creativeboxAvatar border
TS
creativebox
Berkenalan dengan Ayun, Pemilik 'Desa Restaurant' yang Sukses di Belanda


Milan - Penampilannya biasa saja. Sepatu karet, tas selempang, plus air kemasan di genggaman. Tak mengira pria kelahiran Jakarta itu adalah pemilik empat restoran top di Belanda.

Ayun, begitu ia biasa disapa, terbang dari Jakarta ke Amsterdam 35 tahun silam untuk melanjutkan pendidikan di salah satu akademi dengan jurusan design grafis. Ayung menetap di kediaman orang tua angkatnya.

Untuk tambahan uang saku, ia kerja paruh waktu di restoran makanan Austria. Memulai karier di urusan cuci piring, pria yang di kartu identitas memakai nama Effendi ini naik pangkat dalam waktu relatif singkat. Hanya dalam dua tahun, Ayun diangkat menjadi koki.
Semasa di Indonesia, pria murah senyum ini mengaku tak pernah masuk dapur. Padahal orangtuanya punya usaha kantin. Puluhan tahun silam, ayahnya punya kantin di kapal yang memberangkatkan jamaah haji.

"Saya nggak pernah masuk dapur. Cuma lewat aja. Ngga pernah terpikir bakal punya usaha yang sama," tutur Ayun saat berbincang menjelang penutupan Paviliun Indonesia di ajang Milan World Expo 2015, Italia, Sabtu (31/10/2015). Ayun terlibat dalam pengelolaan kuliner di Paviliun Indonesia.
Namun alam bawah sadar Ayun sepertinya merekam dengan jelas bagaimana dapur beroperasi, bagaimana koki dengan cekatan meramu bahan.

"Begitu disuruh masak saya seperti sekelibatan kelihatan. Oh harus begini, begitu. Semua kayanya gampang aja," kisahnya.

Selain modal alam, begitu Ayun menyebut kenapa ia bisa memasak, ada faktor kerja keras dan momen yang membuat ia kini bisa mengelola restoran beromzet 1 juta euro per tahun.

"Motto saya, kalau kerja keras dan punya sedikit akal yang lumayan, nggak mungkin mati kelaparan. Itu aja sebenarnya sudah cukup. Kalau jadi kaya, mungkin karena memang sudah momennya. Ada kesempatan yang kita beruntung bisa tangkap," menurut pria yang pembawaannya sangat tenang ini.



Ayun bercerita, karena asik bekerja, kuliah pun akhirnya tak selesai. Ia bisa menghabiskan 100 jam per minggu untuk bekerja. Padahal biasanya, dalam satu hari hanya boleh bekerja maksimal 8 jam.

Tapi bukan berarti tak ada waktu untuk senang-senang. Seperti anak muda lainnya, ia juga masih main ke tempat hiburan malam. "Masih sempatlah main ke diskotek juga," katanya seraya tertawa kecil.

Setelah 8 tahun bekerja Ayun memberanikan diri membuka restoran. Ia menamainya Desa, Authentiek Indonesisch Restaurant. Kenapa otentik, karena di Belanda sebelumnya sudah banyak restoran Indonesia.

Tapi racikan bumbunya tak pernah otentik. Ada bumbu yang dikurangi atau bahkan ditambah bahan lain. Ikan rica-rica dari Sulawesi misalnya, ada yang menggunakan santan dalam proses pembuatannya. Target konsumennya adalah orang Indonesia yang sedang berwisata ke Belanda dan warga negara Belanda yang rindu makanan asli Indonesia.

Modal awal didapat dari pinjaman seorang pengusaha kuliner yang terbilang sukses di Amsterdam, plus sedikit uang tabungan. Pria yang hampir berusia 60 tahun ini mengaku bisnisnya tak pernah mengalami kendala berarti.

Ditanya apakah pernah ditipu rekan bisnis, Ayung tersenyum. Katanya, "ada yang bilang, kalau orang berbuat jahat karena perbuatan kita, berarti kita juga ikut berdosa. Saya sangat suka kalimat itu. Jadi kita harus jaga orang dari berbuat dosa supaya kita nggak ikut berdosa."

Ketika krisis menghantam eropa di awal tahun 2000 lalu, Ayun mengaku restoran yang ia kelola bersama istrinya, Meiling, mendapat berkah. Di saat yang nyaris bersamaan dengan krisis, Garuda Indonesia menggelar acara di restorannya mengundang banyak travel agent. Para agen wisata tersebut mencicip masakan Desa Restaurant dan terpikat. Mereka pun memasukkan Desa ke dalam salah satu jadwal perjalanan pada paket tur yang mereka jual.

Bisnis Ayun pun berkembang. Kini ia mengelola tiga restoran makanan Indonesia (Desa, Aneka Rasa dan Kartika) dan satu rumah makan sajian lokal Belanda, Grand Cafe Allure.

Sekarang, Ayun mengaku hanya menjalani hidup. Tak lagi berambisi mengembangkan bisnis. "Saya sudah umur segini sudah tinggal menjalani aja," ucap pria kelahiran 16 September 1956 ini.

Ayun yang memiliki empat orang anak tak lagi berkewarganegaraan Indonesia. Tapi, katanya, jangan ragukan kecintaannya pada tanah air. Ia mengaku pindah warga negara karena administrasi di masa lampau yang sangat berbelit.

"Dulu kalau kita mau ke luar negeri harus ada exit permit. Terus bayar fiskal. Sedangkan orang asing bisa main nyelonong aja nggak bayar apa-apa. Jadi ini cuma gara-gara urusan kertas. Di hati, saya masih bangsa Indonesia," kuncinya menutup obrolan.
0
11.6K
70
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan