASI PAKSA atau CLEANSING ETHNIC lebih tepat untuk fenomena terbentuknya spesies “Qiaosheng” ini.

Posted by Kang Soong Hwa 江宋華 at 下午11:53
Diubah oleh shzw 13-07-2016 14:44
0
3.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan