pemuda.ndesoAvatar border
TS
pemuda.ndeso
Membangun Indonesia Dari Pinggiran
Agan agan, kaskuser yang baik selalu ninggalin jejak. Saya gak nolak rate bintang 5, apalagi :cendolemoticon-Toast . TS enggak terima emoticon-Blue Guy Bata (L)





Langkah menteri desa Marwan Jafar menolak perpanjangan otomatis pegiat desa eks PNPM menuai perlawanan dari kelompok tersebut. Dengan dalih profesional dan lebih berpengalaman, eks PNPM enggan mengikuti proses seleksi, yang mereka tuding tidak transparan dan penuh diskriminasi. Proses rekrutmen pendamping desa (PD) banyak diminati oleh pemuda-pemuda desa yang ingin berkontribusi bagi pembangunan desa mereka. Mereka percaya bahwa Nawa Cita poin ketiga yang bernafaskan desentralisasi akan mampu membawa desa menuju gerbang kesejahteraan. Tagline "Membangun Indonesia Dari Pinggiran" telah membangunkan para pemuda. Inilah saatnya! Waktu pembebasan desa dari keterbelakangan telah tiba.



Proses ini sayangnya dinodai oleh sebagian kecil eks PNPM yang gagap melihat perubahan ini. Harusnya dengan kapasitas dan pengalaman, sebagian eks PNPM justru melihat ini sebagai peluang besar untuk mewujudkan idealisme mengenai konsepsi desa yang sejati. Eks PNPM yang sudah berusia diatas 50 tahun yang tidak dapat mendaftar, meng-agitasi eks PNPM lainnya untuk menolak seleksi ulang dan lebih suka mengacaukan serta melakukan lobi-lobi dengan partai politik untuk memukuskan agenda mereka. Kampanye reshuffle menteri desa pun dihembuskan. Bingo! Parpol yang butuh kursi tambahan dikabinet pun menyambut gerakan ini. Dan lahirlah politisasi isu desa. Konsep "Membangun Indonesia Dari Pinggiran" dalam bahaya.



Kementerian Desa akan mnecederai asas equality jika mengabulkan tuntuta eks PNPM tersebut. Sangat naif diantara puluhan ribu pemuda yang tergerak memajukan desa dan mengikuti proses seleksi, disisi lain ada sekelompok orang ingin mendapatkan privelege dan karpet merah.

Lalu apa perbedaan PNPM dengan Dana Desa cq Pendamping Desa? Semangat PNPM berbeda dengan semangat UU Desa yang menjadi landasan dalam pembangunan dan pemberdayaan desa. UU Desa No.6 Tahun 2014 merupakan semangat baru bagi desa dalam melakukan pembangunan dan pemberdayaan. Hakikatnya, UU Desa menekankan pembangunan partisipatoris, yakni peran masyarakat desa yang aktif baik dalam tataran konsep, berupa ide dan gagasan maupun tataran praktis, yakni keterlibatan langsung di lapangan. Sedangkan PNPM lebih berlandaskan pada project oriented.



PNPM pada masanya punya peran yang tidak efektif dalam tugasnya melakukan pembangunan dan pemberdayaan. Tidak efektif yang dimaksud adalah masyarakat desa melalui kades yang memiliki program untuk desa, harus mengajukan kepada PNPM yang bertempat di kecamatan. Untuk meloloskan program yang diajukan oleh kades, petugas PNPM kemudian melakukan pertimbangan-pertimbangan (secara subjektif) hingga akhirnya usul program diterima atau diloloskan. Sistem ini praktis menimbulkan celah untuk memunculkan praktek korupsi, karena suatu usul/program bisa diterima maupun ditolak. Deal-deal an yang menjurus kepada aspek pragmatisme pribadi otomatis tidak dapat dihindarkan. Sudah banyak sekali kasus korupsi terkait penyalahgunaan anggaran PNPM terkuak ke media massa. Bahkan temuan audit berdasar SIM LHP BPKP menyebutkan bahwa kasus terbanyak ditemukan adalah penyimpangan dan penyalahgunaan (6.646 kasus). Sedangkan kasus yang sudah diselesaikan sebanyak 5.174 kasus. Dan yang mengejutkan adalah masih terdapat total 128 triliun uang negara yang belum dikembalikan akibat penyelewengan tersebut. Model pendampingan PNPM yang tidak menempatkan desa sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan ini sesungguhnya jauh dari semangat UU Desa, serta berbeda dengan pendampingan model pendamping desa. Pendamping desa berdasarkan Permendesa No.3 tahun 2015 mengatur bahwa peran dan fungsi pendamping desa hanya sebatas mendampingi dan membimbing aparatur desa dalam merumuskan program yang sesuai dengan prirotas yang ditetapkan, dan atau sesuai dengan azas manfaat. Pendamping desa tidak memiliki kewenangan dalam menjatuhkan keputusan atas diterima atau ditolaknya suatu program. Masyarakat desa dan para pemerintah desa secara demokratis menyetujui program apa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan itulah pemerintah menganggap PNPM Mpd yang sudah habis masanya harus diganti dengan pendamping desa yang sesuai dengan semangat UU Desa. Namun kembali lagi-lagi pemerintah masih berbaik hati untuk mengakomodir eks PNPM yang ingin menjadi pendamping desa dengan syarat mengikuti rekrutmen yang telah ditetapkan. (http://m.kompasiana.com/anak-desa/ga...e611207824360)

Dengan melontarkan isu Pendamping Desa (PD) banyak diisi oleh kader parpol, dana desa dipakai untuk kepentingan politik 2019, dan lainnya, para eks PNPM yang sudah berusia lanjut -yang gagal mengikuti seleksi karena batasan usia- mencoba menggagalkan mimpi para pemuda yang ingin menjadi Pendamping Desa, mimpi para penduduk desa yang ingin melihat kemajuan didesa mereka.



Kita harus bergerak dengan yang ada saat ini. Pendamping Desa tak hanya sebatas membantu desa mengelola Dana Desa (DD) dan pembangunan infrastruktur yang dikelola oleh masyarakat. Tapi ada tantangan lain yang jauh lebih besar, bagaimana mempersiapkan desa mendapatkan manfaat dari sebuah kesempatan besar yang bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bagaimana desa-desa mengepung kota-kota ASEAN dengan produk-produk terbaiknya. Inilah golden moment kita!!
Diubah oleh pemuda.ndeso 17-05-2016 05:22
0
1.9K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan