BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
MK: Mahkamah Katebelece

Bagi hakim konstitusi, pelanggaran etika ringan tetap sebagai cacat profesi.
Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan Ketua MK, Arief Hidayat, melanggar etika. Hukuman yang dijatuhkan: Sanksi teguran lisan.

Pengambilan keputusan dalam sidang yang dipimpin Abdul Mukthie Fadjar dengan anggota Hatta Mustafa dan Muchammad Zaidun itu sebenarnya sudah terjadi 15 Maret lalu. Namun putusan lengkapnya baru dipublikasikan di situs MK, pada Jumat (29/4/2016).

Setelah memeriksa terduga dan saksi, Dewan Etik, Arief dinyatakan melanggar kode etik prinsip ke-4, butir ke-8 mengenai kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi:

"Hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim konstitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunyai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya."

Perkara yang menyeret Ketua MK sampai ke sidang etik adalah terungkapnya katebelece, alias surat referensi yang ditulis Arief untuk Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Widyopramono, Januari lalu.

Surat itu dibawa oleh kerabat Arief, M. Zainur Rochman, sebagai pengantar penilaian karya ilmiah Widyo. Arief adalah salas satu penilai karya ilmiah Widyo yang akan diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Sebelas Maret, Solo.

Arif memberi pesan: "Saya hadapkan famili saya yang mengantar berkas ini bernama M. Zainur Rochman. Ybs adalah Jaksa di Kejari Trenggalek dengan jabatan Kasie Perdatun dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIc. Mohon titip dan dibina dijadikan Anak Bapak."

Saat katebelece itu jadi pemberitaan, kepada media Arief membantah, dia mengaku tak pernah membuat memo tersebut. Namun di hadapan Dewan Etik, Arief mengakuinya. Meski begitu ia menganggap surat itu bukan untuk menitipkan atau meminta bantuan Widyo agar bisa mempromosikan atau memutasi kerabatnya tanpa memperhatikan persyaratan yang semestinya.

Namun Dewan Etik berpendapat, surat itu memberi interpretasi negatif. Apalagi Arief adalah Ketua MK yang harus menjadi contoh teladan dalam mematuhi kode etik, serta menjaga wibawa dan marwah MK.

Begitulah, Dewan Etik sudah menjatuhkan hukuman teguran lisan. Arief, yang masih berada di luar negeri belum memberikan komentar atas keputusan tersebut. Namun sejumlah pihak menilai beragam keputusan Dewan Etik ini.

Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, menilai keputusan Dewan Etik akan menjadi tradisi yang baik. Ia meminta Arief tak perlu mundur karena kasus ini. Menurut Jimly, Kalau setiap sanksi ringan harus diikuti aksi mundur, tidak ada lagi unsur mendidik dalam sistem sanksi yang diterapkan.

Sementara pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menganggap hukuman yang dijatuhkan Dewan Etik teralu ringan. Menurut dia, sanksi etik tidak cukup kuat untuk mengubah sikap dan perilaku. Seharusnya sebagai peradilan konstitusi, MK memiliki standar etika tertinggi.

Ringannya putusan itu, diduga karena anggota Dewan Etik adalah hakim konstitusi, kolega sekaligus anak buah dari Ketua MK yang jadi terperiksa. Tentu akan lebih elok bila Dewan Etik adalah orang dari luar, yang tak punya ikatan emosional maupun struktural terhadap MK maupun terperiksa.

Soal pengawasan sesungguhnya memang menjadi salah satu titik kelemahan MK. Semula Komisi Yudisial (KY), sesuai UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial, punya tugas untuk mengawasi hakim konstitusi.

Namun dalam uji materi terhadap UU tersebut, MK dengan keputusan No. 005/PUU-IV/2006, memangkas 12 pasal di dalam UU KY yang mengatur pengawasan hakim, termasuk hakim konstitusi. Pasal tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan UUD 1945.

Akibatnya MK tak punya pengawas dari luar. Pengawasan dilakukan secara internal.

Sejumlah pihak memang menghendaki Arief mundur dari jabatannya. Kesalahan etik ringan sekalipun, adalah cacat profesi bagi seorang hakim konstitusi. Ketua MK adalah simbol kewibawaan lembaga pengawal konstitusi, yang tidak boleh tercela.

Meminjam istilah yang sering disampaikan mantan Hakim Agung, Bismar Siregar (Almarhum), hakim adalah wakil tuhan di pengadilan. Dalam bahasa Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim hanya diawasi oleh Tuhan dan dirinya sendiri.

Itulah sebabnya kesadaran dan integritas hakim menduduki posisi yang paling penting dalam profesi hakim.

Karenanya sangat masuk akal bila masyarakat punya harapan nilai etika dan moral yang tinggi terhadap hakim. Apalagi Ketua MK, sebagai pucuk kekuasaan peradilan konstitusi. Bahasa ringkasnya, masyarakat tidak ingin seorang ketua MK punya cacat etika.

Secara filosofis, mengutip pendapat Mantan Ketua MK, Mahfud MD, dalam masyarakat hidup berbagai norma, yaitu norma keagamaan, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Sedang hukum dibuat sebagai formalisasi tentang nilai-nilai moral dan etika yang bersumber dari ketiga norma tersebut.

Bila nilai-nilai moral dan etika itu tidak terpenuhi oleh pasal-pasal yang resmi atau yang formal-prosedural di dalam hukum, maka nilai moral dan etika dalam jabatan haruslah lebih diutamakan. Makna sejatinya, moral dan etika berada di atas hukum.

Namun sesungguhnya, bukan hanya tuntutan moral dan etika, yang meminta seorang pejabat publik harus mundur bila bermasalah. Ketetapan No. VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa pun menegaskan hal itu. Aturan ini masih berlaku sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.

Bab II butir 2 Tap MPR ini antara lain menyebut: "Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara."

Hakim konstitusi mundur dari jabatannya, setelah dinyatakan melanggar etik, sesungguhnya bukanlah hal baru. Tahun 2010, hakim konstitusi Arsyad Sanusi menyatakan mundur setelah Majelis Kehormatan Hakim (MHK) menyimpulkan dirinya melanggar kode etik.

Ketika itu MKH telah menemukan bukti adanya pertemuan antara Dirwan Mahmud, mantan calon Bupati Bengkulu Selatan, dengan Neshawaty (anak Arsyad), serta Zaimar (adik ipar). Pertemuan itu diduga berhubungan dengan sengketa pilkada yang diajukan Dirwan ke MK.

Saat mengumumkan pengunduran dirinya, dia menyebut untuk menjaga keluhuran, kehormatan dan martabat mulia hakim konstitusi. Arsyad juga menghormati penilaian MKH yang menyatakan dirinya gagal dalam pertanggungjawaban moral mengawasi keluarga.

Kita tentu akan sangat menghormati Arief, bila ia mau belajar dari keputusan Arsyad Sanusi. Bila tidak, jangan salahkan masyarakat kalau kemudian mencibir dengan menyebut MK dengan Mahkamah Katebelece.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...mah-katebelece

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan