- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketika Tionghoa-Jawa Berkoalisi
TS
laksamanaxiaomi
Ketika Tionghoa-Jawa Berkoalisi
Quote:
Ketika Tionghoa-Jawa Berkoalisi
Episode Geger Pecinan menghilang dari pelajaran sejarah di sekolah semasa Orde Baru. Dinilai lebih besar daripada Perang Diponegoro.
Jumat, 4 Maret 2016
Teddy Jusuf tersenyum kecut saat ditanya letak Monumen Pao An Tui, yang sejak pertengahan Februari lalu oleh sejumlah pihak di media sosial disebut-sebut berada di lingkungan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Kepala Unit Kerja Taman Budaya Tionghoa TMII itu menyatakan, di lingkungan kompleks Museum Budaya Tionghoa dan Museum Hakka cuma ada monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC Tahun 1740-1743, bukan Monumen Pao An Tui. Persisnya, monumen yang diresmikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 14 November 2015 itu terletak di antara Museum Cheng Ho dan patung Kong Hu Chu.
“Coba, yang gembar-gembor di medsos (media sosial) itu datang sendiri, lihat. Gratis, kok,” kata pensiunan jenderal bintang satu itu saat ditemui detikX, Rabu, 24 Februari lalu.
Ide pembangunan monumen itu, ia melanjutkan, berasal dari kerabat keluarga Mangkunegaran. Sebab, ada leluhur mereka yang terlibat langsung dalam perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa melawan VOC. Leluhur yang dimaksud adalah Raden Mas Said atau Mangkunegoro I dan Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono I. Keduanya pada 1983 mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional. “Peristiwa dalam monumen tersebut tahun 1740-1743, sedangkan Pao An Tui mulai terbentuk tahun 1940-an. Bedanya 200 tahun, nyambung enggak?” kata Teddy, yang menjadi anggota Fraksi ABRI di Dewan Perwakilan Rakyat pada 1996.
Kalaupun ada yang menyebut monumen itu sebagai Monumen Lasem, menurut KRMH Daradjadi Gondodiprodjo, hal itu bisa dimaklumi karena yang membangun adalah Paguyuban Warga Lasem. Kerabat Mangkunegaran memang tidak terlibat langsung secara fisik. “Kami cuma memberikan sumbang saran dan dukungan moral,” ujar Daradjadi melalui surat elektronik.
Penulis buku Geger Pacinan itu menjelaskan, monumen adalah deskripsi atas suatu sejarah. Ia menilai sejarah yang baik harus memperlakukan tokohnya dengan adil. Karena itu, ketika mencuat niat untuk mengungkap kepahlawanan Raden Mas Said, laskar Tionghoa, yang membantunya saat berjuang melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), tidak dapat dilepaskan. Sebaliknya, ketika mengungkap perjuangan Khe Panjang, peran RM Garendi atau Sunan Kuning tidak dapat diabaikan begitu saja.
“Mereka berlainan etnis maupun agama, tapi dapat bekerja sama untuk mencapai cita-cita bersama. Barangkali nilai inilah yang menjadi pesan moral dari monumen tersebut,” tutur Daradjadi.
Menurut dia, Geger Pecinan, yang melibatkan koalisi laskar Tionghoa-Jawa melawan VOC, merupakan perang balas dendam terhadap kesewenang-wenangan VOC. Pada 8-10 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adrian Valckenier, VOC membantai sekitar 10 ribu orang Tionghoa di Batavia. Dengan dalih telah melanggar peraturan keimigrasian dan perpajakan, orang-orang Tionghoa itu dianiaya dan dibunuh. Padahal tujuan sesungguhnya adalah memeras dan merampas harta benda orang-orang Tionghoa.
Jumlah korban itu tergolong sangat besar bila dibandingkan dengan pertempuran 10 November 1945, yang menelan korban sekitar 12 ribu jiwa. Pada 1945, jumlah penduduk Indonesia sekitar 70 juta jiwa. Sedangkan saat pembantaian 1740, jumlah penduduk Jawa belum genap 5 juta jiwa.
"Peristiwa dalam monumen tersebut tahun 1740-1743, sedangkan Pao An Tui mulai terbentuk tahun 1940-an. Bedanya 200 tahun, nyambung enggak?"
Orang Belanda, baik sipil maupun militer, dan pasukan milisi pribumi bentukannya yang kejam dan rakus bersama-sama melakukan penjarahan terhadap orang Tionghoa. Mereka yang turut dibantai adalah orang-orang Tionghoa yang berada dalam penjara dan yang tengah dirawat di rumah sakit. Ratusan rumah dan gedung musnah dimangsa api.
Menurut B. Hoetink dalam bukunya, Ni Hoe Kong, Kapiten Tiong Hoa di Betawie dalem Tahon 1740, warga Tionghoa di Batavia kala itu umumnya berasal dari Fujian, Cina Selatan, yang berdialek Hokkian. Di Batavia, banyak dari mereka yang termasuk golongan menengah serta mendominasi sektor perdagangan dan industri. Baru pada abad ke-19, berdatangan orang Tionghoa dari suku Hakka.
Turut menjadi tumbal dalam tragedi itu adalah Ni Hoe Kong, seorang kapitan Cina yang kaya raya di Betawi. Rezim VOC menuding Ni Hoe Kong bertanggung jawab atas berbagai aksi rusuh oleh orang-orang Tionghoa terhadap pemerintahan VOC di Batavia. Dia dibuang ke Ambon pada 12 Februari 1745, dan pada 23 Desember 1746 meninggal di sana. dan industri. Baru pada abad ke-19, berdatangan orang Tionghoa dari suku Hakka.
Pascapembantaian, tokoh masyarakat Tionghoa di Gandaria, pinggiran Batavia, bernama Souw Phan Ciang alias Khe Panjang alias Sepanjang membentuk laskar untuk melawan VOC. Mereka menyerang pos-pos pertahanan VOC di sekitar Batavia hingga Cirebon, dan akhirnya pada 1741 memasuki wilayah Kerajaan Mataram, yang beribu kota di Kartasura. Kedatangan mereka, menurut Daradjadi, disambut oleh laskar-laskar Tionghoa lokal di bawah pimpinan Tan Sin Ko alias Singseh, Oey Ing Kian (Raden Tumenggung Widyaningrat/Bupati Lasem), Tan Kee Wie, dan lain-lain.
“Raja Mataram Pakubuwono II membangun persekutuan dengan laskar Tionghoa tersebut dan menyerang pertahanan VOC di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujar Daradjadi.
Perang koalisi pasukan laskar Tionghoa-Jawa melawan VOC, ia melanjutkan, makin dahsyat setelah Pakubuwono II diganti oleh Raden Mas Garendi, yang bergelar Amangkurat V. Di samping tokoh seperti Bupati Grobogan Martopuro, Patih Notokusumo, dan Pangeran Mangkubumi, muncul tokoh-tokoh muda dengan nama Raden Mas Said, Raden Panji Margono, dan lainnya.
Perang dengan cakupan wilayah yang luas (meliputi Kartasura, Salatiga, Boyolali, Magetan, Welahan, Pulau Mandalika di lepas pantai Jepara, hingga Lasem) dengan korban besar yang dihadapi VOC ini berakhir pada 1743. Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning tertangkap di Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka. Sebelumnya, Patih Notokusumo ditangkap Belanda.
Sementara itu, Tan Sin Ko dan Tan Kee Wie gugur dibunuh serdadu VOC. Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I) dan Raden Mas Said (Mangkunegoro I) terus berjuang di daerah Jawa Tengah. Pada 1983, keduanya oleh pemerintah RI diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan Sepanjang meneruskan perlawanannya ke arah timur. “Ia sempat terlihat di Pulau Bali pada 1758,” kata Daradjadi.
Salah satu strategi yang membuat VOC kebingungan menghadapi perlawanan koalisi Jawa-Tionghoa itu, menurut Iwan Santosa, adalah banyaknya anggota pasukan Jawa yang biasa menggunakan busana ala orang-orang Tionghoa. “VOC bingung, kok pasukan Tionghoa tak kunjung habis,” tulisnya dalam pengantar buku Geger Pacinan karya Daradjadi.
Penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran Indonesia itu juga menilai, ditinjau dari segala sisi, perang Geger Pecinan itu jauh lebih besar ketimbang skala Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Periode Geger Pecinan atau disebut juga Perang Sepanjang menumbuhkan benih perlawanan di kalangan bangsawan Jawa terhadap kepemimpinan yang khianat dan menghamba pada kekuasaan asing kompeni.
Sementara itu, sejarawan Didi Kwartanada dari Yayasan Nabil menulis, episode Geger Pecinan sebetulnya masih muncul dalam buku teks sejarah di sekolah-sekolah di era pemerintahan Bung Karno. Ia antara lain merujuk buku Indonesia dan Dunia: Peladjaran Sedjarah untuk SMP Djilid 2 karya Soeroto yang diterbitkan Tiara, 1961. Bahkan bahan Sedjarah Nasional yang diterbitkan Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru di Bandung (1953) menyebut episode tersebut sebagai “Revolusi Tahun 1740-1743”.
“Namun, dalam masa Orde Baru, kepada murid tak lagi diajarkan kisah perjuangan bahu-membahu melawan penjajah yang cukup penting artinya bagi nation building kita,” kata Didi.
sumber
sejarah yang perlu kembali diajarkan ke generasi muda
0
6.6K
Kutip
41
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan